Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Pemuda Muhammadiyah dalam Pikiranku


Saat sodara Ibnu Winarno (Panlih) dan Pak Erfai (ketua PDPM) menghubungiku agar mau menjadi calon formatur Musyda PDPM Kabupaten Blitar, sejujurnya aku agak ragu. Sejenak berpikir, apa orientasiku jika gabung dengan Pemuda Muhammadiyah?

Pertimbangannya, sudah ada beberapa "tugas" internal yang aku jalankan, misalnya menjadi ketua Majelis Pendidikan Kader, menjadi tim penulis dan beberapa tugas organisasi yang kini juga sedang kujalankan.

Jujur, rasanya kewalahan. Belum lagi kegiatanku lainnya di eksternal, selain tentu saja kegiatan harian. Kebingungan membagi tugas.

Namun, yang lebih urgen sesungguhnya. What is my goal? Andai akhirnya menjadi bagian dari Pemuda Muhammadiyah?

Awal mula bergabung di Muhammadiyah

Aku menjadi bagian dari Muhammadiyah melalui pintu IMM. Dari pintu mana kita bergabung sangat memengaruhi corak berpikir, termasuk orientasi.

Muhammadiyah yang kutahu pertama ya IMM, yang basisnya di kampus, yang super akademik, yang isinya soal keilmuan, juga kadang-kadang politik. Politik pun adalah politiknya kaum akademik, yang bisa jadi (dan faktanya memang benar) sangat jauh berbeda dengan ortom lain.

Saat akhirnya menjadi domisioner, dan masuk pada struktur Muhammadiyah yang lain, seperti ada cultural shock. Kok berbeda ya? Proses adaptasi itu pun tidak gampang.

Terlebih, selama di IMM, lokusku lebih pada kegiatan akademik, keilmuan, menulis, dan sejenisnya, yang "tidak ada" atau tidak begitu berkembang di ortom lain, termasuk barangkali di Pemuda Muhammadiyah.

Sementara, teman seangkatanku yang kini aktif di Pemuda Muhammadiyah, mereka umumnya lebih ke jalur politik, meski tidak selalu politik praktis.

Artinya, beberapa alumnus/domisioner IMM yang survive di Pemuda Muhammadiyah adalah mereka yang bisa memanfaatkan ruang-ruang politik, atau mereka yang bisa beradaptasi dengan suasana politik internal dengan cepat.

Ini bukan perkara mudah, karena kulihat sekaliber Pradana Boy ZTF yang kini jadi ikon intelektual muda Muhammadiyah, sepertinya juga tak terlalu survive dalam "suasana politik" di Pemuda Muhammadiyah, meski beliau pernah sempat menjadi Ketua PWPM Jawa Timur.

Bisa jadi ruangnya memang berbeda-beda. Tokoh-tokoh teras, Kakanda IMM, saat ini banyak yang mapan sebagai akademisi. Bahkan belakangan IMM seperti "panen" kaum intelektual.

Namun jebolan IMM yang survive di Pemuda Muhammadiyah toh juga banyak, misalnya saja Cak Nanto dan Mukayat Al Amin, atau Dr. Faisal yang kritis itu.

Dari Kokam hingga Penyelenggara pemilu

Pemuda Muhammadiyah yang agak serius kuamati adalah eranya Daniel Anzar Simanjuntak. Saat itu dia sangat populis, menjadi tokoh teras yang sering dimintai pandangan terkait kondisi negeri di berbagai stasiun televisi.

Pada era Daniel, Kokam begitu kentara, muncul ke publik. Terlebih gesture dan sosoknya yang sangat berwibawa menjadi Panglima Kokam.

Sayangnya justru itu membuatku minder. Apakah aku, andai gabung di Pemuda Muhammadiyah, harus juga menjadi Kokam? Dengan perawakan kurus kecil sepertiku, rasanya dibayangkan saja sulit.

Akhirnya, aku lebih memilih aktif bantu-bantu Majelis, tepatnya di dua Majelis yaitu Majelis Pustaka Informasi dan Majelis Pendidikan Kader.

Namun Kokam juga perlu menjadi prioritas di Pemuda Muhammadiyah, karena seragamnya saja mahal. Satu set dari baret sampai sepatu, juga kebutuhan gizi harus terpenuhi sebab Kokam harus kuat berenergi.

Kokam dan SAR adalah bagian penting dan integral dalam Pemuda Muhammadiyah. Karena, belakangan pada bidang itulah prestasi Muhammadiyah tampak, khususnya di gerakan kerelawanan bersama MDMC.

Selain itu, kulihat energi Pemuda Muhammadiyah juga banyak tersedot sebagai Penyelenggara Pemilu. Bisa jadi 80% diantaranya.

Aku sempat bertanya, kok begini? Ya, itu juga perlu diapresiasi. Sebab pada ruang itulah Pemuda Muhammadiyah juga bisa berkontribusi, menjadi bagian dari perubahan sosial lewat penyelenggaraan pemilu yang baik.

Aku menyadari hal tersebut, meski itu juga membuatku minder. Sebab aku memang tidak terlibat sebagai penyelenggara pemilu.

Nah, bulan Februari lalu secara mengejutkan aku berjumpa Cak Nanto saat sedang asyik ngobrol di teras hotel Kapal Garden.

Cak Nanto adalah Ketum PPPM saat ini, yang sungguh humble dan rendah hati, juga humoris.

Saat itu juga ada sodara Khabib Ajiwidodo, PDPM Kota Blitar. dia meminta foto bersama Cak Nanto. Keliatan kalau sudah mulai menemukan frekwensi, maka foto bareng adalah bagian dari politik citra. Haha.

Namun, arah Cak Nanto sulit terbaca. Dia tidak sering muncul di televisi seperti ketum sebelumnya, tidak juga kritis pada pemerintah, namun juga tidak tampak terlalu dekat.

Tiba-tiba saja muncul berita kalau dia jadi komisaris utama salah satu BUMN, tiba-tiba juga dia muncul di suatu video bersama Abu Janda.

Namun Cak Nanto ini kader tulen, sejak IPM, IMM dan PM. Dia sangat matang sebagai kader. Maka keliru besar ketika ada salah satu media yang menulisnya "titipan istana".

Prospek kedepan


Sebelum Musyda digelar, aku sudah melihat-lihat struktur bidang. Kutengok ada bidang Riset dan Teknologi. Mungkin nanti aku akan diarahkan kesitu, gampang sekali terbaca, bukan?

Karena itu aku coba raba-raba, apa sekiranya program yang bisa kulakukan yang itu juga sejalan dengan posisiku di Majelis atau tim penulis? Sesungguhnya tidak terlalu jauh, ada keterkaitan.

Namun Pemuda Muhammadiyah ini adalah ortom yang isinya para pemuda dewasa, yang sudah melalui quarter life crisis namun juga sebagian belum mendapatkan kemapaman ekonomi, yang menurut perhitungan akan terjadi pada usia-usia 40 tahun, yang kemudian dikenal dengan istilah Life begin at 40.

Kudengar mereka pun juga sungkan bila harus keliling minta proposal, meski itu bukan hal yang keliru. Kan untuk organisasi?

Namun kalau bisa program-program bidang nantinya diarahkan pada intrapreneurship. Beberapa jejaring yang kini ada akan lebih serius ditata.

Sesungguhnya, aku pun sudah terbiasa mengelola komunitas yang disitu "tidak ada dananya", malah lebih tragis, tidak ada yang dimintai proposal. Sejak dari itu sudah terbiasa berpikir untuk bagaimana agar komunitas kepenulisan itu tetap survive dan eksis hingga kini.

Sekarang pun aku masih bersemadi untuk menyusun hal itu di Pemuda Muhammadiyah. Bagaimana agar tidak menjadi man of proposal. Hehe

Terima kasih sudah membaca
Blitar, 24 Februari 2021
Ahmad Fahrizal Aziz

Comments