Bagian 3, catatan Kolokium Nasional Cendekiawan Muda Muhammadiyah, 6-7 Maret 2020 di Malang.
Hampir semua mengkritik lemahnya penetrasi dakwah Muhammadiyah di sosial media. Terutama ketika terjadi polemik atau perang opini.
Website Muhammadiyah, suaramuhammadiyah.id atau muhammadiyah.or.id, tidak masuk 5 besar sebagai media Islam yang paling banyak dikunjungi. Kalah dengan nu.or.id atau eramuslim.com.
Di YouTube dan Instagram, Dai Muhammadiyah kurang dikenal. Adanya Ust. Adi Hidayat, yang berlatar belakang Muhammadiyah, namun muncul lewat kanalnya sendiri.
Dai seperti Ust. Khalid Basalamah, Felix Siauw, Hanan Attaki, Abdul Somad dlsb bahkan lebih populer. Di kalangan NU misalnya ada Gus Baha', Nadirsyah Hosen, Gus Mus, hingga Gus Muwafiq.
Pada eranya, sebutan Ustad dan Gus adalah yang membedakan kultur Muhammadiyah dan NU. Namun kini, sebutan Ustad lebih identik dengan kelompok salafiyah.
Satu-satunya keunggulan Muhammadiyah di sosial media adalah, ramainya berita kegiatan. Terutama PWMU.co, yang isinya mayoritas berita kegiatan.
PWMU.co sempat dikritik, kok isinya berita melulu? Padahal menurut saya tak masalah. Adanya berita menunjukkan jika organisasi itu bergerak, secara nyata. Tidak hanya ramai karena polemik, atau bikin sensasi karena kegenitannya.
Memang benar apa yang disampaikan Azaki Khoirudin dari Ibtimes.id, jika Muhammadiyah itu tidak suka berpolemik di sosial media.
Padahal, jika kita lacak, media Muhammadiyah itu banyak. Hampir setiap PWM dan sebagian PDM memiliki website sendiri. Belum termasuk Ortom. Jika dikumpulkan bisa menjadi kekuatan besar.
Sebagian media itu lebih banyak menginformasikan kegiatan, tidak sampai melempar isu atau perang opini. Sepertinya itu memang tipikal tokoh Muhammadiyah, sudah sibuk dengan pekerjaan dan mengurus amal usaha, tidak ada waktu untuk ribut-ribut di sosial media.
Jadi, sebenarnya Muhammadiyah tidak kalah. Jika dibuat list, jumlah media Muhammadiyah itu sangat banyak. Belum termasuk yang dimiliki personal. Namun kontennya lebih pada informasi kegiatan.
Meskipun punya banyak media, namun juga sulit dikomando. Sementara NU, bisa digerakkan lewat satu komando, sekalipun hanya lewat satu corong. Tipikal keduanya memang berbeda sejak dulu.
Sama-sama punya gawai, namun tipikal warganya memang berbeda. Ini bukan soal kalah menang, namun soal selera bersosial media saja. []
Kecamatan Gubeng, Surabaya
Ahmad Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini