Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Bokek Situasional




Kamis, 20 Februari 2020

Bagaimana rasanya gaji UMR Karawang, tetapi biaya hidup seperti di Blitar?

UMR Karawang + bonusnya bisa lebih dari 5 juta. Di Blitar, mentok sekitar 2 juta. Selisihnya besar.

Tetapi, UMR memang dihitung berdasar biaya hidup di suatu tempat. Karawang adalah Kabupaten dengan UMR tertinggi di Pulau Jawa. Beda tipis dengan UMR di wilayah Jabodebek.

Berarti, biaya hidup di Blitar lebih murah. Sementara kebutuhan di area pusat Ibukota, lebih mahal.

Padahal, harga kebutuhan pokok itu nyaris sama, apalagi di pulau Jawa. Bedanya hanya ratusan rupiah, tidak sampai puluhan ribu seperti di luar Jawa.

Mahalnya bisa jadi pada gaya hidup, juga pada tagihan-tagihan. Biaya langganan PDAM, Indekos, sewa rumah/ruko, biaya pendidikan, kesehatan dan biaya lainnya.

Menyesap secangkir kopi di sebuah kafe saja bisa untuk membeli dua kilogram beras. Maka jangan heran jika sebagian pekerja mengalami bokek, sekalipun UMRnya tertinggi.

Bokek situasional. Situasi sosial dan psikologis dirinya membuat gaji bulanan raib lebih cepat demi memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder, termasuk untuk biaya hiburan guna melepas penat.

Sebab bekerja di perkotaan capeknya luar biasa. Capek bekerja, juga capek di jalan.

Butuh hiburan, meski hanya injury time. Tubuh dan pikiran juga perlu relaksasi.

Lantas teman saya yang tinggal di Jakarta timur sempat ingin hijrah ke Malang, indekos di daerah Klandungan yang adem, atau di belakang UMM, yang tiap bangun pagi bisa mengintip megahnya Gunung Arjuno Welirang.

Di Jakarta, dengan dana yang ada hanya bisa menyewa sepetak ruang multifungsi, itupun tanpa jarak antara petak satu dan lainnya, alias hanya tersekat tembok.

Artinya, hitungan UMR tidak bisa dijadikan patokan gaya hidup perkotaan, yang sudah menjadi kebutuhan. Potensi bokek tetap ada, karena situasinya.

Padahal, sejak jumlah uang belum beredar sebanyak sekarang, masyarakat dulu (terutama di pedesaan) biasa hidup tanpa uang.

Tidak semua kebutuhan harus dibeli, sebagian bisa didapat dari kebun atau sawah sendiri. Keterampilan bercocok tanam adalah suatu yang alamiah bagi masyarakat desa.

Beras bisa ditukar kelapa, sayur bisa ditukar pisang. Sementara pohon buah-buahan banyak tumbuh liar dan bisa dinikmati siapapun. Untuk apa uang?

Namun, kini hampir semua perlu uang. Bahkan buah ceplukan yang dulu tumbuh liar di persawahan, kini dijual begitu mahalnya.

Padahal penelitian baru menyebutkan sejuta manfaat ceplukan. Sayangnya baru kita sadari setelah pohonnya langka ditemui.

Sekarang kita terjerat oleh uang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, berkendara, perawatan tubuh, bayar listrik, air, wifi, kuota, dan lainnya.

Teknologi memudahkan kita untuk meraup banyak uang, namun situasi juga memungkinkan untuk menghabiskannya dengan cepat.

Maka, kitapun (saya terutama) sering masuk pada zona bokek. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments