| Ahmad Fahrizal Aziz
Wajar jika orang ingin seperti Bung Karno. Salah satunya dengan berpenampilan layaknya Bung Karno ; berpeci hitam dan mengenakan kemeja empat saku bewarna putih.
Wajar juga ketika tiba-tiba ada orang berdiri, memegang mikropon, dan lantas berpidato layaknya Bung Karno. Meski sejauh ini, tidak ada yang benar-benar mirip. Hanya mirip dari sisi lantang suaranya, namun ya tidak untuk yang lain.
Sebab Bung Karno tidak hanya berpidato, tetapi juga bermain diksi. Tidak hanya sekadar berteriak dengan suara keras, namun juga menyuntikkan sebuah nilai atas apa yang benar-benar beliau pahami.
Wajar jika peringatan paling ramai untuk memperingati sosok Bung Karno, adalah lewat seni, lewat drama teatrikal, dari peristiwa Rengasdengklok ke Proklamasi kemerdekaan. Akan lahir pemeran Bung Karno, secara bergantian, setiap tahunnya.
loading...
Semua itu wajar-wajar saja, ya sebab mau bagaimana lagi? Cara termudah mengenang sosok legendaris itu adalah lewat simbol-simbol. Sebab betapa telah banyak pemikiran besarnya yang diabaikan oleh para pemangku kebijakan.Mulai dari soal kedaulatan ekonomi, sistem politik, hingga kebudayaan.
Juga mungkin, sudah tidak menariknya esai-esai Bung Karno, yang terhimpun dalam buku besar Di Bawah Bendera Revolusi, untuk dibaca generasi muda. Atau sudah betapa banyak politisi yang hanya menjadikan sosoknya menjadi background poster saat kampanye pemilu.
Betapa orang banyak tertarik menuju makamnya, berdoa, dan mungkin mengharapkan suatu keajaiban supranatural selepasnya, dibanding berkunjung ke Museum, mengulik sejarah bangsa lewat foto-foto zaman revolusi dan kemerdekaan.
Atau, jika cukup waktu berbincang perihal pemikiran Bung Karno di Perpustakaan, membaca sebagian buku yang ada, atau catatan-catatan kritis nan bersejarah yang telah ditulisnya.
Bung Karno telah tiada, sejak 21 Juni 1970 silam. Dan tak akan ada yang seperti sosoknya. Paling hanya sebagai pemeran dalam panggung seni dan drama, atau film-film garapan sineas yang tak pernah bisa memuaskan dahaga jiwa, yang merindu sosoknya.
Bung Karno telah tiada, namun api-nya masih ada. Tinggal apakah makin menyala, atau semakin redup. Api itu jangan sampai mati, sehingga tersisa abu-nya saja.
Gambar, poster, foto, lukisan, patung, sampai gaya busana dari Bung Karno jelas akan terus ada. Kaos-kaos bersablon foto Bung Karno, asesoris, pernik dan semacamnya, juga akan terus diproduksi dan dijual.
Bung Karno sebagai tokoh besar akan terus disimbolkan, tidak akan pernah mati. Bahkan mungkin akan makin berkibar.
Namun siapa yang menjamin, jika pemikiran dan gagasan Bung Karno akan terus hidup? Siapa yang menjamin jika esai-esai karya Bung Karno akan terus dibaca? Siapa pula yang menjamin pidato-pidatonya akan terus didengar dan dihayati?
Siapa yang menjamin orang akan tertarik masuk ke Museum untuk belajar? Atau jangan-jangan hanya sekadar berfoto?
Padahal, pemikiran dan gagasan itulah Bung Karno tidak pernah mati, terus menyala, dan berapi-api. Jangan sampai, justru api-nya itu redup, dan generasi berikutnya hanya mewarisi abu-nya. []
Blitar, 21 Juni 2019
Komunitas Muara Baca
Sebuah komunitas yang berupaya mengkaji dan memahami gagasan dan pemikiran Bung Karno
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini