BELAJAR SEJARAH - Dalam sebuah catatan yang ditulis Mr. Mohammad Roem, Bung Karno pun pernah mengutarakan keberatannya ketika "tujuh kata" dalam piagam Jakarta harus dihapuskan. Bung Karno sendiri menjelaskan bahwa "tujuh kata" tersebut merupakan hasil kesepakatan yang dicapai antara golongan Islam dan Nasionalis.
Dalam sebuah catatan kata pengantar untuk buku berjudul Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Sebuah Konsensus Nasional karya H. Endang Saifudin Anshari tersebut, Mr. Roem menulis bahwa kesepakatan atas "tujuh kata" tersebut bukan hal yang mudah.
Soekarno mengutarakan hal tersebut dalam rapat pleno BPUPKI pada 22 Juni 1945, selaku ketua panitia sembilan. Mr. Roem menulis pidato Soekarno demikian :
loading...
Memberi nama memang tidak pernah tepat mengenai apa yang ada dalam nama itu. Apa golongan Islam bukan golongan nasionalis? Tentu tidak. Mereka tidak kurang cinta tanah air dan bangsa. Mereka juga tidak kurang kesediaannya untuk berkorban bagi kemerdekaan bangsa Indonesia.Lebih lanjut, Soekarno pun menjelaskan bahwa preambul "tujuh kata" tersebut dicapai dengan susah payah antara golongan Islam dan Nasionalis. Tujuh kata tersebut melekat pada sila pertama, yaitu : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 tersebut, tujuh kata itu dicoret karena opsir yang mengatakan bahwa Indonesia bisa pecah jika tujuh kata tersebut tetap disahkan sebagai butir dasar negara.
Sebagian besar anggota PPKI kemudian menerima penghapusan tersebut, kecuali Ki Bagus Hadikusumo. Soekarno kemudian meminta Mr. Kasman Singodimedjo untuk membujuk, Ki Bagus Hadikusumo pun akhirnya menerima dengan syarat ada tambahan yang maha esa. Jadilah sila pertama kini, Ketuhanan yang maha esa. (Red.s)
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini