Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Menanggapi Puisi Ibu Sukmawati

Apa yang dimaksud syariat Islam, terutama dalam puisi "Ibu Indonesia" yang dikarang Sukmawati Soekarnoputri? Tentu ini menjadi hal yang penting dibahas, sebelum mengedepankan emosi, apalagi berdasar video yang sudah dipotong dan dibumbui emotikon sedemikian rupa.


Pemahaman Syariat Islam sebagai At-thariqoh atau jalan yang harus ditempuh sebagai seorang muslim, bisa menjadi penunjuk bahwa, secara substansi, puisi tersebut mengandung beberapa kekeliruan. Tapi yang namanya puisi ya bebas tafsir, tidak harus sesuai dengan makna yang dimaksud penulisnya.


Singkatnya, syariat adalah jalan yang ditetapkan Allah Swt. Dalam ketetapan tersebut ada aturan-aturan, ada keharusan dan kewajiban yang dilaksanakan seorang muslim. Ibaratnya, jika ingin menjadi muslim, ada jalan yang harus ditempuh. Jika tidak mau menempuh jalan tersebut, maka tidak bisa disebut muslim atau masuk kategori muslim yang kurang kaffah.


Syariat juga berbeda dengan fiqh. Syariat lebih global, fiqh lebih khusus. Syariat bersumber langsung dari Al Qur'an dan Sunnah, sementara fiqh sudah tercampur dengan ijtihad ; Ijma' dan qiyas.


Semoga penjelasan yang sederhana ini bisa diterima, dan lebih mudah dipahami.


Lalu cadar? Cadar murni produk fiqh. Sebab muncul berbagai pendapat ulama. Syariatnya adalah menjaga aurat, fiqhnya bisa bermacam-macam, cadar salah satunya. Tidak semua muslimah mau bercadar, sebab masing-masing dari mereka memiliki pemahaman fiqh yang berbeda, bahkan ada yang menyebut bercadar tak memiliki dasar yang kuat.


Ya, fiqh memang variatif. Produk ijtihad dari yang umum ke yang khusus. Seperti halnya kewajiban shalat yang disyariatkan, yang jadi salah satu rukun Islam. Agar tahu tata caranya, maka diperlukan fiqh.


Karenanya, meski shalatnya sama, mungkin ada beberapa variasi terutama soal bacaan doa iftitah, bacaan ruku dan sujud, penggunaan qunut, bismillah bil jahr atau sirri, letak sedekap apakah diatas pusar atau depan jantung, dlsb.


Jadi syariat Islam yang dimaksud dalam puisi tersebut nampak tak menemukan konteksnya. Termasuk ketika membandingkan kidung dan adzan. Tidak semua orang bisa ngidung, dan fungsi kidung beda dengan adzan.


Adzan adalah penanda masuknya waktu shalat. Di beberapa Masjid, Musholla, atau Surau, tidak semua orang bisa adzan dengan bagus. Tetapi semua orang boleh mengumandangkan adzan. Bukan soal merdu atau tidak, tapi lebih soal kemauan.


Hal-hal semacam ini harus kita jelaskan. Hanya yang membuat kita sedih, kenapa perbandingannya harus dengan syariat Islam, cadar dan adzan. Bisa jadi ada perbandingan lain yang lebih kontestable.


Atau mungkin, Ibu Sukmawati ingin memukul secara ekstrem kelompok tertentu, yang kontra budaya Indonesia, melalui puisi tersebut? Toh, puisi juga bebas tafsir. Sebab selepas video itu menyebar, siapa yang paling kencang bereaksi juga bisa dilihat. []


Blitar, 4 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com


Blogger dan Aktivis Literasi

Comments