Ketika bergabung sebuah organisasi, apapun jenisnya, kita mungkin akan memilih organisasi yang sudah tertata, salah satunya dilihat dari sistem rekruitment, pengembangan anggota/kaderisasi, sampai sistem regenerasi.
Sehingga kita bisa merencanakan sejak awal, berapa jangka waktu keaktifan kita di organisasi tersebut, serta apa saja yang harus kita perbuat dalam jangka sekian.
Dengan sistem yang demikian, maka organisasi tersebut akan terus "menyegarkan dirinya", kepengurusan berotasi sebagaimana adanya, sehingga figuritas tidak akan mendominasi, sekalipun dalam setiap periodenya akan selalu muncul figur yang menonjol.
Sayangnya, dalam organisasi terbuka yang mengedepankan musyawarah mufakat, selalu saja muncul figur-figur yang enggan digeser atau bergeser. Bisa jadi karena ia tidak ingin melepaskan "zona nyamannya", bisa jadi pula ada sistem yang macet, terutama sistem kaderisasi.
Tapi itu soal lain, yang terpenting direnungkan adalah pentingnya membangun sistem. Dalam sebuah organisasi, pasti akan muncul orang-orang yang demikian, yang bahkan tidak begitu dikenal pada generasi berikutnya. Mereka mengakhiri amanahnya di organisasi tersebut, dengan mewariskan sistem yang baik.
Sistem yang mereka wariskan tersebut, akan menjadi semacam "penunjuk jalan" bagi generasi berikutnya. Namun tidak ada sistem yang sempurna, sehingga tetap diperlukan penambahan dan penyempurnaan pada setiap generasinya.
Pengelola organisasi yang baru perlu mempertimbangkan ini, bahwa pada setiap kepengurusan yang mereka emban, terutama pada organisasi yang berusia belasan atau puluhan tahun, sudah ada sistem yang dibuat generasi terdahulu, yang perlu dilanjutkan dan barangkali sedikit pembaharuan.
Ibarat membangun rumah, tidak lagi memulai dari awal, ada "bangunan" yang bisa diteruskan, dikembangkan, agar sistem tersebut makin utuh.
Ini juga sekaligus menguji ego, sebab tak sedikit generasi baru yang ingin merombak total sistem, dan mengabaikan bangunan yang dicipta generasi sebelumnya. Apalagi jika generasi baru tersebut tipe narsistik, yang lebih menonjolnya figurnya ketimbang merawat sistem yang ada. Sehingga yang lain, rekan organisasi yang posisi struktural ada dibawahnya, hanya menjadi figuran.
Padahal dalam sistem yang baik, bukan berarti figuritas memudar, justru akan muncul figur-figur dalam banyak bidang. Muncul rasa tanggung jawab bersama, tidak ada yang merasa paling berjasa, sebab semua bekerja atas nama sistem.
Lalu bagaimana jika organisasi tersebut masih baru? Disinilah peluang untuk menata sistem. Sebab menata sistem itu jauh lebih sulit, daripada sekedar mendirikan. Kecerdasan berorganisasi diuji pada kemampuan kita "menata".
Pada proses menata ini, banyak orang gagal. Makanya kita perlu bersyukur, jika sebuah organisasi memiliki sistem yang baik, sebab itulah warisan generasi terdahulu, yang mungkin karena sibuk menata sistem, sampai lupa narsis sehingga kurang dikenal. Tapi sistem tersebut insyaallah akan menjadi ladang amal.
Tabik!
Blitar, 19 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini