Kirana Kejora, Penulis Hebat itu Telah Berpulang

Kirana Kejora, Penulis Hebat itu Telah Berpulang

Kirana Kejora dalam sebuah event kepenulisan. Dok/ini Surabaya


Pagi itu, dunia sastra Indonesia kehilangan seorang bintang yang cemerlang. 

Kirana Kejora, penulis yang selama ini menghidupi kata-kata dengan penuh cinta, mengembuskan napas terakhirnya pada dini hari, 7 Mei 2025, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) Surabaya di usia 53 tahun.

***

Kirana Kejora, lahir pada 2 Februari 1972 di Ngawi, Jawa Timur, adalah sosok yang menjalani hidup dengan penuh semangat dan gairah. Sebelum dikenal sebagai sastrawan, ia menjelajah dunia akademis dan profesional, menjadi peneliti sosial ekonomi, pengajar, dan wartawan. 

Namun, di balik segudang peran tersebut, dunia sastra adalah panggilan hatinya yang tak terbantahkan. Setiap kata yang ia tulis, setiap cerita yang ia lukis dengan kalimat, bukan hanya sekadar rangkaian huruf, tetapi sebuah suara hati yang mengajak pembaca untuk merenung, untuk merasa, dan untuk hidup bersama karakter-karakternya.

Ia menulis untuk menghidupkan nilai-nilai yang terkadang terlupakan. Dalam novel Surga Kecil di Atas Awan, misalnya, ia menggambarkan seorang anak muda yang bercita-cita tinggi meski dibatasi oleh kemiskinan. 

Lewat kesederhanaan kisah itu, ada pelajaran berharga tentang harapan dan perjuangan tanpa henti. Seperti halnya setiap cerita yang ia tulis, Kirana ingin memberi pembaca sebuah pelajaran kehidupan yang abadi.

Di antara karyanya yang berkesan adalah Air Mata Terakhir Bunda (2012), Ayah Menyayangi Tanpa Akhir (2013), dan Yorick (2014). 

Air Mata Terakhir Bunda bahkan diangkat menjadi film, meraih penghargaan Best Feature Film di Balinale International Film Festival 2013, sebuah prestasi yang menandai bagaimana tulisannya mampu melampaui batas-batas literasi dan merasuk ke dalam jagad perfilman.

Setiap novel adalah benih yang ia tanam dengan harapan dapat memberikan kebijaksanaan kepada mereka yang membacanya.

Melangkah Bersama Penulis Muda

Tak hanya menulis, Kirana juga menjadi cahaya bagi para penulis muda yang mencari arah. Ia seringkali menjadi narasumber workshop menulis, berbagi pengalaman tentang bagaimana menulis dengan hati, tentang pentingnya menulis dengan ketulusan. 

Salah satu momen yang sangat dikenang adalah ketika ia menjadi narasumber dan mentor dalam kelas menulis Travel Note di Perpustakaan Bung Karno. 

Kelas ini menjadi titik penting bagi banyak peserta, termasuk Ahmad Fahrizal Aziz, seorang penulis asal Blitar. Saat itu, Fahrizal menjadi salah satu peserta yang dipandu oleh Kirana dalam kelas tersebut. 

Bagi Kirana, sastra adalah sebuah misi untuk menyampaikan pesan moral yang mendalam dan membangkitkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang sering kali terlupakan. 

“Tulis dengan hati, karena hanya dengan hati kita bisa menyentuh hati orang lain,” begitu katanya dalam sebuah sesi workshop, menyemangati penulis pemula untuk berani bermimpi dan menulis dengan sepenuh jiwa.

Sebuah Kehilangan yang Tak Terlupakan

Kini, dunia sastra Indonesia harus merelakan kepergian Kirana Kejora, namun karya-karyanya akan terus mengalir seperti aliran sungai yang tak pernah surut. 

Meskipun tubuhnya telah tiada, semangatnya akan selalu hidup dalam setiap kalimat yang ia tulis. 

Kirana Kejora mengajarkan kita bahwa menulis adalah cara untuk tetap hidup, untuk meninggalkan sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.

Kehilangan Kirana adalah luka yang dalam, namun di balik luka itu terdapat cahaya yang akan terus menerangi jalan sastra Indonesia. 

Setiap kata yang ia ukir adalah sebuah warisan yang tak akan pernah pudar. 

Meski kini ia telah tiada, karyanya akan terus menginspirasi, menyentuh hati, dan mengajak kita untuk terus merangkai kata, untuk terus melangkah dalam dunia yang penuh dengan keindahan dan makna. []


📝 Fyo

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini