Perhatian terhadap sastra memang tidak lebih baik jika dibandingkan Matematika dan IPA, dan atau IPS. Misalkan, seringkali muncul kompetisi MIPA, terutama dalam bentuk olimpiade, banyak juga juaranya. Sastra, dalam skala kecil-kecilan paling hanya dalam bentuk lomba menulis puisi, cerpen, atau membaca puisi.
Dalam konteks kehidupan yang riil, sastra (dan kadang juga seni) sering hanya sebagai “keahlian sampingan”. Yang utama tentu IPA dan Matematika. Jurusan IPA menjadi sangat bergengsi di SMA, bahkan diperebutkan. Jurusan IPS masih mending, sementara Bahasa kadang hanya menampung sisa-sisa. Kenapa demikian?
Sastra kurang laku, sebab apa yang dihasilkan tidak begitu kongkret sebagaimana keahlian di bidang Matematika dan IPA atau yang selanjutnya kita sebut sains. Para Matematikawan—dalam berbagai turunan ilmunya—bisa melahirkan berbagai karya kongkrit dan terukur, mulai dari bangunan sampai teknologi mutakhir.
Ahli alam dan turunannya, bisa mencipta berbagai keajaiban ilmu, mulai dari rekayasa genetik sampai eksperimentasi mutakhir yang memberikan informasi berharga tentang hubungan manusia dan alam yang memiliki ketergantungan.
Dalam konteks lain saintis juga sangat berguna dalam perang modern. Jika dahulu perang melibatkan kemampuan memainkan pedang, tombak dan sejenisnya, kini perang sangat bergantung pada kecanggihan senjata seperti senapan, bom atom sampai nuklir. Hasil eksperimentasi seorang saintis bisa menghancurkan dua kota dan membunuh ratusan ribu jiwa dalam hitungan menit saja.
Lantas sastra? bahkan bagi sebagian orang, sastra justru sumber kerumitan. Banyaknya penyair yang sulit dipahami, baik dari kata-kata yang mereka hasilkan, sampai pandangan hidupnya. Njelimet dan tidak kongkrit. Malah—dikalangan penyair sendiri—kalau ada puisi atau cerpen yang dengan mudahnya dipahami, dianggap kadar sastranya rendah.
Namun apakah kita terus-terusnya rela terkotak-kotak dalam suasana demikian? Sebab pada sebagian orang, ilmu ya ilmu, semuanya melebur menjadi satu kesatuan yang melengkapi. Karya seni seperti musik, membutuhkan hitungan yang tepat, harmonisasi, dan ini sangat mirip dengan matematika.
Karya arsitek yang monumental, membutuhkan sentuhan seni untuk inspirasi bentuk, filosofi, dan ornamennya. Tak jarang juga peneliti mikroba justru menemukan keindahan bentuk, estetika dari jaringan-jaringan sel yang bisa menjadi inspirasi para pelukis.
Uniknya, sastra seringkali memotret kerumitan hidup seperti kehilangan, penghianatan, cinta, dan lain sebagainya dalam rangkaian kata yang indah dan mendalam. Yang itu juga terkait dengan ilmu psikologi, dimana orang yang depresi berat lebih memilih menciptakan sebuah puisi, ketimbang mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Sastra memang menyatu dalam kompleksitas hidup manusia, dan tidak ada rumus pasti sebagaimana matematika. Sebab sastra adalah pantulan rasa. Karena sejak lama kita selalu membeda-bedakan semuanya, sampai lupa bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya menyatu.
Sama dengan ketidakmungkinan kita melepaskan diri dari matematika, sebab hidup manusia itu selalu berhitung dengan keadaan, kesempatan dan kenyataan. Pada kondisi tertentu kita tidak bisa melepaskan diri dari sastra, ketika kedalaman jiwa menyeruak dan meminta haknya untuk dimunculkan. []
Blitar, 2 Desember 2017
A Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini