Piknik Gagasan





Piknik serupa rekreasi, tujuannya menyegarkan fikiran yang penat dan kacau. Tapi kacaunya fikiran tidak selalu karena kurangnya piknik, bisa jadi karena kurangnya persepsi dan wawasan, sehingga masalah kecil dibesar-besarkan. Fikiran tidak sanggup merespon substansi, sehingga melelahkan dan menyebabkan emosi.

Namun sayangnya piknik selalu diartikan bepergian ke tempat-tempat wisata. Sesekali memang dibutuhkan, terutama berkunjung ke alam ; pantai, gunung, hutan, sungai, air terjun, dsb. Karena berwisata ke alam terbuka bisa menyejukkan fikiran, jika dihayati sungguh-sungguh.

Tapi menyegarkan fikiran bisa berarti pula menyegarkan cara berfikir atau sudut pandang, agar tidak kaku dan membeku. Fikiran yang kaku biasanya menjadi tertutup, sukar menerima fikiran-fikiran yang berbeda, diluar dari fikiran yang sudah dibekukan sendiri dalam otak, sehingga sulit digugat.

Kekakuan berfikir bisa disebabkan oleh sifat fanatik. Sifat fanatik memunculkan rasa bahwa diri dan kelompoknya merasa paling benar. Sehingga mudah emosi dan berprasangka buruk. Kekakuan seperti ini perlu lekas disegarkan, agar tidak menjadi penyakit kronis.

Mau seperti apapun, kekakuan itu sesungguhnya menyiksa diri sendiri. Ibarat saraf otot, ia perlu penyegaran, entah dengan cara pijat atau relaksasi. Karena saraf yang kaku itu membuat tubuh tidak nyaman, aliran darah tidak lancar, tubuh sulit digerakkan, sehingga sangat menyiksa dan membuat hidup tidak produktif.

Fikiran yang kaku juga demikian. Melelahkan dan menyiksa. Apa tidak capek marah-marah, apa tidak capek berprasangka, apa tidak capek berkonflik? Fikiran yang kaku perlu disegarkan, perlu piknik. Namun bukan piknik ke tempat-tempat wisata, apalagi wisata buatan yang mahal, sehingga sepulangnya piknik bukan tambah segar otak, tapi tambah masalah karena kantong jebol.

Otak kaku perlu piknik gagasan. Piknik gagasan bisa dengan cara membaca buku, diskusi dengan orang yang berbeda sudut pandang, atau belajar merasakan menjadi orang yang berbeda dengan kita. Dengan begitu kita menyadari jikalau manusia merespon banyak hal dengan cara yang berbeda-beda, entah dari ilmu yang dimiliki atau dari sudut pandang lain.

Kita membaca buku dengan tema yang sama, tapi ditulis oleh orang yang berbeda, maka hasilnya juga akan berbeda. Begitu pun dengan kitab-kitab, seperti kitab Fiqh. Tema besarnya tentang Fiqh, tapi muncul beberapa mazhab.

Beberapa ahli berpendapat, mazhab itu adalah gagasan yang sudah divalidasi, sumber rujukan sudah kuat, sehingga memiliki dasar yang bisa dipertanggung jawabkan. Itulah kenapa tidak semua gagasan kemudian bisa serta merta disebut mazhab. Karena mungkin masih sekedar asumsi. Artinya, kalau mazhab saja tidak tunggal, apalagi dengan gagasan?

Dengan membaca buku, maka kita akan “bepergian” dari gagasan yang satu ke gagasan yang lain, yang berbeda, yang membuat kita mengetahui bermacam gagasan. Dari gagasan ke gagasan tersebut, kita belajar menimang, mana yang sekiranya mencerahkan dan mana yang sekiranya justru memperkeruh.

Jika semakin bertambahnya wawasan, juga bertambahnya ilmu semakin membuat fikiran keruh, sepertinya ada yang salah. Ilmu itu, kata Imam Syafii, ibarat cahaya (nur). Cahaya itu mencerahkan. Jika fikiran sudah cerah, maka pandangannya lebih jelas. Bahkan disatu sisi bisa menerangi yang lain.

Keberhasilan piknik gagasan adalah ketika fikiran cerah, terbuka, dan bisa menampung yang berbeda-beda karena ia faham beragam perbedaan karena “jam terbang”-nya bepergian dari gagasan satu ke gagasan yang lainnya. Selamat berpiknik. []

Blitar, 30 Juni 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini