"Karya sastra yang punya konteks kuat seperti novel-novel Pram," ujar Pak Yusri Fajar.
Sore itu saya duduk melingkar di sebuah gubuk belakang Wisma Kalimetro, Joyosuko Malang. Ada diskusi sastra sekaligus bedah buku karya Nurani Soyomukti. Saya lupa judul bukunya.
Pembedahnya Pak Yusri Fajar, Sastrawan sekaligus dosen UB. Dimoderatori oleh Mas Denny Mizhar, pegiat literasi di Pelangi Sastra.
Pram? Maksudnya adalah Pramoedya Ananta Toer. Nama itu sangat familiar bagi saya, tapi pas diskusi itu berlangsung, belum ada novel karya Pram yang pernah saya baca.
Ya, bacaan sastra saya memang payah. Padahal peserta diskusi tersebut ada adik tingkat, dan dia nampak memahami apa yang tengah dibahas. Intinya saya kalah bacaan.
Baru kemudian saya cari-cari karya Pramoedya di Perpustakaan. Bertemu beberapa novel tebalnya, yang akhirnya membuat saya "mengenal" Minke dan Nyi Ontosoroh yang fenomenal itu.
Novel tersebut bercerita tentang perjuangan pribumi di masa kolonial Belanda. Konteks yang dimaksud Pak Yusri barangkali ini, novel yang punya konteks sejarah. Jadi ketika membaca novel ini, secara tak langsung kita juga belajar sejarah.
Tapi karya Pram itu sebenarnya banyak. Tidak hanya tetralogi Bumi Manusia saja. Mungkin banyak juga yang tak terselamatkan, akhibat diberangus rezim Soeharto.
Narasi awal "Bumi Manusia" menceritakan perbedaan kehidupan pribumi disini, dengan orang Eropa yang sudah canggih dalam segala bidang, terutama sains dan teknologi. Disini terlihat jika Pram memang punya wawasan luas.
Tentu jangan samakan dengan era sekarang, dimana banyak hal bisa kita cari secara instan melalui google. Dulu sumber bacaan ya buku, atau koran. Itu pun terbatas. Kuat dugaan wawasan Pram tentang Eropa didapat dari buku terbitan Belanda, yang berbahasa Belanda pula.
Orang-orang dahulu, khususnya yang terpelajar, memang menguasahi beberapa bahasa, termasuk bahasa belanda, bahasa dari bangsa yang menjajah kita.
Wartawan-wartawan senior seperti Rosihan Anwar juga menguasahi bahasa Belanda, bahkan sangat fasih. Bahasa belanda agaknya menjadi bahasa yang wajib dipelajari oleh pribumi, terutama sejak belanda menerapkan politik etisnya.
Bahasa Indonesia baru dikenal, kemudian didengungkan secara luas setelah tahun 1928, yang kemudian dijadikan bahasa persatuan setelah berdirinya negara Indonesia 1945. Tapi wawasan kebahasaan Indonesia tentu masih sangat terbatas waktu itu, dan apalagi penerjemah?
Pengarang seperti Pram tentu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca dan menulis, sampai lahir ratusan karya, apalagi karya monumental : yang selalu dikenang dan diperbincangkan sebagai karya besar di zamannya.
Kita sebagai pembaca, menikmatinya dalam racikan khusus, berupa karya sastra. Wawasan penulisnya melebur jadi satu dengan narasi dan deskripsi yang dibuat.
Kita yang membacanya pun kecipratan wawasan, atau persepsi yang bermacam-macam, tanpa perlu membaca buku-buku dalam beragam tema satu per satu.
Memang "hanya" sebuah novel. Tapi Pram membidik banyak kompleksitas hidup, mulai dari budaya, politik, hukum, gender, agama, dlsb dalam sebuah cerita panjang.
Meraciknya dalam sebuah cerita bukan hal yang mudah. Sebagai penikmat kita tentu tinggal menyantap sajian yang ada. []
Blitar, 21 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini