Tidak hanya (kita) Umat Islam yang merasa jika tuntutan Jaksa mengandung ketidakadilan. Ahok sendiri pun merasa diperlakukan tidak adil atas kasusnya, dimana ada tekanan massa yang menghendakinya agar dihukum berat. Termasuk ketika Hakim memutuskan penjara 2 tahun untuknya.
Ahok merasa mendapat ketidakadilan, karena hukum mendapatkan tekanan dari fatwa MUI, juga aksi massa dengan jumlah yang signifikan.
Dalam suasana seperti ini, kita pun lantas menyadari jika hukum yang diputuskan manusia memang tidak akan sepenuhnya adil, karena yang maha adil adalah Tuhan. Artinya, keadilan dalam kasus hukum Ahok adalah keadilan dalam perspektif manusia, yang tak lepas dari sisi emosionalnya.
Masalahnya yang diserang Ahok adalah kitab suci. Bukan kitab biasa, tapi mengandung nilai kesucian yang disatu sisi dianggap sakral. Ini berbeda jika yang menjadi obyek perbincangan adalah buku karangan manusia. Boleh adu argumen, berdebat ilmiah, karena memang tidak ada hasil karya manusia yang benar-benar sempurna.
Teruntuk kitab suci, hukum manapun akan kesusahan memberikan putusan yang adil. Apalagi yang memutuskan manusia. Sangat sulit berharap hakim akan seadil Tuhan. Lah, bagaimana mungkin seadil Tuhan?
Nyatanya ahli agama pun punya dua pandangan berbeda terkait kasus Ahok. Ada yang menyebut menista, ada yang menyebut tidak menista. Apalagi setelah Ahok menyatakan minta maaf.
Namun pendapat yang kuat adalah Ahok menista agama. Kuat dilihat dari jumlah ahli agama yang berpendapat, juga dari seberapa besar massa yang mendukung. Artinya apa, konteks keadilan dalam perspektif manusia adalah hasil konsensus.
Ya, mau bagaimana lagi. Manusia tidak ada yang benar-benar adil. Tidak ada yang setara Tuhan. Cara untuk menentukan adil atau tidaknya, dilihat dari jumlah. Maka dalam Fiqh, hukum yang kuat adalah yang diyakini sebagian besar Ulama, atau Jumhur Ulama.
Saya pribadi berpendapat bahwa Ahok melakukan pelanggaran etik, bukan hukum. Artinya Ahok wajib menjelaskan maksudnya, dan meminta maaf kepada pihak-pihak yang dimaksud. Sehingga kalimat ahok tidak menjadi teks bebas yang bisa ditafsirkan oleh siapapun.
Bahkan ada yang menafsirkan jikalau Ahok tidak saja menista Al Qur’an, tapi juga Ulama dan tokoh agama yang memang sering menggunakan dalil tersebut sebagai larangan untuk memilih non muslim.
Kita pun sama-sama belajar jika Al Qur’an memiliki beragam tafsir, tidak semata apa yang berbunyi dalam teks terjemahan tersebut. Nah, Ahli agama yang sudah menjadi saksi ahli, tidak boleh kita anggap pro atau kontra Ahok.
Mereka berpendapat atas dasar argumentasi ilmiah, serta keyakinan yang dilandaskan pada keilmuan. Bukan atas dasar politik. Karena mereka adalah akademisi.
Saya tidak peduli ahok mau dihukum berat atau ringan. Karena tidak ada efek yang signifikan. Saya hanya khawatir jika akademisi kaliber seperti Prof. Yunahar Ilyas dari Muhammadiyah, atau Prof. Masdhar F. Masduqi dari NU, direduksi keilmuannya dengan sebutan pro dan kontra ahok. Bahkan teruntuk maha guru kami Buya Syafii Maarif.
Dalam satu generasi bisa muncul ratusan bahkan ribuan politisi. Namun belum tentu lahir 10 Cendekiawan. Jikalaupun Ahok dihukum ringan, kita tidak perlu protes keras-keras. Kita serahkan saja hukuman Ahok pada yang maha adil di akhirat kelak, itupun jika kita masih percaya itu.
Karena sepertinya, kita merasa hukuman dunia adalah segalanya. Padahal mana ada manusia yang benar-benar adil?
Salam,
A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini