Dilarang Mencintai Bunga – Bunga
Resensi Kumpulan Cerita Pendek Pak Kunto
Dikisahkan kemudian Kakek menuntun bocah menikmati bunga-bunga:
“Segala yang mengendap. Cobalah lihat, Cucuku. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketentraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan”.
Demikian bunyi ajaran Kakek kepada bocah, yang tentu maksudnya menyodorkan keseimbangan.
“Segala yang mengendap. Cobalah lihat, Cucuku. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketentraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan”.
Demikian bunyi ajaran Kakek kepada bocah, yang tentu maksudnya menyodorkan keseimbangan.
********
Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” mengisahkan seorang anak laki-laki bernama Buyung yang menyukai bunga, tetapi ditentang keras oleh ayahnya. Cerita dimulai dengan kepindahan keluarga Buyung dari desa ke kota. Di kota, rumahnya bersebelahan dengan sebuah rumah berpagar tembok tinggi. Dari orang-orang, Buyung mendapat kabar bahwa rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang hidup sendiri. Karena terdorong rasa penasaran yang kuat, akhirnya ia mengintip rumah itu dengan naik ke pagar tembok melalui pohon kates di pekarangan rumahnya. Ia kaget ketika menyaksikan pemandangan halaman rumah itu yang penuh dengan banyak bunga. Namun. Ia tak berhasil melihat kakek. Ia pun bertanya pada orang-orang tentang kakek, tetapi tak satu pun yang mengetahuinya. Walaupun kawan-kawannya mengejek, ia tetap mencari informasi tentang kakek. Sampai suatu hari, ia bisa bertemu kakek itu secara dekat. Pada pertemuan pertama, kakek memberinya bunga yang diselipkan pada tangannya. Anehnya, ia langsung mencintai bunga itu. Ayahnya menentang dan menghancurkan bunga itu. Buyung merasa sedih.
Sejak itu, Buyung sering mengunjungi rumah kakek dan pulang membawa bunga ke rumah. Bunga itu ia simpan di kamarnya. Ayahnya marah besar melihat hal itu. Akhirnya terjadilah perang dingin antara ia dan ayah. Ia menghindari bertemu ayah. Ia lebih memilih mengurung diri di kamar sambil menatap bunga-bunga atau pergi ke rumah kakek. Ayahnya tak menyukai hal tersebut, maka disuruhlah Buyung bekerja di bengkel yang berada di halaman rumah. Praktis, seluruh waktu yang dimilikinya habis untuk sekolah, mengaji, dan bekerja. Ia hampir tak punya waktu untuk berkunjung ke rumah kakek. Ketika ada kesempatan, barulah ia dapat menemui kakek. Saat itu, ia menanyakan pekerjaan kakek. Kakek menjawab bahwa ia mencari hidup sempurna melalui bunga. Ia juga bertanya pada ayah. Ayahnya menjawab bahwa ia mencari hidup sempurna melalui bekerja. ”Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti. Mesti, Buyung! Lihat tanganmu!” kata ayahnya. Buyung pun menemukan jawaban bahwa kedua tangannya harus digunakan untuk bekerja. Kemudian, cerita ditutup dengan sebuah kalimat singkat, ”Bagaimanapun aku adalah anak ayah dan ibuku”.
_____________
Cerita pendek selalu bisa mencatat hal-hal yang kadang kala jauh berada di luar main-stream pemikiran biasa. Ia bisa menukik – bahkan kadang tak terduga – dan menggedor atau menentang teori-teori yang berkembang dalam membedah sebuah kasus. Seno Gumira Ajidarma, salah seorang sastrawan terkemuka di Indonesia, pernah mengatakan dalam sebuah kredonya bahwa fiksi adalah pembocoran dari sebuah fakta. Fiksi – dalam pandangan Seno – harus mampu menuliskan realita lain dari fakta yang dibekukan secara politis. Kuntowidjoyo dalam cerpen ini telah melakukan hal itu. Ia tidak berbicara tentang bunga yang disukai perempuan, tetapi seorang laki-laki yang mencintai bunga. Cerpen Kuntowijoyo ini termasuk cerpen “filsafat” dengan pola konvensional. Pikiran-pikiran filsafatnya dinyatakan dengan intensif, tetapi tetap terguyur basah oleh emosi cerita karena penempatan kata-katanya yang puitis. Pikiran-pikirannya problematik dan menarik sekali dikaji dan dianalisis, dan merangsang untuk membuka sebuah dimensi tentang arti kehadiran manusia di muka bumi ini, pola hidup, pola pikiran, dan tata tumbuh manusia memang saling berbeda, sesuai dengan latar belakang, persepsi dan visinya dalam memandang dan menerjuni kehidupan ini. Hal itu pengarang sampaikan melaui tokoh-tokohnya. Tokoh kakek memandang hidup untuk mencari ketenangan jiwa (ia mendapatkannya melalui bunga-bunga). Sebaliknya, tokoh ayah menganggap hidup untuk bekerja (hanya mementingkan dunia).
Nampaknya setting yang dibangun Kuntowijoyo sangat diperhitungkannya untuk dapat membangun watak-watak pelaku-pelakunya. Watak Ayah yang keras dan dinamis diwakilkan oleh setting kerjanya sebagai orang teknik, watak Kakek diwakili oleh setting rumahnya yang lindung dan dianggap angker oleh anak-anak, dan bunga-bunganya yang semerbak harum. Kakek adalah wakil kelemah lembutan, dunia wanita. Sedang “Aku” adalah orang yang sedang dalam masa tak menentu, tertarik ke kiri dan ke kanan, dan itu semua sangat cocok dengan analisa watak. Sehingga cerpen ini walaupun panjang tetap mengasyikkan dan tidak pernah lelah membacanya. (Red.S)
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini