Dialektika Madilog dan Islam: Butir-Butir Pemikiran Tan Malaka
Oleh : Yayan M. Royani
Pandangan Madilog terhadap Islam Menurut pengakuan Tan Malaka, dirinya lahir dari keluarga religius yang taat. Sejak kecil Tan telah menerima ajaran agama. Bahkan di usianya yang masih belia telah menjadi guru muda. Dogma ajaran Islam tanpa terasa telah merasuki alam bawah sadar Tan, sehingga tidak mengherankan kalau dirinya selalu terharu acapkali mengingat masa lalu. Tidak mengherankan pula, meski dengan penuh keterbatasan pada masa pelariannya, Tan terus berusaha untuk memahami Islam lebih dalam.Hemat penulis, dalam hal mengkiritisi kepercayaan-kepercayaan yang dianggap bertentangan dengan Madilog, Tan sangat subjektif melihat Islam. Hal itu terlihat dari tulisannya tentang logika mistika yang menyerang faham animisme, politeisme, panteisme, dll. Ia tidak mengkritisi konsep ketuhanan dan pewahyuan dalam Islam, sebaliknya justru membela.Begitupun dalam tulisannya “Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)”. Di tulisan itu, Tan mencoba untuk menjembatani cara berfikirnya dengan sejarah perkembangan Islam masa lalu. Sekaligus dirinya mengkritisi konsep ketuhanan dan ajaran kepercayaan terhadap yang gaib, sebagaimana Hindu, Budha, Kristen maupun Yahudi.
Tan sangat piawai sekali menceritakan sejarah bangsa Arab pada masa Muhammad Saw. Era dimana sebuah bangsa yang penuh dengan kejahiliahan, peperangan, sengketa antar suku, bobroknya moral, sampai kedudukan perempuan yang tidak ada harganya. Ditengah bangsa yang membutuhkan pemimpin, disitulah Muhammad Saw dilahirkan.Meski berasal dari keluarga terpandang, Muhammad bukanlah anak manja yang mendapatkan semua fasilitas. Sebaliknya sedari kecil dirinya telah ditempa dengan kerasnya hidup, terlebih mengingat dirinya seorang yatim piatu.Semenjak remaja, Muhammad Saw merasa risau dengan keadaan kaumnya. Baru setelah beranjak dewasa dan menikah dengan Khadijah, akhirnya mempunyai waktu cukup untuk merenung dan berfikir mengawang tentang kondisi sosial bangsanya. Menurut Tan, sebagaimana pemikir dan tokoh besar lainnya, pasti ada saat-saat berfikir hal yang mengawang. Yang membedakan adalah, apakah hasil pikiran itu kembali membumi atau sebaliknya.Tan terlihat sekali mendukung pemikiran dan tindakan Muhammad Saw dan mengecualikan kepercayaan lain, meski mempunyai corak yang sama.Sampai kepada konsep ketuhanan, Tan terlihat berpihak kepada Islam.Menurutnya,Muhammad Saw dalam perenungan merasa heran sekaligus takjub dengan alam semesta. Di sisi lain, diriya risau dengan keadaan kaumnya dan carut-marut. Menurut Tan tidak mengherankan apabila muncul pertanyaan, siapakan gerangan yang menciptakan alam, sekaligus pertanyaan bisakah hal itu memperbaiki dan menyatukan bangsanya.Dengan minimnya pengetahuan science pada saat, suatu kewajaran apabila Muhammad mencari jawaban dari pengetahun-penetahun yang sebelumnya, yaitu mengenai tuhannya Ibrahim, Musa dan Daud. Konsep monotheism mereka dianggap dapat menyatukan bangsanya yang terpecah belah dan masih biadab. Pada saat itu pula, Muhammad Saw menurut Tan mengkritisi konsep berhalanya Kristen, Hindu maupun Budha.
Dalam konteks keesaan Tuhan, ajaran Muhammad merupakan pencapaian puncak dibanding pendahulunya Yahudi dan Nashrani. Khususnya berkaitan dengan kehidupan sosial.Dari ajaran keesaan Islam, lahirlah konsep kesamaan manusia dan manusia lainnya di mata tuhan, dimana hal tersebut belum terang pada agama sebelumnya.Sehingga tidak menjadi soal ketika Muhammad mendeklarasikan sebagai pemimpin besar akhir zaman.Pada perkembangannya, pemikiran tentang keesaan tuhan dan persamaan manusia belum bisa menyadarkan sekaligus menyatukan bangsa Arab, sebaliknya malah menjadi bahan ejekan. Saat itulah muncul pertanyaan kepada siapakah bangsa Arab yang carut marut itu akan takut. Selama ini mereka berpikiran bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian, sehingga seluruh kenikmatan dan kejayaan harus diraih di kehidupan dunia.Dari jawaban pertanyaan diatas lahirlah konsep jiwa dalam jasmani. Dimana setelah mati, jiwa dan jasmani akan dibangunkan untuk dihitung kebaikan dan keburukannya di dunia. Yang berbuat baik akan dimasukan surga penuh dengan kenikmatan dan sebaliknya. Tentunya untuk mencapai surga Muhammad berbeda dengan surga Kristen maupun Nirwana Budha yang penuh dengan ketenangan, melainkan didapatkan dengan perjuangan yang berdarah-darah sebagai contoh mati dalam kesyahidan.Kritik Tan terhadap Kristen tidak hanya berhenti disitu, menurutnya konsep monotheism yang paling lurus adalah Islam.Dipandang dari sudut logika, suatu kemuhalan apabila ada pembagian atau pelimpahan kekuasaan sebagaimana konsep trinitas dalam Kristen, yaitu mengurangi keesaan tuhan itu sendiri.Oleh karenanya, boleh saja umat Kristen memajukan konsep pengagungan wanita (Ibu) serta kasih sayang. Akan tetapi perlu diingat bahwa pada era Muhammad Saw, dimana kedudukan perempuan tidak ada harganya sama sekali dapat terangkat martabatnya di tempat yang tinggi. Dalam hal ini, Tan tidak bermaskud untuk memandingkan konsep sosial kasih sayang yang ada dalam agama Kristen dalam masyarakat, akan tetapi yang ditekankan adalah dalam konsep ketuhanannya.
Pada akhir tulisannya Tan mengakui bahwa konsep ketuhanan dalam Islam jika dihadapkan dengan logika, maka tidak akan bertemu. Masalah kepercayaan harus dikembalikan kepada masing-masing diri.Hanya menurut Tan, bahwa konsep ketuhanan dalam Islam sangat berkaitan dengan banyak hal, meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya jika dilihat dari sejarah perkembangnya di masa lampau.“Madilog adalah untuk menjembatani pemikiran Tan Malaka dan Islam” ungkapan Harry Poeze. Ungkapan ini tepat, mengingat ajaran sosial Islam dengan sudut pandang Madilog tidaklah bertentangan.
Pandangan Madilog dalam Kajian Keislaman Suatu hal yang dilematis, apabila pandangan Madilog dipaksakan terhadap pemahaman teologis maupun filsafat Islam. Permasalahan ini terus berkembang khususnya berkaitan dengan filsafat keilmuan Islam yangbersumber dari al Quran maupun Hadist. Paham materialistik yang diusung Tan dipandang terlalu empiris sehingga bertentangan kebenaran dalam konsep ilmu-ilmu idealis Islam. Menurut logika Tan, kebenaran yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak mengandung kebenaran.Pemikiran Tan senada dan mungkin berujung pada positivistik seperti yang diusung Comte, yaitu mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu pengetahuan melepaskan diri dari teologis yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan melepaskan diri dari metafisis yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan menemukan otonominya dalam lingkungan yang positivistik.Dalam filsafat Islam, yang menjadi hakikat adalah akal dan al Quran. Apabila tidak melibatkan kedua hal tersebut maka dianggap suatu pemahaman di luar Islam. Diperlukan adanya dialektika antara al Quran dan akal yang fungsional, yaitu akal sebagai subjek mempunyai komitmen wawasan moralitas yang bersumber pada al Quran.Meski sebagian ada pertentangan dalam logika mengenai keimanan, dalam konsep dialektika umum terdapat persamaan. Yaitu dalam hal otonomi akal. Islam memberikan ruang seluas-luasnya pada otonomi akal dalam melaksanakan tugasnya untuk berfikir, akan tetapi sekaligus mengkuatirkan obsolutisme akal yang dapat menimbulkan anarkhi. Menggunakan akal dalam al Quran artinya berfikir sekaligus berdzikir.Perlu diakui, sebagaimana kritik Tan terhadap faham dialektik idealis sesungguhnya filsafat Islam lebih mendekatkan diri pada faham tersebut. Sehingga darinya telihat jelas perbedaan yang mendasar atas sumber kebenaran yang di anut.Dalam perkembangannya, al Ghazali mencoba untuk menengahi hal tersebut dengan membagi pengetahuan kepada ilmu-ilmu agama (‘ulum syar’iya atau ‘ulum naqliya) dan ilmu-ilmu science.
Lebih luas dari al Ghazali, al Jabiri membagi epistimologi pengetahuan Islam (Nalar Arab) kepada tiga konsep. Yaitu pengetahuan didasarkan pada Bayani, ‘Irfani dan Burhani. Epsitimologi Bayani yaitu pendekatan teks yang prinsip kerja intelektual dimulai dari (1) kata-kata atau penyebutan yang merupakan lambang sesuatu, (2) adanya makna yang menjelaskan maksud kata dan lambang-lambang penyebutan, (3) adanya benda-benda alam yang diberi nama atau sesuatu yang harus dilakukan, berdasarkan kata dan lambang yang disebutkan.Adapun epistimologi Burhani dimaknai sebagai pengetahuan yang diperoleh dari indra, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) Adapun Prinsip kerjanya adalah (1) adanya benda-benda alam yang diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi dalam pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam fikiran tersebut lewat bahasa atau kata. (al Jabiri: 2009, 421).Meski tetap terdapat perbedaan dalam pandangan filosofis, hal tersebut perlu difahami dalam konteks ilmiah. Melihat realita pada saat Tan menulis Madilog tentunya berbeda, yaitu disaat masyarakat Indonesia masih dikungkung oleh pemahaman mistis dan feoudalisme penjajah. Menurutnya, pandangan idealis yang mendukung kapitalisme dan penjajahan harus dilawan sampai ke akarnya.Pemahaman yangmemakai pendekatan materilaisme memang dipandang dekat kepada atheisme.Meski begitu, ternyata Tan memberikan ruang bagi kepercayaan untuk dikembalikan kepada diri masing-masing, termasuk dirinya sendiri. Dalam Madilog, secara cemerlang Tan mencoba memberikan pemahaman Islam dari faham materialisme yang membumi.Semangat yang diusung Tan sebenarnya hampir sama dengan apa yang diusung oleh Ibnu Taimiyah, yaitu membersihkan agama dari hal-hal yang irasional dan tidak empiris. Dalam hal ini, konteksnya adalah menyerang tasawuf yang sesat. Menurutnya dalam konsep hal ghaib di luar nalar serta keluar dari ketentuan al Quran dan Sunnah harus ditolak.Meski begitu, Ibnu Taimiyah mengakui bahwa terdapat tasawuf yang dibenarkan, sebagaimana para sahabat dan salafusshaleh.
___ oo___
Tentang Penulis:
Namanya Yayan M Royani, Ia terlahir di Tasikmalaya tangal 9 Februari 1987, memulai pendidikan formalnya pada umur 5 tahun di SD Tanjung Pura 1 Jamanis Tasikmalaya. Setelah tamat tahun 1999, dirinya melanjutkan studi di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan menjadi Mutakhorrij tahun 2004. Setelah mengabdi satu tahun, kemudian Ia mondok di Ponpes APIKK 509 Kaliwungu sambil meneruskan jenjang strata satu di Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang selesai tahun 2011. Sebentar merasakan angin kebebasan dari cengkraman akademik formal, dirinya langsung meneruskan strata dua di Program Magister Ilmu Hukum Undip konsentrasi Sistem Peradilan Pidana (SPP). Tamat tahun 2013 menyambi sebagai advokat magang Peradi, sekaligus meneruskan jenjang strata tiga di IAIN Walisongo Semarang konsentrasi Islamic Studies sampai sekarang. Adapun sehari-hari aktif sebagai koordinator Divisi Advokasi Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Berminat pada kajian hukum dan HAM. Bisa dihubungi di email yayanroyani@yahoo.co.id
______________________
Oleh : Yayan M. Royani
Pandangan Madilog terhadap Islam
Menurut pengakuan Tan Malaka, dirinya lahir dari keluarga religius yang taat. Sejak kecil Tan telah menerima ajaran agama. Bahkan di usianya yang masih belia telah menjadi guru muda. Dogma ajaran Islam tanpa terasa telah merasuki alam bawah sadar Tan, sehingga tidak mengherankan kalau dirinya selalu terharu acapkali mengingat masa lalu. Tidak mengherankan pula, meski dengan penuh keterbatasan pada masa pelariannya, Tan terus berusaha untuk memahami Islam lebih dalam.
Hemat penulis, dalam hal mengkiritisi kepercayaan-kepercayaan yang dianggap bertentangan dengan Madilog, Tan sangat subjektif melihat Islam. Hal itu terlihat dari tulisannya tentang logika mistika yang menyerang faham animisme, politeisme, panteisme, dll. Ia tidak mengkritisi konsep ketuhanan dan pewahyuan dalam Islam, sebaliknya justru membela.
Begitupun dalam tulisannya “Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)”. Di tulisan itu, Tan mencoba untuk menjembatani cara berfikirnya dengan sejarah perkembangan Islam masa lalu. Sekaligus dirinya mengkritisi konsep ketuhanan dan ajaran kepercayaan terhadap yang gaib, sebagaimana Hindu, Budha, Kristen maupun Yahudi.
Tan sangat piawai sekali menceritakan sejarah bangsa Arab pada masa Muhammad Saw. Era dimana sebuah bangsa yang penuh dengan kejahiliahan, peperangan, sengketa antar suku, bobroknya moral, sampai kedudukan perempuan yang tidak ada harganya. Ditengah bangsa yang membutuhkan pemimpin, disitulah Muhammad Saw dilahirkan.Meski berasal dari keluarga terpandang, Muhammad bukanlah anak manja yang mendapatkan semua fasilitas. Sebaliknya sedari kecil dirinya telah ditempa dengan kerasnya hidup, terlebih mengingat dirinya seorang yatim piatu.
Semenjak remaja, Muhammad Saw merasa risau dengan keadaan kaumnya. Baru setelah beranjak dewasa dan menikah dengan Khadijah, akhirnya mempunyai waktu cukup untuk merenung dan berfikir mengawang tentang kondisi sosial bangsanya. Menurut Tan, sebagaimana pemikir dan tokoh besar lainnya, pasti ada saat-saat berfikir hal yang mengawang. Yang membedakan adalah, apakah hasil pikiran itu kembali membumi atau sebaliknya.
Tan terlihat sekali mendukung pemikiran dan tindakan Muhammad Saw dan mengecualikan kepercayaan lain, meski mempunyai corak yang sama.Sampai kepada konsep ketuhanan, Tan terlihat berpihak kepada Islam.Menurutnya,Muhammad Saw dalam perenungan merasa heran sekaligus takjub dengan alam semesta. Di sisi lain, diriya risau dengan keadaan kaumnya dan carut-marut. Menurut Tan tidak mengherankan apabila muncul pertanyaan, siapakan gerangan yang menciptakan alam, sekaligus pertanyaan bisakah hal itu memperbaiki dan menyatukan bangsanya.
Dengan minimnya pengetahuan science pada saat, suatu kewajaran apabila Muhammad mencari jawaban dari pengetahun-penetahun yang sebelumnya, yaitu mengenai tuhannya Ibrahim, Musa dan Daud. Konsep monotheism mereka dianggap dapat menyatukan bangsanya yang terpecah belah dan masih biadab. Pada saat itu pula, Muhammad Saw menurut Tan mengkritisi konsep berhalanya Kristen, Hindu maupun Budha.
Dalam konteks keesaan Tuhan, ajaran Muhammad merupakan pencapaian puncak dibanding pendahulunya Yahudi dan Nashrani. Khususnya berkaitan dengan kehidupan sosial.Dari ajaran keesaan Islam, lahirlah konsep kesamaan manusia dan manusia lainnya di mata tuhan, dimana hal tersebut belum terang pada agama sebelumnya.Sehingga tidak menjadi soal ketika Muhammad mendeklarasikan sebagai pemimpin besar akhir zaman.
Pada perkembangannya, pemikiran tentang keesaan tuhan dan persamaan manusia belum bisa menyadarkan sekaligus menyatukan bangsa Arab, sebaliknya malah menjadi bahan ejekan. Saat itulah muncul pertanyaan kepada siapakah bangsa Arab yang carut marut itu akan takut. Selama ini mereka berpikiran bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian, sehingga seluruh kenikmatan dan kejayaan harus diraih di kehidupan dunia.
Dari jawaban pertanyaan diatas lahirlah konsep jiwa dalam jasmani. Dimana setelah mati, jiwa dan jasmani akan dibangunkan untuk dihitung kebaikan dan keburukannya di dunia. Yang berbuat baik akan dimasukan surga penuh dengan kenikmatan dan sebaliknya. Tentunya untuk mencapai surga Muhammad berbeda dengan surga Kristen maupun Nirwana Budha yang penuh dengan ketenangan, melainkan didapatkan dengan perjuangan yang berdarah-darah sebagai contoh mati dalam kesyahidan.
Kritik Tan terhadap Kristen tidak hanya berhenti disitu, menurutnya konsep monotheism yang paling lurus adalah Islam.Dipandang dari sudut logika, suatu kemuhalan apabila ada pembagian atau pelimpahan kekuasaan sebagaimana konsep trinitas dalam Kristen, yaitu mengurangi keesaan tuhan itu sendiri.Oleh karenanya, boleh saja umat Kristen memajukan konsep pengagungan wanita (Ibu) serta kasih sayang. Akan tetapi perlu diingat bahwa pada era Muhammad Saw, dimana kedudukan perempuan tidak ada harganya sama sekali dapat terangkat martabatnya di tempat yang tinggi. Dalam hal ini, Tan tidak bermaskud untuk memandingkan konsep sosial kasih sayang yang ada dalam agama Kristen dalam masyarakat, akan tetapi yang ditekankan adalah dalam konsep ketuhanannya.
Pada akhir tulisannya Tan mengakui bahwa konsep ketuhanan dalam Islam jika dihadapkan dengan logika, maka tidak akan bertemu. Masalah kepercayaan harus dikembalikan kepada masing-masing diri.Hanya menurut Tan, bahwa konsep ketuhanan dalam Islam sangat berkaitan dengan banyak hal, meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya jika dilihat dari sejarah perkembangnya di masa lampau.
“Madilog adalah untuk menjembatani pemikiran Tan Malaka dan Islam” ungkapan Harry Poeze. Ungkapan ini tepat, mengingat ajaran sosial Islam dengan sudut pandang Madilog tidaklah bertentangan.
Pandangan Madilog dalam Kajian Keislaman
Suatu hal yang dilematis, apabila pandangan Madilog dipaksakan terhadap pemahaman teologis maupun filsafat Islam. Permasalahan ini terus berkembang khususnya berkaitan dengan filsafat keilmuan Islam yangbersumber dari al Quran maupun Hadist. Paham materialistik yang diusung Tan dipandang terlalu empiris sehingga bertentangan kebenaran dalam konsep ilmu-ilmu idealis Islam. Menurut logika Tan, kebenaran yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak mengandung kebenaran.
Pemikiran Tan senada dan mungkin berujung pada positivistik seperti yang diusung Comte, yaitu mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu pengetahuan melepaskan diri dari teologis yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan melepaskan diri dari metafisis yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan menemukan otonominya dalam lingkungan yang positivistik.
Dalam filsafat Islam, yang menjadi hakikat adalah akal dan al Quran. Apabila tidak melibatkan kedua hal tersebut maka dianggap suatu pemahaman di luar Islam. Diperlukan adanya dialektika antara al Quran dan akal yang fungsional, yaitu akal sebagai subjek mempunyai komitmen wawasan moralitas yang bersumber pada al Quran.
Meski sebagian ada pertentangan dalam logika mengenai keimanan, dalam konsep dialektika umum terdapat persamaan. Yaitu dalam hal otonomi akal. Islam memberikan ruang seluas-luasnya pada otonomi akal dalam melaksanakan tugasnya untuk berfikir, akan tetapi sekaligus mengkuatirkan obsolutisme akal yang dapat menimbulkan anarkhi. Menggunakan akal dalam al Quran artinya berfikir sekaligus berdzikir.
Perlu diakui, sebagaimana kritik Tan terhadap faham dialektik idealis sesungguhnya filsafat Islam lebih mendekatkan diri pada faham tersebut. Sehingga darinya telihat jelas perbedaan yang mendasar atas sumber kebenaran yang di anut.Dalam perkembangannya, al Ghazali mencoba untuk menengahi hal tersebut dengan membagi pengetahuan kepada ilmu-ilmu agama (‘ulum syar’iya atau ‘ulum naqliya) dan ilmu-ilmu science.
Lebih luas dari al Ghazali, al Jabiri membagi epistimologi pengetahuan Islam (Nalar Arab) kepada tiga konsep. Yaitu pengetahuan didasarkan pada Bayani, ‘Irfani dan Burhani. Epsitimologi Bayani yaitu pendekatan teks yang prinsip kerja intelektual dimulai dari (1) kata-kata atau penyebutan yang merupakan lambang sesuatu, (2) adanya makna yang menjelaskan maksud kata dan lambang-lambang penyebutan, (3) adanya benda-benda alam yang diberi nama atau sesuatu yang harus dilakukan, berdasarkan kata dan lambang yang disebutkan.
Adapun epistimologi Burhani dimaknai sebagai pengetahuan yang diperoleh dari indra, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) Adapun Prinsip kerjanya adalah (1) adanya benda-benda alam yang diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi dalam pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam fikiran tersebut lewat bahasa atau kata. (al Jabiri: 2009, 421).
Meski tetap terdapat perbedaan dalam pandangan filosofis, hal tersebut perlu difahami dalam konteks ilmiah. Melihat realita pada saat Tan menulis Madilog tentunya berbeda, yaitu disaat masyarakat Indonesia masih dikungkung oleh pemahaman mistis dan feoudalisme penjajah. Menurutnya, pandangan idealis yang mendukung kapitalisme dan penjajahan harus dilawan sampai ke akarnya.
Pemahaman yangmemakai pendekatan materilaisme memang dipandang dekat kepada atheisme.Meski begitu, ternyata Tan memberikan ruang bagi kepercayaan untuk dikembalikan kepada diri masing-masing, termasuk dirinya sendiri. Dalam Madilog, secara cemerlang Tan mencoba memberikan pemahaman Islam dari faham materialisme yang membumi.
Semangat yang diusung Tan sebenarnya hampir sama dengan apa yang diusung oleh Ibnu Taimiyah, yaitu membersihkan agama dari hal-hal yang irasional dan tidak empiris. Dalam hal ini, konteksnya adalah menyerang tasawuf yang sesat. Menurutnya dalam konsep hal ghaib di luar nalar serta keluar dari ketentuan al Quran dan Sunnah harus ditolak.Meski begitu, Ibnu Taimiyah mengakui bahwa terdapat tasawuf yang dibenarkan, sebagaimana para sahabat dan salafusshaleh.
___ oo___
Tentang Penulis:
Namanya Yayan M Royani, Ia terlahir di Tasikmalaya tangal 9 Februari 1987, memulai pendidikan formalnya pada umur 5 tahun di SD Tanjung Pura 1 Jamanis Tasikmalaya. Setelah tamat tahun 1999, dirinya melanjutkan studi di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan menjadi Mutakhorrij tahun 2004. Setelah mengabdi satu tahun, kemudian Ia mondok di Ponpes APIKK 509 Kaliwungu sambil meneruskan jenjang strata satu di Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang selesai tahun 2011. Sebentar merasakan angin kebebasan dari cengkraman akademik formal, dirinya langsung meneruskan strata dua di Program Magister Ilmu Hukum Undip konsentrasi Sistem Peradilan Pidana (SPP). Tamat tahun 2013 menyambi sebagai advokat magang Peradi, sekaligus meneruskan jenjang strata tiga di IAIN Walisongo Semarang konsentrasi Islamic Studies sampai sekarang. Adapun sehari-hari aktif sebagai koordinator Divisi Advokasi Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Berminat pada kajian hukum dan HAM. Bisa dihubungi di email yayanroyani@yahoo.co.id
___________
___________
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini