Menyeruaknya kasus Kanjeng Dimas Taat Pribadi belakangan benar-benar mengonyak nalar rasio kita. Apalagi, salah satu pengikut setianya, yang getol me-back up si pengada/pengganda uang tersebut adalah Mantan Pejabat yang memiliki gelar akademik mentereng. Bahkan ia kerap kali mengaitkan hal-hal yang bagi kita musykil tersebut, dengan penjelasan yang nampak ilmiah. Katanya, itu ilmu yang lebih tinggi dari sains-eksperimental. Tapi kenapa melulu soal uang?
Ini pula yang sempat ditanyakan KH. Hasyim Muzadi dalam forum ILC selasa (04/10/16), kalau memang bisa me-ngada-kan uang, kenapa harus menggunakan uang orang lain? Bahkan ada salah satu korban-nya, yang dikata rugi hingga 200 milliar, yang konon uang itu akan digandakan menjadi 18 Triliun. Terbayang betapa banyaknya duit itu.
Jadi tidak perlu membangun korporasi, tidak perlu punya aset macam-macam. Toh duit segitu sudah sangat banyak. Bahkan lebih banyak dari sebagian besar pengusaha Indonesia. Tidak perlu merintis usaha dari nol seperti Chairul Tanjung, juga tidak perlu jadi bos MNC seperti Hary Tanoe. Jika memang berhasil digandakan sampai 18 Triliun, maka orang itu pasti akan langsung didaulat menjadi orang terkaya di Indonesia, bersaing dengan pengusaha kakap seperti Sukanto Tanoto, Selamet Riyadi, atau Aburizal Bakrie.
Apalagi sampai disinggung-singgung bahwa ia adalah Satrio Piningit, Pemimpin dari Para Sultan se-nusantara, dan lain sebagainya. Ini makin susah dipahami, makin tidak logis dan realistis. Apalagi, keahlian yang ia miliki adalah pengadaan uang, instrumentnya adalah uang, apakah uang itu benar-benar menjadi solusi atas problematika bangsa Indonesia?
Kata Prof. Mahfud MD, kalau memang dengan uang negara bisa maju, maka itu bisa dilakukan Bank Indonesia dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya. Tapi tidak bisa, ada hitungan ekonomi-nya. Harus mempertimbangkan inflasi, deflasi, dan lain sebagainya. Juga kalau sampai timbul fikiran, orang bisa banyak uang tanpa bekerja, dan akhirnya semuanya menjadi pengikut Dimas Kanjeng, lalu apa jadinya hidup ini? Yang ada justru melahirkan generasi mistik, minim etos kerja, minim produktifitas.
Analisis Prof. Azyumardi Azra menjadi jawabnya. Bahwa munculnya beginian karena adanya krisis, frustasi dan disorientasi kerja. Jika banyak pengikut dimas kanjeng yang merasa damai berada di Padepokan tersebut, kata Prof. Azra, bisa jadi karena dia punya problem di keluarganya, atau lingkungannya. Akhirnya dislokasi. Negara juga harus bercermin bahwa munculnya “orang yang ingin punya uang banyak tanpa kerja” karena frustasi sosial akan sulitnya ekonomi.
Lebih baik kita menapaki jalan-jalan logis-realistis, yang bisa dipertanggung jawabkan secara syar’i dan secara ilmiah. Bekerja dengan passion kita, produktif dalam bidang itu, sehingga selain kita dapat uang, orang juga akan mendapatkan sesuatu dari kerja kita. (*)
Blitar, 5 Oktober 2016
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini