Setengah jam lebih perjalanan dari Kota Blitar menuju rumah Orang Tua Kang Najib Burhani, di desa Gandekan Kecamatan Wonodadi Blitar. Saya kesana bersama dua teman dari Paguyuban Srengenge, Kang Khabib dan Kang Atim. Sekitar dua hari sebelumnya, Kang Khabib sudah mengontak Kang Najib untuk berkunjung ke rumahnya.
Karena baru pertama kali kesana, kami sempat dua kali berhenti untuk bertanya lokasinya, sampai tiba di balai desa gandekan, dan harus memutar balik karena rumah Kang Najib –tepatnya rumah Orang Tuanya—berada sebelum kantor desa. Akhirnya kami menemukan rumah tersebut, di depannya berdiri Musholla, Kang Najib sedang shalat isya berjamaah, kami menemuinya sesaat setelah shalat selesai.
Di dalam Mushola, Jamaah lain sedang berdzikir. “Shalat dulu ya,” pinta Kang Najib. Kami kemudian menunaikan shalat isya terlebih dahulu, Kang Najib sudah menanti di ruang tamu.
Malam itu Kang Najib Burhani baru saja kembali dari Kediri untuk agenda bedah buku “Muhammadiyah Jawa”-nya. Tiga hari beruntun dari tanggal 17,18 dan 19, Ia harus menjadi Pemateri bedah buku di Kediri, Blitar, dan Surabaya. Kami datang ke rumah beliau malam itu, selain atas nama panitia, juga silaturahim tokoh. “Kapan lagi bertemu tokoh,” ucap Kang Khabib, yang memang sangat exiteddengan buku “Muhammadiyah Jawa” tersebut.
Kang Najib banyak bertanya soal aktivitas kami di Muhammadiyah Blitar, termasuk tentang JIMM Blitar. “Kalau JIMM Blitar itu gerakannya gimana?” tanyanya. Tentu yang bisa menjawab adalah Kang Khabib “JIMM Blitar sementara terpayungi dalam Paguyuban Srengenge,” Jawab Khabib.
Membahas soal JIMM, Kang Najib kemudian sedikit bercerita tentang Alm. Kang Moeslim Abdurrahman. “Dulu Kang Moeslim itu telaten sekali mementori kami, termasuk mensupport untuk kuliah keluar negeri. Sekarang sepertinya ada keterputusan,” jelasnya. Perbincangan kami kadang menggunakan bahasa Jawa, kadang juga bahasa Indonesia. Meski lama merantau di Jakarta, sampai melanjutkan master dan doktor di Amerika dan Eropa, ternyata aksen Jawa Kang Najib tetap melekat.
Tak berselang lama, Ibunda Kang Najib datang membawa nampan berisi empat gelas teh, sepiring jeruk, dan sekotak biskuit. Kami sempat berbincang singkat dengan beliau. Suasana sekitar rumah Kang Najib begitu hening malam itu, meskipun malam minggu. Benar-benar menunjukkan suasana khas pedesaan. Kami juga baru tahu kalau Kang Najib memang asli kelahiran sini, alumnus MTsN Kunir. Hanya waktu Aliyah, merantau ke Jember dan melanjutkan sarjananya di UIN Jakarta. Perkenalannya dengan Muhammadiyah, justru terjadi di Jember, sampai lanjut ke IMM dan Menjadi Ketua Umum IMM Cabang Ciputat.
Selanjutnya, perbincangan beralih ke dakwah Muhammadiyah di Blitar. Berapa jumlah cabangnya, amal usaha, serta ciri khas dakwahnya selama ini. Karena disitu ada Kang Atim, yang sudah di Muhammadiyah Blitar sejak masih pelajar, maka dia lah yang menjelaskan lebih jauh. Termasuk ciri khas Muhammadiyah Blitar yang banyak melahirkan saudagar. Entah berapa banyaknya, tapi bisa jadi karena ada sosok Pak Marmin Siswoyo (Pak Sis) yang memang dikenal sebagai Pengusaha sukses di Blitar. Kang Najib pun juga menanyakan bagaimana kegiatan di IMM Blitar, terutama kegiatan Akademiknya.
“Blitar ini kan termasuk daerah yang kultur akademiknya tidak sekuat Malang atau Yogya,” komentar Kang Najib, “Tapi harus tetap ada kader-kader yang menghidupkan akademik atau keilmuan,” lanjutnya.
Lalu Abah Kang Najib, yang sepertinya baru selesai berdzikir dari Mushola, ikut menjagongi kami sebentar. Abah Kang Najib terlihat sudah cukup sepuh. Kami memperkenalkan diri dari Muhammadiyah, dilanjutkan dengan perkenalan singkat asal daerah kami. Meski sekarang Kang Najib Burhani aktif di PP Muhammadiyah, ternyata beliau sejak kecil hidup dari kultur yang sebenarnya terbilang tradisionalis. Termasuk dengan keberadaan Musholla di depan rumah yang menyimbolkan sesepuh desa, terutama dalam hal keagamaan.
Diskusi bergerak ke tema yang agak berat, tentang disiplin keilmuan. Kang Najib berpesan agar setiap kita menemukan genre keilmuan yang belum banyak dikaji orang, terutama di kalangan Muhammadiyah. “Misalkan saya mengkaji perbandingan agama, tapi secara khusus meneliti tentang kaum minoritas seperti Ahmadiyah. Ada juga Oman Fathurrahman yang telaten mengkaji filologi, meski disiplin ilmunya tidak populer. Tapi kalau kita disiplin dan konsisten, maka itu akan menjadi point tersendiri bagi kita,” Jelasnya.
Di Blitar sendiri, melalui Paguyuban Srengenge, kami ingin membuat satu kajian khusus tentang Soekarno, terlebih pandangan-pandangannya tentang Islam atau disingkat SIS (Soekarno Islamic Studies), bekerjasama dengan Perpustakaan Bung Karno. Hal itulah yang barangkali bisa menjadi semacam ciri khas keilmuan yang bisa dikembangkan di Blitar, yang belum begitu banyak dibahas karena selama ini Soekarno selalu dilekatkan sebagai tokoh gerakan kiri. Meski sudah ada beberapa buku yang menjelaskan tentang pandangan Soekarno seperti "Islam Sontoloyo" yang ditulis Soekarno. Juga ada buku lawas berjudul "Soekarno Mencari dan Menemukan Tuhan" karya HA Notosoetardjo. Juga beberapa buku yang ditulis tokoh Muhammadiyah berjudul "Soekarno dan Muhammadiyah" karya Faozan Amar.
Kang Najib juga berpesan agar kajian tentang Soekarno dan Islam itu tidak saja membidik dari sisi lokalistik Blitar. Kalau bisa dikomparasikan dengan frame Global. Bagaimana kemudian pandangan Soekarno tentang Islam, bisa menjadi satu pandangan Global yang unik dan menjadi ciri khas tersendiri, sehingga dampaknya lebih luas.
Perbincangan lainnya seputar buku Muhammadiyah Jawa, tentang makna Purifikasi hingga dakwah literasi secara umum juga beliau bahas pada bedah buku besok harinya, yang bisa dibaca disini (baca juga : PDM Kab Blitar Menggelar Bedah Buku MuhammadiyahJawa).
Tak terasa, diskusi berjalan sekitar satu jam lebih sedikit. Ibunda Kang Najib kemudian mempersilahkan kami menyantap hidangan makan malam yang sudah dipersiapkan. Setelah makan, ada sesi foto bersama, dan kami pun undur diri. Besok pagi Kang Najib Burhani juga akan mengisi agenda bedah buku di LEC Garum.
bincang ringan |
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kami tanyakan. Dahaga ilmu memang tidak pernah ada habisnya. Namun kehadiran Ahmad Najib Burhani di Blitar hari itu, memberikan lecutan semangat bagi kami untuk bergiat lebih aktif lagi, terutama di bidang literasi. Menambah semangat untuk memperkaya wawasan, serta mengupgrade Ilmu Pengatahuan. (*)
Blitar, 17 September 2016
A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini