Bulan-bulan ini kampus memang sedang libur, untuk itulah jalanan cukup lancar. Pagi ini, aku dan Vino tengah menuju rumah mimpi, sebuah gubuk kecil yang digunakan untuk sekolah anak-anak jalanan. Aku baru sekali kesana, sekitar empat tahun lalu, dan tempat itu sangat bersejarah. Karena disanalah, Ahira mengungkapkan hal yang membuat hatiku ngilu ; dia sudah dipinang oleh lelaki lain.
Tapi keinginanku untuk melupakan trauma itu masih cukup kuat, aku tidak ingin terus-terusan terpenjara oleh masa lalu, terpenjara oleh perasaan yang pengap ini, tapi kira-kira dimanakah Ahira sekarang? Ketika pameran lukisan, sosoknya juga tidak terlihat, ditambah penjelasan Vino, jika Ahira tidak mungkin ada di rumah mimpi itu. Apa dia kini sudah pindah ke luar kota dengan suaminya dan menetap disana?
“Kenapa bengong?” tanya Vino ketika kami sampai di halaman rumah bu Ningsih, pemilik rumah mimpi itu.
Aku terkesiap dan memandang ke arah Vino. “Masih ingat Bu Ningsih, kan?” dengan cepat aku memutar ingatan, karena baru sekali bertemu Bu Ningsih, tapi sosok perempuan yang sudah menginjak nenek-nenek itu masih kuat diingatanku, sosok yang sungguh bersahaja.
“Masih lah, loe yakin Ahira nggak ada disini?” aku memastikan.
Vino tersenyum tipis, “Gue pastiin loe nggak bakalan ketemu Ahira disini, oke. Jadi ayo, kita ke rumahnya Bu Ningsih dulu.”
Aku dan Vino berjalan ke rumah itu, tidak ada yang berubah, arsitektur tua dan nuansa pedesaan yang khas dengan pekarangan yang ditumbuhi bunga-bunga. Langkahku begitu berat, takut-takut ada Ahira disana dan perasaan itu akan kembali muncul, perasaan yang harusnya tak lagi kumiliki. Tapi aku harus kuat. Kesedihan bukan untuk dihindari.
“Assalamualaikum,” sapa Vino.
Terdengar suara Nenek-nenek menjawab salam itu, itu pasti Bu Ningsih. Tak lama kemudian pintu terbuka, terlihat sosok perempuan sepuh yang energik. Empat tahun berlalu, tak ada yang berubah dengannya.
“Eh Nak Vino,” sapanya, lalu ia memandang ke arahku. Sepertinya mencoba mengingat-ingat, “Yang ini?” agaknya Bu Ningsih gagal mengingat siapa namaku.
“Saya Libra, temennya Vino,” jawabku singkat sambil tersenyum ramah.
Lalu kami masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Disana sudah ada banyak makanan kecil tersaji.
“Memangnya ada acara apa hari ini?” tanya Bu Ningsih sambil membawakan dua gelas teh hangat ke arah kami.
“Diskusi biasa aja Bu,” jawab Vino.
Dalam perbincangan itu, Vino lebih aktif berbicara, selain karena dia yang lebih kenal dengan Bu Ningsih, juga karena Vino sekarang menjadi salah seorang pengurus di rumah mimpi itu. Sementara aku, hanya menautkan pandangan di sekitar ruangan. Terlintas bayangan seorang perempuan sedang berjalan, bayangannya nampak jelas dari balik tirai ruang tengah. Mungkin saja itu anaknya Bu Ningsih.
Perempuan itu pun berjalan ke arah kami duduk, sejurus kemudian tirai tersibak dan nampaklah sesosok perempuan berjilbab panjang dan bercadar hitam. Siapa perempuan itu? sangat aneh melihatnya dengan cadar seperti itu.
“Ini Vino sudah datang, cepatlah bantu menyiapkan tempatnya. Mungkin nanti diskusi akan dimulai tepat waktu, karena Yusril biasanya selalu datang tepat waktu,” pinta Bu Ningsih.
Perempuan itu terdiam agak lama. Matanya tajam memandang ke arahku, Vino mencoba mengamati keadaan, sepertinya ada sesuatu yang aneh dari perempuan itu. Dari sorot matanya yang nampak sedikit terkejut. Lalu, iapun berlalu begitu saja dari hadapan kami.
“Itu siapa?” bisikku pada Vino.
“Hmm... salah satu pengurus kok, gue juga ndak pernah tau siapa dia, soalnya kan wajahnya ditutupi” jawabnya singkat.
****
Sepanjang diskusi, perempuan itu hanya duduk menyimak di balik tirai. Entah sejak kapan ada hijab, terakhir kali kesini, diskusi berbaur antara laki-laki dan perempuan sudah hal biasa. Dan sedari tadi, perempuan itu terus memandang ke arahku. Ada apa gerangan? Aku jadi merasa terteror.
Vino masih khusyuk dengan diskusi yang ada, sementara aku harus membagi konsentrasi antara materi diskusi dan tatapan perempuan itu yang sesekali memandang ke arahku, sekalipun di balik tirai, tapi terlihat jelas arahnya memandang, karena tirainya begitu transparan. Apakah aku pernah mengenal perempuan itu? dimana dan siapa dia? Bagaimana mungkin aku bisa mengenali dia jika wajahnya terbalut cadar hitam seperti itu? tapi sorot matanya, begitu kuat.
“Bra, ntar habis diskusi, loe nunggu bentar ya. Gue masih mau nemuin Pak Yusril buat bahas proposal,” ucap Vino. Akupun hanya menganggukkan kepala.
Aku hanya duduk di taman ini sambil menanti Vino, mengenang empat tahun lalu, di tempat inilah Ahira mengatakan jika dia telah dipinang oleh seseorang, begitu pahit memang. Tapi biarlah, masa lalu telah hilang, dan kini aku harus berusaha sekuat mungkin untuk bersikap dewasa. Tapi kerinduan itu masih saja tersisa, kerinduan untuk melihat senyum manis dan sapa lembutnya. Ah, apakah empat tahun tidak cukup untuk move on? Bathinku.
Kulihat perempuan bercadar itu berjalan keluar, sesekali pandangannya tertuju ke arahku, dia begitu misterius, seolah begitu mengenalku, atau jangan-jangan tertarik dengan wajah tampanku? Ah, aku hanya bisa tertawa sendiri. Selama kuliah ini memang banyak sekali perempuan yang mendekatiku, karena aku memiliki wajah yang menarik. Setidaknya itulah pengakuan mereka. Tapi benarkah hal yang sama juga terjadi dengan perempuan bercadar itu?
“Hey bro..” Vino menyapaku dan menepuk pundakku, “Ayo kita balik, atau jalan-jalan dulu?” tanyanya.
“Gue masih penasaran ma tu cewek,” jawabku sambil memandang ke arah perempuan bercadar hitam itu.
Vino pun mengarahkan pandangan ke arah perempuan itu pula, ia amati sekilas, “Emangnya penasaran apanya?” tanya dia.
“Loe emang nggak tahu siapa nama tu cewek?”
“Setahuku dia pengurus baru, gue nggak pernah ngobrol ma dia, namanya aja nggak tahu, dia sangat tertutup banget orangnya,” jawab Vino.
“Tapi kenapa dia ngeliatin gue mulu’?”
“Ah, perasaan loe aja kali, ayo cabut, sekarang kita jalan-jalan dulu,” ajaknya.
Kami pun beranjak dari tempat duduk, menyusuri jalan setapak, sebelumnya kami harus pamit kepada Bu Ningsih. Namun Bu Ningsih tidak langsung membiarkan kami pergi, beliau menyuruh kami untuk makan bersama. Di meja itu, sudah ada Bu Ningsih, perempuan bercadar hitam itu dan Kang Muklas, salah seorang pengurus senior di rumah mimpi itu.
“Ayo Vin, ojok sungkan-sungkan, ajak juga teman kamu itu,” pinta Kang Muklas.
Pandanganku justru tertuju pada perempuan bercadar hitam yang duduk disebelah Bu Ningsih, sesekali ia melirik ke arahku, begitupun aku, dalam satu kesempatan mata kami saling bertatapan.
Saat kami tengah asyik bersantap, tiba-tiba perempuan bercadar itu mohon pamit.
“Bu, jam satu saya harus ke perpustakaan kota, sudah janji dengan teman-teman di komunitas sastra,” pamitnya.
Suara itu? Akupun langsung terkesiap. Vino mengalihkan pandangan ke arahku yang terlihat bingung.
“Ada apa?” bisiknya.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengamati perempuan itu beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan kami. Vino tak begitu bereaksi, aku begitu penasaran dengan perempuan itu. Karena suara itu, suara itu aku kenal betul. Aku pun langsung beranjak dari tempat dudukku dan berjalan keluar. Vino, Bu Ningsih dan Kang Muklas hanya memandangku dengan tatapan heran.
Perempuan itu telah siap di atas motornya, hendak menstarter, sepertinya ia terburu-buru. Aku mengejarnya dan telah berada di depannya.
“Ahira,” pekikku.
Ia mengarahkan pandangan matanya ke arahku. Tangannya melambai, namun sayang aku tak megetahui gerak bibirnya tersenyum.
“Apa kabar, Bra?” tanyanya.
Suaranya masih seperti dulu, tak ada yang berubah, hanya saja kini pakaiannya lebih tertutup dan bercadar. Seulas senyum terlukis di wajahku.
“Baik, apa kabar juga? Selamat ya, pasti sekarang udah .....”
“Libra, nanti disambung lagi ya, sekarang aku buru-buru,” Ahira memotong kata-kataku dan mengemudikan motornya, meninggalkanku yang mematung dihadapannya. Sebuah pertanyaan berkelebat di benakku, kenapa sekarang ia bercadar? Ada rasa senang menyelinap di benakku karena bisa bertukar sapa lagi setelah empat tahun berpisah. Seperti mimpi. Apa benar perempuan bercadar yang mengamatiku dibalik tirai tadi adalah Ahira?
Vino menyusulku, ia terlihat bingung.
“Loe kenal tuh cewek?” tanya Vino.
Aku memandang ke arah Vino, sebuah tinjuan kecil kulayangkan ke pipinya. Ia pun mengaduh.
“Dia kan Ahira,” jelasku.
Sambil memegang pipinya, Vino terkejut.
“Benarkah?” Vino terbeliak.
Aku kembali ke meja makan, menghabiskan makanan tadi dan segera pamit kepada Bu Ningsih. Vino masih terlihat bingung, entah dia berpura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu menahu jika itu Ahira. Justru aku berfikir jika ini adalah skenario Vino agar aku bertemu Ahira.
“Suerr, Bra. Gue nggak tahu menahu kalau tuh cewek ternyata Ahira, loe jangan marah dulu ke gue,” Vino mencoba mengklarifikasi apa yang terjadi.
“Vin. Loe tahu kan kalau gue pengen banget ngelupain Ahira. loe bilang kalau Ahira nggak ada disana, tapi buktinya? Jangan-jangan loe sengaja ya, loe pengen hidup gue terus-terusan dihantui sama bayangan Ahira?”
“Aduh, Bra. Loe tu nggak pernah bisa diajak ngomong ya. Suerr gue juga baru tahu kalau tuh cewek ternyata Ahira.”
Aku menghentikan laju kendaraan, meminta penjelasan Vino tentang keadaan Ahira sekarang ini.
“Kalau gitu, sekarang loe jelaskan apa yang terjadi sama Ahira selama gue di jogja, dan loe pasti tahu tentang Ahira selama ini, nggak mungkin kan loe tiba-tiba juga kaget dengan Ahira yang sekarang ini?”
Vino agak bingung menjawab.
“Hmm... setahu gue, dulu menjelang pernikahan, Ahira mengalami kecelakaan, gue nggak tahu pasti dampak dari kecelakaan itu. Tapi denger-denger, kecelakaan itu bikin calon suaminya membatalkan pernikahan.”
“Membatalkan pernikahan? Trus kenapa loe ngga kabari gue kalau Ahira kecelakaan?” aku terkejut.
“Iya, kabarnya begitu. Namun setelah kecelakaan dan gagalnya pernikahan itu, gue nggak pernah lagi lihat Ahira. saat itu pula, datang tuh cewek bercadar. Gue nggak tahu jika ternyata dia Ahira. Dulu gue mau kabarin loe, tapi loe bilang jangan lagi bahas soal Ahira.”
“Jadi sekarang Ahira belum menikah?”
Vino menganggukkan kepala. Aku termenung sejanak. Ahira belum menikah? Dan sekarang dia bercadar, kenapa? Tiba-tiba ada sedikit rasa bahagia terpancar dihatiku. Disatu sisi ada rasa penasaran yang besar juga dengan sosoknya yang sekarang. Ah, kenapa aku harus merasa bahagia? Bukankah harusnya aku turut sedih karena Ahira gagal menikah?
“Bra...Bra...”
Vino membuyarkan lamunanku. Sedari tadi bayangan Ahira kembali berkelebat, membuatku tak terlalu fokus mengemudi motor.
“Ah, loe ngelamun ya. Sini gue aja yang nyetir,” pinta Vino.
Sepanjang perjalanan bayangan Ahira terus memenuhi otakku, perasaanku bercampur aduk ; antara senang dan sedih. Senang karena Ahira belum menikah, sedih karena dia gagal menikah, padahal ia sudah memamerkan cincin tunangan dan telah menentukan waktu pernikahan. Ada apa gerangan?
Jadi selama empat tahun ini aku tersiksa oleh keadaan dan prasangka yang tak pernah terjadi? Ahira yang dipinang orang lain, Ahira yang hidup bahagia dengan anak-anaknya, dan Ahira yang tak mampu ku miliki? Ah, bodohnya aku. Ingatanku kembali ke masa awal-awal bertemu Ahira, di taman bunga itu.
Bersambung ....
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini