Tulisan ini sebenernya saya buat setelah membaca postingan teman di facebook yang menyatakan bahwa musik di jaman dulu (entah jaman dulunya kapan) dan profesi penyanyi adalah profesi rendahan, budak, penghibur. Tapi kenapa sekarang sangat diminati dan dipuji-puji.
Kalau ada audisi pencarian bakat menyanyi, entah dangdut atau non dangdut, selalu membludak peminat. Bahkan puluhan hingga ratusan ribu orang ikut audisi diberbagai kota. Ketika tayang pun, penontonnya juga banyak. Buktinya ratingnya tinggi dan iklannya banyak.
Belakangan, setelah dirunut, konteks dari musik & pemusik sebagai profesi rendahan, budak, dan penghibur itu, terjadi di era kerajaan. Dimanapun kerjaannya. Tidak di dunia barat, timur, timur tengah, hingga barat timur. Biasanya, musik dan penyanyi itu diiringi penari latar. Di beberapa kasus, konon penari ini ada yang menari stripis dan bisa dijadikan 'teman tidur' oleh paduka Raja.
Apakah konteks sekarang sama? Ini yang harus difikirkan agar kita tidak mudah menggeneralisir. Musik memang menghibur, tapi kadang bukan hiburan itu sendiri tujuannya. Musik memang gampang dinikmati karena memiliki instrumentasi. Tapi lirik-lirik yang digubah tak sedikit yang berisi petuah, nasehat dan perenungan yang mendalam.
Bukan tidak mungkin, musik mampu memberikan ruang perenungan tersendiri. Musik mampu menjadi nasehat, sebagaimana lagu-lagu melayu. Musik juga bisa diarahkan sebagai media kritik, perjuangan, dan pengobaran semangat. Tidak melulu untuk "menghibur tuan". Mungkin ada banyak penguasa yang panas telinganya ketika mendengarkan lagu-lagu kritik.
Kita pun tidak bisa memungkiri masih banyaknya lagu-lagu dengan lirik yang dangkal dan cenderung nakal. Tapi musik bisa menjadi medium yang efektif untuk mengajak orang memaknai kembali hidupnya. Selebihnya, musik bisa menjadi petuah.
Semestinya kita bisa memandang lebih terbuka dan positif. Begitulah. (*)
8 Maret 2016
A Fahrizal Aziz
posted from Bloggeroid
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini