“Iya, beberapa hari yang lalu dia melamarku.”
Aku terdiam, seperti tersengat listrik, kata-kata Rasya itu membuat dadaku sesak. Ternyata itu cincin pertunangan? Bagaimana bisa? Ah, begitu bodohnya aku andaikan mengungkapkan keinginan bodoh itu? ternyata Rasya sudah dipinang orang lain.
“Dan rencananya setelah lulus nanti, kami akan menikah,” lanjutnya.
Perasaanku semakin tak menentu, malam yang harusnya menjadi malam yang indah, ternyata malah menyakitkan hati. Aku tak bisa lagi harus berkata apa.
“Sya, aku pamit pulang dulu ya,” pintaku.
“Loh, katanya mau mengatakan sesuatu?” tanyamu.
“Emm.. besok-besok aja, aku pamit dulu ya.”
“Tehnya belum diminum.”
“Maaf, aku harus buru-buru.”
Dengan segera aku berlari meninggalkan rumahmu, sambil memendam sembilu yang terus mengriris-iris hatiku, sakit sekali mendengarmu telah bertunangan, tak kuasa menahan sesak di dada, aku harus segera meninggalkanmu untuk sedikit menenangkan gejolak ini.
Dan setelah itu, kita jarang bertemu, paling-paling hanya bertegur sapa melalui sms atau jejaring sosial. Entah kau menyadari atau tidak jika setelah pertemuan malam itu aku mencoba menghindarimu, bukan aku benci, tapi lebih pada ingin meredam gejolak yang tak henti-henti meniupkan perasaan cemburu yang berlebih. Sampai hari inpun, kita belum pernah bertemu.
***
Sepertinya takdir memanglah yang akan menang, aku harus segera meninggalkan kota ini tanpa berpamitan denganmu, rasanya sungguh berat melepas kenangan yang selama ini kita rajut. Ah, mungkin aku terlalu melankolis, mungkin aku terlalu berharap jika kau masih sendiri dan belum ada seorangpun yang meminta. Harusnya aku berfikir sebaliknya, untuk apa aku harus berpamitan denganmu? Toh, aku juga bukan orang yang cukup penting dalam hidupmu.
Aku duduk menyendiri di kursi tunggu, ditemani beberapa kardus barang pribadi, menanti kereta jurusan Jogja menjemputku. Dalam penantian ini, aku selalu berkhayal jika kau akan berlari menghampiriku dengan nafas terengah-engah, lalu sejenak menahan langkahku yang hendak masuk gerbong kereta untuk mengucapkan sesuatu, setidaknya kata-kata perpisahan.
Tapi sekali lagi, itu hanyalah harapan, harapan yang tak mungkin tercipta karena keadaan tlah berkata lain, tapi setidaknya aku bisa bahagia bersama utopia itu, lebih baik daripada aku harus terus meratapi kenyataan pahit karena tak bisa menjadi yang terbaik disisimu. Mungkin saja nanti ada perempuan yang mirip sepertimu, atau bahkan lebih bisa menarik perhatianku, tapi aku tidak yakin.
Sampai akhirnya corong stasiun berbunyi dan kereta yang kunanti segera merapat, namun sosokmu tak jua hadir, meskipun aku tahu kau tak akan pernah hadir untuk mengucapkan kalimat perpisahan itu, tapi anehnya aku tak pernah lelah berharap jika kau akan hadir untuk itu, mengucapkan kalimat perpisahan itu.
Dan aku salah, sampai aku duduk di kursi empuk ini, tak sedikitpun terlintas raut wajahmu, atau renyah suaramu, atau suara langkah kakimu. Akupun memberengut, sudahlah, tak perlu lagi aku berharap. Sekarang aku harus fokus pada perjalanan ini, fokus pada kuliahku, dan fokus untuk menulis ulang cerita hidupku dan sempat terhenti karena mengenalmu. Aku tak akan berharap lebih.
Keretapun melaju, tak hendak aku menengok ke jendela, karena aku yakin kau tak ada di luar sana, kau kini berada entah dimana, sebuah tempat yang tak terjangkau oleh Sinyal seluler ataupun Internet. Buktinya Handphone dan jejaring sosialmu tak didapati tanda-tanda kehidupan, namun aku berharap kau masih hidup.
Dalam perjalanan itu aku bersadar pasrah sambil mengingat memori singkat bersamamu, saat pertama kenal di kantin sekolah sampai detik ini, ketika simpul-simpul rasa tlah menyatu dan justru melemahkanku. Aku tahu jika ini bukan kisah sederhana, sekalipun perkenalan kita begitu sederhana, tak aku tak menyangka akan terendam dalam riak gelora.
Segala tentangmu adalah puisi keteduhan, mengingatmu saja membekaskan senyum, aku paham kata-kata itu, kata-kata yang kudapat dari status terkahirmu :
“Jikalau rumput tak menyadari keberadaan embun, haruskah embun berhenti meneduhkannya kala pagi?”
Rumput itu mungkin adalah kamu, dan aku adalah embunnya, bukankah begitu? Aku hanya tersenyum sendiri, harusnya aku mendewasa karena mencintai, bukan malah menjadi kekanak-kanakan. Karena ini adalah kisah embun, yang setiap pagi menyegarkan rerumputan. Bukan kisah sang api dikala kemarau.
Harusnya aku membungkus jutaan kenangan indah itu, menyimpannya lekat di memori jangka panjangku, agar kenangan pahit terhapus dengan sendirinya. Karena kita tahu, sepuluh kebahagian bisa terhapus hanya karena sebuah kesedihan, begitu tidak adilnya perasaan ini. Tapi inilah realitanya.
Bukankah harusnya aku meniupkan api kebahagiaan daripada terbakar dengan api kesedihan? Terlalu ringkih jiwa ini jika terus menerus bergelut dengan kenyataan pahit, padahal masih banyak senyuman yang tertunda. Entahlah, haruskah embun berhenti meneduhkannya dikala pagi? Kini akupun tak tahu bagaimana cara meneduhkanmu.
Aku memang tidak bisa bersikap dewasa ketika aku tahu jika kau telah dipinang seseorang, karena terlalu terbakar oleh api kesedihan, akhirnya aku sulit menyalakan api kebahagiaan itu, dan hingga detik ini, aku membiarkanmu tanpa kabar.
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini