Foto bersama Mbah Mujito. Foto by Ghulam Sunsofi. |
Mbah Mujito mengajar kami ketika usianya sudah menginjak angka 55. Di tahun 2007 pertengahan. Itu berarti, lima tahun kedepan, tepatnya tahun 2012 awal, sudah masuk usia pensiun. Beliau adalah Guru paling senior kala itu. Namun, gayanya yang khas : ramah dan bersahabat, membuat komunikasi kami begitu cair dan terbuka. Kehadirannya di kelas, tidak pernah menjadi momok, sekalipun pelajaran yang diampu adalah bahasa asing yang tidak lain adalah bahasa arab. Yang notabene, merupakan mata pelajaran yang di-UNAS-kan untuk jurusan bahasa.
Mbah Mujito mengajar kami selama dua tahun, dengan mapel yang sama, dengan kitab yang sama, dan cara mengajar yang sama. Jarang memberikan tugas rumah (PR), atau tugas-tugas berat semisal menyalin kalimat atau menerjemah. Suasana di kelas ketika diajar beliau begitu santai. Bahkan sangking santainya, kadang kami lupa kalau mapel yang beliau ampu, masuk dalam enam mapel ‘keramat’ yang di-UNAS-kan. Dan bahasa asing, merupakan mapel kedua yang paling kami waspadai setelah Matematika. Setidaknya, setingkat lebih sulit dari bahasa Inggris, Antropologi, Sastra, atau Bahasa Indonesia.
Tapi lucunya, pasca UNAS berakhir, justru nilai bahasa Asing menjadi salah satu yang tertinggi. Saya saja, bisa mendapatkan angka 7 untuk mapel ini. Lebih tinggi dari bahasa Inggris dan apalagi Matematika. Padahal, sejak naik ke kelas XII, saya paling antusias belajar bahasa Inggris. Meskipun nilai tertinggi saya tetap di mapel Bahasa Indonesia dan Sastra.
Hal serupa juga hampir merata ke semua siswa, terutama jurusan bahasa. Jika di rata-rata, Nilai bahasa asing menempati rangking pertama. Bahkan, sebagian besar yang tidak lulus UNAS, justru jatuhnya di mapel yang tidak diperhitungkan semisal Antropologi dan Bahasa Indonesia.
Mengenang pertemuan
Sesekali saya pernah berbincang dengan beliau, terutama setelah mata pelajaran usai. Biasanya, Mbah Mujito duduk santai diberanda kelas sambil menikmati putung rokoknya. Rokok yang hingga kini saya tidak tahu merk-nya. Beliau pernah bercerita masa kecilnya di Tulung Agung, saat masih bersekolah di SD Buntaran, beliau pernah tinggal kelas, tentunya bukan alasan nilai yang jeblok. Beliau juga bercerita soal kuliahnya yang hanya sampai Sarjana Muda (BA), yang itu berarti membuat dirinya tak bisa menjadi Kepala Sekolah, paling pol menjadi wakil kepala (Waka). Seingat saya, kala itu Mbah Mujito menjadi waka urusan sarana prasarana, ketika kepala sekolahnya Pak Hasyim As’ary.
Mbah Mujito memang masuk dalam generasi tua tamatan PGA. Selepas lulus dari SDN Buntaran, beliau melanjutkan ke PGA Swasta di Aryojeding. Setelah itu, melanjutkan ke IAIN Sunan Ampel. Beliau lulus tahun 1976. Tahun dimana Bapak saya saja masih berusia sepuluh tahun. Kala itu, selepas lulus sarjana muda, ada program lanjutan yang bernama doktoral dan bisa bergelar Drs (doktorandus). Namun entah mengapa, beliau tidak melanjutkan ke sana.
Sebagai generasi tua, Mbah Mujito memang tidak sempat merasakan eufuoria perguruan tinggi yang semakin berkembang setiap tahunnya. Beliau, mungkin hanya mengenal satu metode mengajar, dan itu bersifat sangat konvensional. Tidak sempat mempelajari apa itu kooperatif learningataupun contextual teaching learning, belum lagi dengan seabrek strategi mengajar yang tidak hanya melibatkan verbalitas, tapi juga media yang semakin canggih.
Namun, terlepas dari itu semua, Mbah Mujito mengajar dengan Natural. Atau semacam ‘Natural Teaching’. Empat tahun mendekam di perguruan tinggi sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan, yang dikenalkan oleh perkembangan metode dan media pembelajaran, membuat saya semakin merasakan jika sehebat apapun metode yang kita gunakan untuk mengajar, pada akhirnya semua itu akan kembali ke hal-hal yang sangat esensial dan merupakan fitrah semua manusia : rasa nyaman.
Dengan sikap santainya, Mbah Mujito mampu menetralisir ketegangan siswa kelas XII yang akan bertempur dengan Ujian Nasional. Dengan jarang memberikan PR yang membebani, dan juga gaya mengajar yang tak neko-neko, Mbah Mujito juga membuat suasana kelas menjadi nyaman. Tidak tegang dan menakutkan. Jika suasana menjadi nyaman, dengan (atau) tanpa dibebankan instruksi untuk belajar, pada akhirnya siswa akan memahami sendiri tujuannya sekolah.
Berbeda dengan trend pendidikan baru-baru ini, yang semakin kompleks. Siswa harus ikut les tambahan untuk mengatrol nilainya yang jeblok, guru membebani tugas-tugas yang menumpuk, sekolah hingga sore hari, yang akhirnya tak memberi ruang cukup bagi siswa untuk mengaktualisasi bakat non-akademik yang ia miliki.
Saat saya menjadi ketua Jurnalistik dan ketika sedang ada rapat penerbitan Majalah, banyak yang mengusulkan nama Mbah Mujito sebagai profil guru. Selain karena senioritasnya sebagai Guru, agaknya Mbah Mujito memang disenangi oleh banyak siswa, baik yang diajar maupun tidak diajar. Akhirnya, Profil Mbah Mujito muncul di Majalah Annatiq periode 2008. Bagi yang masih menyimpan arsip majalahnya, silahkan dibaca.
Setelah lulus tahun 2009, saya dan teman-teman alumni masih menyambung tali silaturahim. Setidaknya, satu tahun sekali, ketika moment lebaran. Terakhir, lebaran tahun yang lalu. Meskipun tidak sempat bertemu dengan Mbah Mujito karena ada agenda diluar. Saya juga pernah mendengar, jelang masa pensiunnya, Mbah Mujito sempat menduduki posisi kepala sekolah sementara. Akhirnya, Mbah Mujito menjadi kepala sekolah, kenang saya. Sekaligus mengingat kembali diskusi tentang kepangkatan yang pernah beliau ceritakan.
Diskusi tersebut, melengkapi obituarium yang saya tulis hari ini. Saya tidak menyangka jika akan menulis obituarium untuk beliau. Dan senin kemarin, 23 Februari 2015, saya kembali berkunjung ke rumahnya dengan beberapa teman alumni untuk memberikan penghormatan terakhir. Mbah Mujito, akhirnya menyerah dengan penyakitnya. Penyakit yang saya dengar berpusat di kepala. Mbah Mujito meninggal di usia 63 tahun, ditanggal 23 Februari 2015, sama dengan tanggal lahir beliau, 23 Juni 1952. Senin siang itu, mungkin adalah kunjungan terakhir saya ke rumah beliau. (*)
Selamat Jalan Mbah Kung. Ilal Liqo’
25 Februari 2015
A Fahrizal Aziz*
(*) Alumnus MAN Kota Blitar 2009
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini