Ketika SBY memenangkan pilpres 2004 silam, ada yang mengatakan bahwa beliau adalah the wrong man in the right time. Wrong, karena SBY berdarah militer dan dari partai baru yang suara parlemennya lemah. Sementara reformasi masih menyala-nyala, trauma orba masih melekat diingatan publik. Sosok SBY yang dari militer, konon bisa membangkitkan kembali rezim otoritarian. Sementara sebagian publik menganggap, seharusnya yang menjadi presiden adalah Amien Rais. Selain pengusung ide reformasi, Amien Rais juga mewakili rakyat sipil. Kemenangan rakyat sipil mengindikasikan jika reformasi berjalan dengan baik, tidak terhegemoni oleh kekuatan militer.
Untuk itulah, Amien Rais juga disebut sebagai the right man, in the wrong place. Wrong, karena lemahnya basis suara Amien Rais dan trauma masyarakat atas inkonsistensi sikap beliau ketika mejabat sebagai ketua MPR yang menggulingkan Gus Dur.
Tahun 2009, ketika SBY kembali memenangi pilres, ada sebutan the right man in the wrong way. Right, karena kala itu SBY mengendalikan lebih dari 60% suara parlemen. Dengan begitu, SBY merupakan presiden terkuat sepanjang sejarah politik Republik Indonesia. terkuat karena Partainya memenangkan pemilu, koalisinya besar, dan trust rakyat terhadap figurnya mencapai 60% lebih. Kekuatan Parlemen yang besar juga terjadi di era Presiden Soeharto, akan tetapi dukungan rakyat terhadapnya sangat rendah.
Namun sayang, besarnya kekuasaan SBY itu justru perlahan-lahan lapuk dari dalam. Banyaknya kader Demokrat yang terjerat korupsi, dan juga mitra koalisi yang sering clash di sidang parlemen, terutama soal kenaikan harga BBM. Ternyata, besarnya kekuatan parlemen dan juga trust rakyat, tidak serta merta membuat SBY mulus menjalankan pemerintahan. Justru terjadi pengeroposan dari dalam. Inilah kemudian yang disebut wrong way.
Tokoh lainnya yang dianggap pantas menjadi Presiden tahun 2009 adalah Jusuf Kalla. Namun, Jusuf Kalla juga bisa disebut the right man in the wrong time. Right karena kinerjanya yang terbukti cepat dan revolusioner. Wrong, karena disaat yang sama, Partai Golkar mengalami krisis internal, sehingga suaranya pun turun di pemilu.
Tahun 2014 ini, sebenarnya menjadi moment penting bagi perpolitikan Indonesia. Pertama, suara partai semakin tergerus dengan ketokohan seseorang. Demokrat terbenam karena kasus korupsi, Golkar bergejolak dari dalam, Gerindra naik karena sosok Prabowo, PDIP pun menyeruak karena sosok Jokowi. Tiga partai besar, Demokrat-Golkar-PDIP yang menjadi arus politik kala itu, paham betul jika trust masyarakat ke partai politik semakin lemah. Dan partai yang paling ketiban apes adalah Demokrat, karena posisinya sebagai partai penguasa.
Akhirnya untuk kembali meraih simpati rakyat, Partai Demokrat menggelar Konvensi capres, dan disana muncul calon-calon luar biasa seperti Irman Gusman, Anies Baswedan, Gita Wirjawan, dan Dahlan Iskan, tentunya. Dahlan Iskan pun tampil sebagai pemenang konvensi.
PDIP dan Gerindra yang kebetulan punya tokoh populis, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Berbagai komunikasi politik pun dilakukan. Bahkan Jokowi yang masih harus mejabat sebagai Gubernur, ditarik sebagai ‘umpan’ publik. Hasilnya, PDIP memenangkan Pemilu. Namun seperti biasanya, PDIP memang memiliki catatan buruk dalam hal komunikasi politik. Tahun 1999 misalkan, ketika PDIP memenangkan pemilu, justru yang terpilih menjadi Presiden adalah Gus Dur. PDIP kalah dengan poros tengah yang suaranya jauh dibawah mereka.
Hal yang sama terulang. Setelah PDIP memenangkan pemilu 2014, mereka gagal menjalin komunikasi dengan partai besar seperti Golkar dan Demokrat. Sementara Gerindra, yang sadar bahwa figuritas Prabowo masih kalah dibandingkan Jokowi, dengan gesit melakukan komunikasi politik. Akhirnya terbentuklah koalisi besar yang disebut Koalisi merah-putih. Sementara PDIP, yang lagi-lagi gagal dalam komunikasi politik, tetap bertahan dengan koalisi ramping.
Partai Demokrat memilih berdiri ditengah-tengah, meski sebagian kadernya ada yang merapat ke KIH dan KMP. Namun SBY tetap konsisten. Disinilah terlihat kedewasaan Politik seorang SBY ditengah keruhnya suasana politik yang bercampur antara kepercayaan publik, figuritas, isu media massa, dan pengaruh lembaga survey. Demokrat pun sebenarnya punya ruang yang lebih terbuka : mengusung calon sendiri, bergabung dengan salah satu koalisi, atau berdiri ditengah.
Sayang seribu sayang, pengumunan pemenang konvensi dilakukan setelah pileg, yang itu berarti suara Demokrat harus terjun payung. Harusnya Demokrat meniru cara PDIP dengan menjadikan Jokowi sebagai figur. Andaikan kemenangan Dahlan Iskan diumumkan sebelum pileg, maka rakyat pun akan menimang-nimang lebih jauh. Bahkan, hingga KPU menutup pendaftaran pilpres, hanya dua pasang calon yang muncul.
Karena baik Prabowo ataupun Jokowi, adalah the right man in the wrong time. Prabowo akan susah beradaptasi dengan iklim Demokrasi, meskipun memiliki catatan kepemimpinan yang bagus. Namun, munculnya kembali kasus HAM serta koalisinya yang gemuk, membuat trauma rakyat kepada rezim SBY-Boediono kembali muncul, dan rawan diungkit-ungkit ke Mahkamah HAM international. Tentu Indonesia tak mau memiliki pemimpin yang memiliki resiko jangka panjang.
Jokowi pun begitu, sosoknya mungkin tepat, the right man. Hanya saja, terlalu cepat lompatannya. Dari walikota, Gubernur yang belum usai, dan minimnya pengaruh di partai. Keunggulan Jokowi hanya satu, secara figur dia tak memiliki resiko hukum, baik itu HAM, korupsi, maupun urusan bisnisnya.
Sebenarnya ada sosok yang sangat tepat : Dahlan Iskan. Independen. Pengusana. Pernah menjadi menteri. Wartawan yang berhasil mengelola PLN, Mereformasi kebijakan di BUMN, dan tidak takut berhadapan dengan DPR. Pemikirannya soal Ketahanan pangan, energi, transportasi, kesehatan dan pendidikan pun jelas melalui tulisan-tulisan yang ia buat sendiri. Penyuka wayang, musik daerah, dan mampu berbicara dalam banyak bahasa : Inggris, Mandarin, Arab, Jawa, dll.
Nasionalismenya diwujudkan dengan merebut kembali PT. Inalum yang sudah bertahun-tahun dikuasahi Jepang, berhasil membeli kembali space sinyal Indosat (yang telah dijual) yang sangat strategis tersebut, menjadikan BRI sebagai Bank terbesar di dunia. Ia pun juga memanggil anak-anak terbaik bangsa seperti Ricky Elson, memperkenalkan keahlian anak-anak negeri kepada dunia, misal soal mobil listrik, pembangkit listrik tenaga angin, mikroba penyubur tanaman, alat penyimpanan padi, dan masih banyak lagi. Silahkan baca serial tulisannya yang bertajuk Manufactouring Hope.
Effect Dahlan Iskan pun juga sampai ke Jokowi. Jokowi mulai rajin mengenakan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu ketz. Itu bukan sekedar fashion, namun juga lambang geo-culture Indonesia. Sebagai negara tropis, warganya tak perlu susah-susah meniru menggunakan jas tebal, berdasi tertutup seperti layaknya negara empat musim yang dingin itu. Sepatu ketz pun juga perlambang bahwa seorang eksekutif adalah aplikator yang harus kerja dilapangan, untuk itu sepatu yang paling pas untuk berkeja adalah sepatu ketz. Biar bisa cepat dan gesit layaknya atlet.
Bahkan kabinet Jokowi pun dinamakan Kabinet kerja, mengambil dari slogan lama Dahlan Iskan yang kerja, kerja, kerja itu. Yang tak kalah hebat, Dahlan Iskan bahkan pernah ditawari menjadi menteri di kabinet Jokowi, namun ditolak. Justru Dahlan Iskan merekomendasikan tiga mantan CEO BUMN yang pernah menjadi anak buahnya : ialah Iagnatius Jonan (Menteri Perhubungan), Arief Yahya (Menteri Pariwisata), dan Rudiantara (Menkominfo).
Melihat kenyataan ini, saya semakin yakin bahwa Dahlan Iskan lah yang seharusnya menjadi RI 1. Namun sayang, he is the right man in the wrong place. Dahlan Iskan menaiki perahu politik yang sudah rapuh dan ketiban apes. Partai Demokrat adalah wrong place. Meskipun tidak ada partai yang lebih nyaman bagi Dahlan Iskan, selain partai berlambang Mercy ini. Gagalnya Dahlan Iskan maju sebagai capres ini menandai juga berakhirnya superioritas SBY sebagai ‘king maker’ dalam perpolitikan Indonesia.
Akhirnya bandul politik pun berputar-putar tanpa kendali dan Jokowi lah yang ketiban bejo sebagai Presiden. Tapi anehnya, peta politik publik masih tertuju dalam dua arus besar : PDIP dan Golkar. Dalam setiap pemilu, dua partai ini pasti masuk 3 besar. Tapi agaknya, Jokowi-JK pun akan mengalami nasib yang tak kalah jauh dengan SBY di periode keduanya : digerogoti dari dalam oleh partai. Hanya yang membedakan, Jokowi tidak memegang bandul partai. Tanda-tanda sudah mulai terlihat ketika konflik panas KPK-Polri. Dimana Jokowi akhirnya meng-ignore Budi Gunawan sebagai kapolri. Budi Gunawan sendiri adalah bekas ajudan pribadi Megawati ketika menjadi wapres maupun presiden.
Tanda sebelumnya juga sudah muncul ketika Jokowi meng-ignore Maruar Sirait (kader PDIP) sebagai Menteri. Jika dukungan publik konsisten kepada pemerintah, bisa jadi kekuatan Partai akan semakin melemah. Sehingga tidak akan ada lagi figur yang cemerlang namun gagal nyapres hanya karena lemahnya dukungan partai. Kalau kekuatan partai sudah kian melemah, dan figuritas semakin kuat, maka saya yakin 2019 nanti akan muncul sosok yang the right man, the right place, and the right time.
Siapa dia? Saya tidak tahu pasti. Namun saya sudah memiliki jagoan tersendiri, dan saya berdoa memang benar beliaulah orangnya. Orang itu adalah Ridwan Kamil, dan bukan Ahok. (*)
26 Februari 2015
A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini