Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Siapa Layak Menantang Jokowi?

Siapa kira-kira yang layak menjadi penantang Jokowi pada pilpres 2019? Mungkin banyak yang akan menjawab Prabowo Subianto, apalagi jika merujuk survey. Prabowo tokoh yang paling elektable setelah Jokowi.


Tapi jika melihat track record, sebenarnya ada banyak penantang lain, yang kontestable, yang berlatar sipil dan punya rekam jejak sebagai kepala daerah. Misalkan, seperti TGB Zainul Majdi, Sukarwo, dan Ahmad Heryawan.


Atau, figur-figur parpol yang pernah berada di eksekutif seperti Dzulkifli Hasan. Mungkin juga (Purn) TNI, Jenderal Bintang 4 seperti Moeldoko dan Gatot Nurmantyo.


Tetapi hasil survey merujuk ke Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Bukan tanpa sebab, Prabowo sudah berkontestasi sejak 2004, namanya sudah masuk arena, sudah dibidik lembaga survey, sudah pernah maju sebagai cawapres dan sekaligus capres. Meski nasibnya tidak semulus SBY, yang juga satu angkatan di Militer.


Kenapa bisa demikian?


Sebelum maju pada pilpres 2004, SBY adalah Menteri di era Gus Dur dan Megawati. Jabatannya Menteri Koordinator Polhukam, lalu mendirikan partai, dan menang pilpres, 2009 kemudian Demokrat jadi pemenang pemilu.


Lima tahun berikutnya nyaris tak tertandingi. Pada pilpres 2009, ia unggul di atas 60%. Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo dan sekaligus Wiranto benar-benar tak berkutik. Padahal SBY berpasangan dengan tokoh yang tingkat elektabilitasnya sangat rendah, karena tidak terbidik lembaga survey sebelumnya, yaitu Boediono.


Namun dalam politik memang selalu ada citra negatif, yaitu banyaknya kader Partai Demokrat yang tertangkap KPK, terlibat skandal korupsi berbagai macam instansi.


Tetapi terlepas dari itu semua, SBY mengakhiri masa jabatannya dengan mulus, dengan preseden yang baik sebagai seorang Presiden. Beda hal dengan Soeharto yang memilih mundur, B.J Habibie yang ditolak LPJnya oleh MPR, Gus Dur yang diturunkan, atau Megawati yang kalah pilpres sebagai petahana.


Kini SBY tengah mempersiapkan "putra mahkota", tengah menjalankan proses kaderisasi politiknya. Sama halnya (mungkin) dengan Megawati, yang nampak memberikan ruang terbuka untuk putrinya, Puan Maharani.


Prabowo masih berada dalam arena, belum menyerah, meski usia tak muda lagi. Politisi seangkatannya sudah meredakan ambisi, termasuk mantan atasannya Wiranto yang barangkali akan mengakhiri jabatan birokrasinya sebagai Menko Polhukam.


Prabowo mungkin terlambat mempersiapkan diri, karena selepas diberhentikan dari TNI, selepas meledak peristiwa 1998, ia menghilang dari peredaran. Ada yang menyebutkan tinggal di luar negeri. Baru kembali pada 2004, sementara tokoh lain sudah mempersiapkan segalanya, menata strategi politiknya. Meski tidak semua sukses.


Amien Rais, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, Surya Paloh, Aburizal Bakri termasuk sederet tokoh seangkatan, yang sudah tidak lagi tampil di depan layar. Karenanya mungkin juga, ketika pilpres 2014 lalu ada kesempatan maju sebagai capres, Megawati lebih memilih figur lain. Mungkin sudah saatnya untuk duduk tenang di belakang, dan memberikan ruang bagi kader-kader yang lebih junior untuk tampil.


Karena itupula barangkali, B.J Habibie kala itu mematok kriteria Presiden adalah usia 40-60 tahun. Pada rentang usia itu, di masa depan Indonesia memiliki banyak figur. Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, TGB Zainul Majdi, Sugianto Sabran, M. Ridho Ficardo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Emil Dardak, Azwar Anas, dll adalah sederet nama yang perlu dipertimbangkan.


Tinggal political will dari partai politik yang ada, juga kesadaran masyarakat untuk menilai calon dari rekam jejak. Maka sangat menarik ketika popularitas dan elektabilitas diukur dari kinerja, jika Presiden nanti secara struktural muncul dari Walikota, Gubernur, lalu naik menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden.


Meski tidak menutup kemungkinan tokoh diluar eksekutif atau kepala daerah, bisa juga berkontestasi, dengan rekam jejak yang nyata, gagasan dan program yang menyakinkan. Sehingga dalam kepemimpinan nasional, kita akan selalu memiliki alternatif.


Jangan sampai, sebagaimana yang dulu dikhawatirkan Soekarno, demokrasi dikuasahi oleh para kapitalis. Yang tanpa punya visi misi jelas, apalagi prestasi politik dan birokrasi, namun tampil ke permukaan, hanya karena punya uang, punya media, citranya dipoles sedemikian rupa.


Ada banyak yang layak menjadi penantang Jokowi, dan barangkali juga menggantikannya, namun popularitas dan elektabilitas kurang mendukung, meski secara kapasitas tidak diragukan lagi. []


Blitar, 19 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com


Comments