Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Perjalanan Menulis (Bag. 35-habis)





Siapa Itu Penulis?

Baru saja saya mewawancarai Pak Agus Purwanto, D.Sc, penulis buku Ayat-ayat Semesta. Dari gelarnya saja, D.Sc (Doktor of Science), tentu orang akan menebak jika beliau bukan “sekedar” penulis, melainkan juga akademisi. Jika Doktor dalam bidang sosial rata-rata Ph.D (Doctor of Philoshopy), itu berarti Pak Agus ini bidangnya adalah sains.

Bagi seorang dosen seperti beliau, buku memang menjadi bukti sekaligus menjelaskan rekam jejak keilmuannya. Buku tersebut bisa memuat hasil penelitian, analisis, atau hanya opini terbuka. Tapi ciri khas akademisi, biasanya memiliki data yang sangat kuat, karena terbiasa dengan pertanggung jawaban ilmiah.

Wawancara ini hanya mengambil waktu kosong disela agenda utama sore itu, yaitu Tadarus Pemikiran Islam. Gus Pur—begitu sapaan akrabnya—meski tidak menjadi pemakalah utama pada sesi terakhir, sempat menjelaskan tentang buku Ayat-ayat Semesta yang fenomenal tersebut. Selain menjadi best seller, buku tersebut juga sudah dipromosikan ke beberapa negara.

Saya mewawancarai beliau dalam tema hubungan Islam dan Sains, lebih khusus bagaimana Perguruan Tinggi Islam bisa menjadi mercusuar bagi kemajuan Sains.

Islam mengalami kemunduran karena mengkaji agamanya sebatas ritual, aspek lain diacuhkan. Tidak hanya sains, namun juga bidang-bidang lain. Belakangan muncul gagasan besar untuk kembali mengawinkan Islam dan Sains. Meski tetap saja ada yang menolak.

Mereka menganggap bahwa kebenaran agama itu sudah final, sementara kebenaran sains tersebut relatif. Artinya tidak mungkin agama berjalan beriringan dengan sains. Namun ada yang berpendapat, finalisasi dalam agama itu adalah aspek aqidah, sementara aspek lain masih terbuka kemungkinan perubahan, terutama fiqh.

Perdebatan semacam ini memang tajam, dan mungkin kita dapati orang yang sangat kolot, yang anti Iptek, namun nyatanya tak kuasa untuk melepaskannya dari kehidupan sehari-hari. Bagi kaum akademisi Muslim, Ilmu tidak harus dihindari, apalagi dibenturkan dengan agama. Justru Ilmu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan agama itu sendiri.

Terlepas dari perdebatan di atas, justru terbersit pertanyaan besar tentang siapa itu penulis? Banyak yang kemudian menjawab bahwa penulis adalah orang yang menciptakan karya tulis. Pak Agus lebih dikenal sebagai dosen fisika teori ITS, ketimbang penulis Ayat-ayat Semesta. Tugas utamanya adalah mengajar dan meneliti. Menulis mungkin keharusan juga, ketika hasil penelitian harus dipublikasikan lewat karya tulis.

Tapi tidak semua mahasiswa, meski sudah beberapa kali membuat karya tulis, entah makalah, paper, sampai skripsi, bisa disebut penulis. Padahal apa bedanya, toh sama-sama menghasilkan karya tulis.

Penulis yang kita kenal secara umum, barangkali adalah novelis, atau penulis kolom di koran, plus pengarang yang mengisi rubrik cerpen dan puisi. Wartawan, meski dalam hidupnya banyak menghasilkan karya tulis, juga tidak serta merta disebut penulis. Lebih sering disebut wartawan, atau Jurnalis. Karena tidak semua Jurnalis itu menulis berita.

Mungkin sama dengan akademisi. Hasil penelitiannya bisa disajikan lewat kuliah. Hasil analisisnya pun bisa disajikan dalam slide-slide presentasi. Tidak harus dituliskan. Baru kalau ada kepentingan lain, misalkan penulisan Jurnal dan sejenisnya, barulah menjadi buku atau makalah.

Begitu pun dengan Jurnalis. Jurnalis televisi tidak menyajikan hasil liputannya via tulisan. Berbeda dengan Jurnalis Koran, dia harus bisa menulis berita, karena penyajian beritanya melalui tulisan.

Itupula yang membedakan dengan novelis atau cerpenis. Sangat kecil kemungkinan—bahkan cenderung mustahil—jika hasil karyanya disajikan tidak dalam bentuk tulisan. Mungkin bisa diadopsi menjadi film, tapi bahan mentahnya tetap tulisan utuh. Itulah kenapa mereka disebut penulis, yang karyanya memang hanya bisa disajikan dalam bentuk tulisan.

Kalau begitu, saya bukan penulis. Waktu masih aktif di Majalah dan Koran, lebih seringnya disebut Jurnalis. Namun sebutan itupun rasanya juga teramat berat. Nah, mereka yang besar kemungkinan hanya bisa menyajikan karyanya dalam bentuk tulisan, maka disebutnya penulis.

Artinya, penulis tidak saja mereka yang menghasilkan karya tulis. Tapi yang secara berkesinambungan menghasilkan karya tulis, sampai ia benar-benar menyatakan pensiun. Mahasiswa tidak semua bisa disebut penulis, meski pernah juga menghasilkan karya tulis. Namun karya tulis yang dihasilkan lebih karena tuntutan akademik.

Selamat menulis. []

Blitar, 21 Juni 2017
A Fahrizal Aziz

Comments