Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 5)





Merawat IPM dan IMM
 
oleh A Fahrizal Aziz
Tentu menjadi kegelisahan tersendiri ketika organisasi sepi peminat, apalagi jika perkaderan macet, stagnan sampai beberapa generasi. Terkhusus di Muhammadiyah, sepertinya berorganisasi memang memunculkan banyak kepentingan. Kepentingan tidak selalu berkonotasi negatif, ada juga yang positif.

Awal mula berjumpa dengan Kang Atim dan Kang Khabib dahulu, salah satu perbincangan utamanya adalah bagaimana IMM Blitar bisa eksis. Sampai terbersit keinginan untuk membuat kegiatan atau program yang sekiranya populer di kalangan Mahasiswa, atau masyarakat Blitar secara umum, meski sedikit melenceng dari tujuan.

Rasa peduli yang tinggi itu kadang-kadang membuat saya heran sendiri, terutama ketika IMM Blitar sempat vacum sebelum akhirnya Sukma Ulinuha bersedia menjadi Ketua dan Pergerakan IMM berdenyut kembali.

Yang membuat heran ialah, Kang Atim dan Kang Khabib yang notabene bukan lagi pengurus IMM, sampai harus berfikir keras bagaimana agar IMM tetap eksis. Sampai-sampai saya pernah “dilamar” untuk menjadi Ketua sementara. Selain itu, nama Dian Yuli (sekarang ketua PDNA Kab. Blitar) juga pernah diharap menjadi ketua, terutama untuk mengisi kevakuman.

Beberapa kali pertemuan dilakukan, untuk menanyai siapa yang bersedia menjadi ketua IMM Blitar. Yang saya ingat waktu itu di Kebonrojo dan Kedai Telkom. Sementara diskusi di WA soal ini juga terus bergulir. Namun belum juga memberikan hasil, sampai kemudian entah karena apa, Sukma Ulinuha bersedia. Idealnya memang begitu, ketika Ketua tidak aktif, Sekretaris lah yang menggantikan, dan Sukma waktu itu berposisi sebagai sekretaris.

Mau bagaimana pun, bagi saya, gerakan intelektual memang harus digalakkan. Meski banyak orang berkata bahwa kegiatan seperti itu tidak terlalu laku, atau mungkin justru akan ditertawakan.

Namun kata “intelektual” disini bukan berarti sok pinter, sok jenius, dll. Meskipun IMM bertujuan mengusahakan terbentuknya akademisi Muslim. Artinya lebih pada kegiatan akademiknya. Kegiatan akademik hanya dimiliki oleh Mahasiswa, disesuaikan dengan disipilin ilmunya.

Intelektual, sebagaimana yang pernah diutarakan Filsuf Italia Antonio Gramsci, adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang, apapun latar belakangnya. Maka Gramsci membangi antara Intelektual Tradisional dan Organik. Istilah ini agak berat, namun di era serba canggih ini bisa dilacak definisinya melalui internet.

Artinya, intelektualisme itu bukan saja milik kalangan tertentu, tapi semua orang memiliki potensi yang sama. Memang akan lebih gesit jika yang menjalankan adalah organisasi mahasiswa seperti IMM, karena aktivitas utamanya adalah belajar, kuliah, membaca buku, menulis, dlsb.

Hal itu kemudian disepakati, sampai akhirnya Kang Atim dan Kang Khabib yang tidak lagi berada di struktural IMM, tetap membantu merawat iklim tersebut melalui Paguyuban Srengenge. Setidaknya, kata “membaca” dan “menulis” itu terus didengungkan, dan sedikit banyak itu akan menciptakan suasana bathin tersendiri, bahwa kegiatan intelektual masih ada yang peduli.

Tapi bukan berarti menafikan yang lain, bukan berarti yang tertarik dengan kegiatan baca-tulis, tidak tertarik pada kegiatan lain. Harusnya itu saling melengkapi. Apalagi di IMM, mau diakui atau tidak, kesempatan mendapatkan kader baru, yang benar-benar baru, itu terbuka lebar.

Mungkin kader baru bisa muncul dari Amal Usaha, namun yang masuk ke Amal Usaha tujuan utamanya untuk bekerja, kecuali jika sebelumnya sudah menjadi kader. Yang sebelumnya tak tersentuh Muhammadiyah, mungkin akan sedikit tahu Muhammadiyah, namun jangan berharap akan mau mengurus Muhammadiyah, sebagaimana kader yang hatinya tertanam rasa cinta pada Muhammadiyah.

Mereka yang masuk ke IMM, meski hanya satu atau dua orang, namun memiliki kesadaran yang tinggi, tentu lebih baik daripada berduyun-duyun karena adanya program populis yang bersifat sementara, namun hilang satu per satu ditengah jalan karena tidak sesuai dengan harapan.

Waktu saya kemudian memutuskan bantu-bantu Pak Widjianto Dirja di Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Kab. Blitar, tentu setelah melalui perenungan panjang. Apalagi, ketika Pak Wid bilang bahwa tugas MPK sebenarnya tidak terlalu teknis, tapi lebih bersifat koordinatif dengan bidang perkaderan Organisasi Otonom.

Setelah saya fikir-fikir, yang perlu dan mendesak untuk lekas diperhatikan adalah IPM dan IMM. Karena dari dua ortom inilah, awal mula pembibitan kader, tunas-tunas bermunculan.

Hanya saja, saya tidak terlalu punya wawasan tentang IPM, karena tidak pernah aktif di IPM. Karena itu, akses ke IPM sangat terbatas. Saya hanya punya sedikit wawasan tentang IMM, karena pernah aktif di struktural IMM dari tahun 2010-2014, dari komisariat sampai cabang.

Maka penting kiranya IMM untuk istiqomah memperjuangkan gerakan Intelektual, entah berupa kajian pemikiran, diskusi terbuka, atau mungkin menulis dan melakukan penelitian. Karena setelah tidak lagi di IMM, belum tentu aktivitas tersebut bisa dijalankan.

Ya, meskipun barangkali kegiatan semacam itu tidak terlalu menarik, membosankan, dan kurang mendatangkan materi. Tapi Intelektualisme itu adalah jiwa utama mahasiswa. Mungkin sedikit yang aktif dan mengikuti kegiatan semacam itu, dan sedikit yang mengapresiasinya. Namun lebih baik ada daripada tidak sama sekali.

Saya kekeh dengan gerakan Intelektual, meskipun tidak laku, meskipun tidak populer, meskipun ditertawakan orang. Lagian kita tidak perlu memedulikan yang sinis, fokus saja pada yang masih menghargai hal-hal positif yang kita jalankan.

Nah, beberapa waktu yang lalu, malam-malam ketika hendak meminjam bendera Muhammadiyah di Rumah Pak Zaenal Arifin untuk acara Baitul Arqom Ramadan keeseokan harinya, Pak Zaenal bertanya tentang materi apa yang akan dibawakan Pak Basuki Babussalam.

Tentu saya jawab materi yang berkaitan dengan bagaimana warga Muhammadiyah seharusnya memandang politik, sementara Pak Zaenal sendiri akan bertindak sebagai moderator.

Tiba-tiba, beliau membuka lemari dan menyodorkan sebuah buku berjudul “Moralitas Politik Muhammadiyah” karya Pak Amien Rais.

“Coba ini dibaca kalau nanti hendak membuat tulisan tentang Muhammadiyah dan Politik, intinya Muhammadiyah itu menerapkan High Politik. Tidak selalu terlibat politik praktis, tapi mewarnai kebijakan publik yang ada,” jelas Pak Zaenal.

Mungkin itu hanya peristiwa biasa layaknya seorang Bapak memberikan buku kepada juniornya di Muhammadiyah. Tapi bagi saya itu jadi dukungan tersendiri, mungkin Pak Zaenal percaya jika buku itu dipinjamkan ke saya, maka akan saya baca dan kemudian akan saya jadikan referensi tulisan.

Rasa percaya tersebut tentu tidak akan diberikan jika kita tidak berbuat apa-apa. Berarti apa yang kita perbuat, entah lewat IMM, Paguyuban Srengenge, atau mungkin website BlitarmuID sedikit banyak sudah dilihat keberadaannya. Ternyata ada gunanya juga.

Tapi memang harus perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, dan telaten. Karena gerakan semacam ini rawan kejenuhan, kebosanan, dan belum tentu dihargai orang. Karena kita sedang memposisikan diri sebagai penggerak. Mudah memulai, tapi sulit merawatnya. Fastabiqul Khairot. []

Blitar, 10 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz

Comments