Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Generasi Reformasi yang suka mencaci, dan Generasi Tua yang rindu Orde Baru



“..Kalau Jaman Pak Harto, Presiden berwibawa, ndak seperti sekarang,” celetuk salah seorang bapak. Usianya sudah masuk kepala lima. Berwibawa yang dimaksud bukanlah secara figural, melainkan, banyaknya orang yang dengan mudah mengkritik hingga mencaci maki Presiden. Baik di kehidupan nyata maupun media.

“..Dulu ndak ada yang berani macem-macem dengan Presiden. Kalau sekarang, sedikit-sedikit demo, kisruh, jadinya nggak tenang. Orang mau benarnya sendiri,” tegasnya.

Saya tidak tahu apa maksud lain dari statement bapak generasi 60-an ini. Tapi sering kita lihat poster, gambar, kaos, dll yang memajang foto Pak Harto tersenyum sambil melambaikan tangan dan diserta dengan kalimat : Penak Jamanku to = enak jaman (kepemimpinan) saya kan. Yang seolah-olah menunjukkan jika reformasi ternyata tidak berhasil membuat suasana lebih baik dari orde baru.

Saya sendiri lahir sebelum tahun 1992. Waktu reformasi meledak tahun 1998, usia saya masih tujuh tahun. Masih kelas dua SD. Usia yang belum mampu memahami secara spesifik apa yang terjadi kala itu. Tapi saya sempat merasakan bahwa di era Pak Harto, harga-harga sangat murah sekali. Sehingga ketika krismon 1998 dan pasca itu, terasa betul perbedaannya. Dari yang SD uang saku saya hanya 200 perak, naik menjadi 2.000 ketika SMP. Dari nasi pecel yang harganya 100 menjadi 1.000 per porsinya. Kala itu, terasa betul perbedaannya.

Belakangan saya tahu kalau murahnya harga-harga di jaman orde baru juga berbanding lurus dengan gaji pegawai. Saya masih ingat, kakak ipar saya bekerja di sebuah supermarket, per harinya di gaji Rp 4.000. Itu gaji yang lumayan tinggi di tahun sebelum 1998. Bahkan bisa dibilang sangat tinggi. Sekarang, gaji per hari Rp 20.000 saja belum tentu cukup. Mungkin inilah yang disebut inflasi. Orang-orang seperti bapak ini mungkin tahunya hanya murah dan mahal. Tidak tahu kalau mahalnya sekarang itu karena inflasi yang tinggi, padahal gaji pegawai juga ikut naik.

Saya membayangkan andaikan ada polling, atau kalau perlu konsensus publik. Mau tetap seperti ini atau kembali ke era Pak Harto (Orde Baru), mungkin hasilnya akan mencengangkan. Padahal jika merujuk pada data statistik, baik tingkat Pendidikan dan Kemakmuran, ada banyak perubahan. Sayangnya tidak semua orang bisa membaca statistik, dan tidak semua juga percaya.

Bapak ini, mungkin mewakili sebagian besar generasi tua yang prihatin dengan banyaknya hujatan dan caci maki kepada Pemimpin yang jarang (bahkan tak pernah) mereka ketahui selama lebih dari 30 tahun masa kepemimpinan Orde Baru. Orang bisa dengan mudah Menyerang figur Pemimpin. Anak-anak muda yang hyper aktif di sosial media, lebih khusyuk membuat gambar, meme, status, dsj ketimbang ikut andil menyelesaikan persolan yang ada, atau setidaknya mendoakan yang baik-baik.

Soal bencana misalkan, mulai dari longsor, banjir, pesawat jatuh, pasar kebakaran, hingga kabut asap, banyak yang hanya bersuara di sosial media, bahkan sebagian menyalah-nyalahkan yang perlu disalahkan. Padahal dia sendiri mungkin tak melakukan apa-apa. Artinya, itulah satu hal kecil yang sedikit banyak mencitrakan generasi saat ini. Generasi yang lebih bebas bersuara dibandingkan generasi tua yang terbungkam oleh rezim. Sayangnya, kebebasan bersuara itu tidak selalu diarahkan pada sesuatu yang bersifat solutif.

Berkah reformasi yang mungkin juga terlupa, atau disalah gunakan adalah, bahwa Pemerintah Daerah lebih punya ruang aktualisasi untuk merealisasikan program kepemimpinannya, yang sering kita sebut otonomi. Artinya, untuk kebijakan-kebijakan berskala lokal, mereka bisa lebih gesit membuat kebijakan. Tinggal bagaimana Pemerintah daerah menggunakan wewenangnya ini.

Pembakaran hutan sendiri, belakangan juga terkuak karena adanya legalitas dari Pemerintah daerah, yang dibungkus dengan argumentasi sakti berupa seperangkat regulasi.

Sayangnya, orang tahunya hanya Presiden. Informasi yang di ekspose berlebih juga hanya Presiden. Jarang sekali kepala daerah dan jajarannya di ekspose. Akhirnya yang dikoreksi dan diawasi pun hanya Presiden. Yang dekat, penyebab regulasi itu mucul, justru luput dari pengawasan kita.

Saya bersyukur menjadi generasi yang merasakan kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa harus khawatir dibungkam oleh rezim sebagaimana masa orde baru. Reformasi telah memberikan kita kekuatan untuk berani bersuara dan melawan banyak hal yang bersifat intimidatif dan deskriminatif.

Bagi saya reformasi adalah berkah. Keberanian bersama untuk membuat perubahan. Bukan ruang untuk melampiaskan emosi dan mencaci maki. Kebebasan bersuara ini adalah salah satu berkah reformasi, jangan sampai kita salah gunakan. Kalau kita salah memaknai reformasi, lalu apa bedanya dengan rezim orde baru yang sering kita salahkan karena melanggar wewenang dengan membungkam banyak orang?

Kita tentu tak ingin kembali ke rezim orde baru, tapi kita masih belum cukup menyakinkan untuk melaksanakan reformasi sejauh ini. Kebebasan beropini yang berujung pada caci maki, Wewenang otonomi yang berbuah politik regulasi, hingga pemberantasan korupsi yang terus menyimpan misteri. []

Blitar, 28 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz

Comments