Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Tidak perlu Hari Santri Nasional



Tanggal 22 Oktober akan ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Menurut ketua PBNU, KH. Said Agil Siradj, 22 oktober adalah momentum resolusi jihad. Artinya, hari santri itu ditetapkan untuk memperingati betapa santri memiliki sumbangsih besar dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Jika demikian, Peringatan ini sebenarnya hampir sama dengan peringatan Hari Pahlawan yang berlangsung satu bulan setelahnya, Bulan November. Maka, perlu tidaknya hari santri ini patut menjadi renungan tersendiri.

Pertama, jika hari santri dikukuhkan untuk mengingat jasa-jasa santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka sebenarnya itu sudah terwakili pada peringatan hari pahlawan 10 november. Bahkan, tokoh sentral dalam peristiwa itu adalah Bung Tomo yang dengan keras memekikkan “Allahu Akbar”. Tanpa atau tidaknya penjelasan bahwa banyak tokoh Islam (atau santri) yang berjasa dalam peristiwa itu, sebenarnya sudah terjawab dengan sendirinya.

Yang dibutuhkan adalah pengayaan kembali makna hari pahlawan itu dengan penjelasan yang lebih luas, bahwa para santri juga turut serta dalam aksi itu dengan semangat resolusi jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asya’ri. Sehingga, perayaan hari pahlawan 10 november itu sekaligus menjadi momentum mengingat kembali resolusi jihad.

Kedua, Santri itu merujuk pada gelar personal bagi seseorang yang belajar di pesantren, surau, atau lembaga pendidikan Islam. Karena itulah disebut santri. Sehingga, kalau kata “santri” yang merupakan gelar simbolik digunakan untuk memperingati sebuah peristiwa, tentu itu kurang relevan. Lebih tepat disebut sebagai Hari resolusi jihad. Hari resolusi jihad dinilai lebih penting karena itu akan membuka kembali ingatan bahwa ber-Islam itu juga salah satunya, membela negara. Jadi frasa “hari santri” itu perlu dipertimbangkan ulang.

Ketiga, karena santri merujuk pada gelar atau simbol personal, maka substansinya itu hampir sama dengan, misalkan, hari buruh. Sama bukan dalam arti posisinya, melainkan bentuknya. Buruh adalah gelar bagi orang-orang yang bekerja untuk perusahaan atau industri tertentu yang memenuhi aturan administratif yang ada. Maka sah-sah saja kalau ada hari santri, jika persamaanya adalah hari buruh. Tapi ada satu hal yang perlu diingat yang ini menjadi pembeda.

Hari buruh diperingati karena perjuangan untuk keadilan terhadap buruh dinilai masih diawang-awang. Buruh masih belum mendapatkan hak-haknya. Mereka bekerja keras di bawah tekanan korporasi namun belum mendapatkan imbalan yang setimpal. Maka dari itu, substansi dimunculkannya hari buruh masih sangat relevan. Tak salah jika Pak SBY dulu kemudian menjadikan 1 Mei sebaga hari libur nasional.

Nah, jika kemudian mengambil istilah “Hari Santri”. Apa kira-kira urgensinya? Konteks santri sekarang dengan dahulu pun juga  banyak yang berbeda. Sekarang, di beberapa lembaga pendidikan Islam atau pesantren, untuk menjadi santri disana, harus melalui proses administratif termasuk dengan rincian biaya yang  ditetapkan.

Apa kira-kira urgensi adanya hari santri? Tentu jangan sampai hari santri ini ditetapkan karena Pak Presiden sudah kelewat janji waktu kampanye dulu. Artinya, janji kala kampanye memiliki satu orientasi salah satunya untuk mendapatkan simpati para santri yang berimbas pada dukungan waktu pemilu, sementara, ketika janji itu diucapkan, belum secara matang memikirkan urgensi atas penetapan hari santri itu sendiri. Dan yang semula hari santri diharapkan satu muharram, beralih ke 22 oktober dengan mengatasnamakan resolusi jihad.

Apalagi, tidak semua Muslim bergelar santri. Tidak semua muslim pernah menempuh studi di pesantren. Sehingga, penetapan hari santri ini dikhawatirkan menjadi semacam peng-khususan atas kelompok mayoritas dan itu tentu saja akan menjadi preseden yang kurang baik di kalangan non santri, bahkan non muslim.

Hari santri sendiri juga berbeda dengan hari Ibu yang memiliki skala Universal. Atau hari kartini yang merefleksikan nilai kebangsaan. Artinya, jika hari santri kemudian ditetapkan, maka itu membuka ruang pengkhususan pada Agama tertentu, lebih detailnya kepada kelompok tertentu, dan apalagi, penetapan hari santri terkait erat dengan janji kampanye.

Meskipun nampak sederhana, ini bisa menjadi preseden yang kurang baik atas keberagaman kita sebagai bangsa yang plural ini. Hari santri nasional sepertinya belum memiliki urgensi yang kuat untuk ditetapkan sebagai hari khusus. Ya, meskipun saya sendiri juga pernah menyandang title santri. []

Blitar, 17 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz
www.jurnal-fahri.blogspot.com

Comments