Jumat, 1 Januari 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
Kata orang saya romantis, ya sebab saat pelajaran Geografi justru saya menulis puisi pada secarik kertas. Guru geografi mengetahuinya. Ia mendekat dan mengambil kertas itu, lalu membacakannya. Tidak ada raut kecewa sama sekali pada wajahnya, sekalipun terbukti saya tak memerhatikan apa yang ia sampaikan.
"Kamu pasti mau masuk jurusan bahasa," Tebaknya.
Saya mengangguk pelan. Secarik kertas itu ia letakkan kembali di meja. Pelajaran pun dilanjutkan, saya simpan kertas itu dan mulai menyimak penjelasan Bu Nuzula. Ya, nama guru itu adalah Bu Nuzula.
Saya harus meminta maaf, karena tidak menaruh perhatian maksimal pada mata pelajaran yang ia ampu.
-00-
Sejak terbiasa membaca novel, saya jadi suka bikin coretan pada secarik kertas. Seseorang kemudian menghadiahi buku binder. Kamar saya jadi penuh tumpukan kertas.
Sebenarnya, sejak kelas 3 SD saya sudah menulis puisi. Kebetulan nilai pelajaran bahasa Indonesia cukup baik, dan kemampuan mengarang yang kata Bu Suyatmi, guru Bahasa Indonesia kala itu, sudah seperti anak SMA.
Saat masih SD itu pula saya bisa mengetahui perasaan seseorang. Apa sedang bahagia, sedih, cemas, malas, sebal dan sebagainya. Mengetahui jika Bu Winarti, wali kelas kami, sedang jengkelnya karena tak juga paham pelajaran matematika yang ia ajarkan.
Dulu, saya menulis puisi untuk seseorang. Gadis paling manis di SD sebelah, yang populer dan hits. Lalu kami bertemu tanpa sengaja di dekat kantor kelurahan. Dia memujiku tampan. Saat itulah, menulis puisi jadi sangat menyenangkan.
-00-
Sisi romantis itu perlahan bergeser saat kuliah di Malang. Itulah fase ketika saya keluar dari zona nyaman. Tinggal di asrama dan kontrakan, tenggelam dalam kesibukan akademik dan dunia aktivisme. Lebih banyak membaca buku-buku teori perubahan sosial, dibanding membaca puisi dan novel.
Kira-kira, itu terjadi dalam periode 2010-2015. Baru setelahnya, saya lebih banyak tenggelam dalam dunia-dunia personal, membaca tulisan-tulisan reflektif tentang kehidupan. Apalagi usia melewati 21 tahun, fase quarter life crisis yang membuat saya seperti me-restart ulang kehidupan.
2021, suatu keajaiban baru
Pergantian tahun kali ini begitu penuh makna, sebab sepanjang 2020 kita mengalami situasi berat ; pandemi covid19.
Sebelum pembatasan ketat pada bulan Maret, saya sempat ke Jakarta, Bogor, Malang dan Surabaya. Setelah itu, semua agenda ke luar kota dibatalkan. Sesekali saja ke Batu, untuk sekadar liburan.
Namun pandemi membuat kita membiasakan agenda-agenda daring. Dalam waktu sekejap, kita semua mengenal webinar atau seminar daring dengan memanfaatkan aplikasi video konferensi.
Saya pribadi, jadi lebih sering di rumah. Baca novel dan nonton YouTube, terutama. Mulai mengenal drama korea lewat kanal KBS (Korean Broadcasting System). Menikmati akting dramatis dari Ahn Jae-hyun dan Koo Hye-sun, atau aksi menawan Jhi Chang-wook dan Park Min-young.
Selain itu, kita jadi lebih peduli dengan kesehatan. Mungkin juga, kita lebih berempati pada sekitar, lebih ada waktu memerhatikan keluarga, dan barangkali makin mengenal diri sendiri.
Termasuk ketika akhirnya saya merefleksikan bahwa ada sepotong sisi romantis yang lama saya acuhkan. Jarang sekali ada diksi puitis yang saya tulis, meski hanya sekadar memenuhi linimasa sosial media.
Romantis bukan hanya soal percintaan lho, namun romantis pada kehidupan yang kompleks. Bahwa hidup adalah roman, ada banyak makna yang diam-diam sedang kita rajut dari hidup yang kita jalani.
Maka, 2021 ini saya ingin mengembalikan potongan tersebut. Membuatnya berjalan seiring, dengan kegiatan yang masih menyimpan misteri. Apa yang akan terjadi pada 2021? Hal baru apa yang akan saya lalui, atau semuanya akan berjalan biasa saja?
Tentu kita berharap, 2020 yang penuh ujian adalah bagian dari puzzle hidup yang harus kita lengkapi. Semoga kita semua tak sampai kehilangan sisi romantis. Sekarang sudah 2021, kan?
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini