Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Lontong Plastik




Sabtu, 22 Februari 2020

Pakai nasi apa lontong?

Tanya penjual tahu telur keliling yang biasa lewat sekitar kos-kosan. Lalu saya jawab : lontong. Ternyata lontongnya bewarna putih, tak terlihat kombinasi hijau daun, yang menjadi ciri khas lontong.

Ternyata bungkus lontongnya plastik. Saya menggerundal dalam hati, kok lontong dibungkus plastik?

Bagi orang lain mungkin sepele, tinggal makan saja ribet amat. Namun pikiran saya melayang kemana-mana.

Itu terjadi tahun 2014. Namun tahun-tahun berikutnya semakin sering dijumpai, bahkan di Blitar sendiri ketika membeli tahu lontong.

Padahal, bisa disebut lontong ketika dibungkus daun pisang. Daun pisang tak bisa dipisahkan dengan lontong. Jika tidak dibungkus daun pisang, namanya nasi kepal.

Kenapa harus dibungkus plastik dan tidak dibungkus daun pisang?

Mungkin karena permintaan lontong semakin tinggi, sementara pohon pisang semakin langka. Terutama di area perkotaan, yang sulit mendapatkan daun pisang. Kalaupun ada harganya mahal dan tidak akan untung jika dijadikan lontong.

Akhirnya lebih praktis (dan murah) menggunakan plastik. Toh bisa dicetak seperti lontong, yang panjang dan padat.

Namun, bukankah pohon pisang itu khas tanaman tropis? Sementara Indonesia adalah negara tropis.

Kadang biji pisang dilempar ke sembarang tempat saja bisa tumbuh, bahkan di area bekas bangunan pohon pisang bisa tumbuh menjamur layaknya rumput liar.

Pohon pisang adalah anugrah Tuhan untuk negara tropis, seperti Indonesia. Apalagi dilihat dari kandungan buahnya, dari rasa dan gizinya. Pisang adalah salah satu buah terbaik bagi tubuh.

Bukan saja itu, kenapa makanan dibungkus daun, itulah nilai kearifan para leluhur kita. Jajanan pasar terdahulu dibungkus daun, daun pisang terutama, dilapisi daun jati.

Sehingga kebutuhan akan daun-daun itu tinggi, dan akan terus ditanam pohonnya. Suatu proses yang tak akan putus, demi isi perut dan kelestarian lingkungan.

Sekarang pikiran itu mungkin sudah berkurang, bahkan hilang. Tidak perlu berpikir untuk menanam pohon pisang agar produksi lontong terus ada. Sebab tanpa pohon pisang pun lontong tetap eksis dengan bungkus yang berbeda.

Kearifan itu perlahan hilang, dan entah kenapa saya merasa sedih.

Bapak penjual tahu telur itu tidak salah. Sebab beliau butuh uang untuk memenuhi beragam kebutuhan, juga barangkali tak akan berpikir sejauh yang saya tulis ini.

Belakangan ada inovasi dari mahasiswa, yang berhasil merubah kulit pisang menjadi wadah pengganti styrofoam.

Pejuang lingkungan pun bahagia. Namun kita masih ragu, adakah yang masih mau menanam pisang dan merawatya? Juga, masihkah tersedia lahannya?

Di era sekarang ini, kebutuhan hidup sangat mendesak, uang lebih cepat habis, tak mungkin untuk menunggu pohon berbuah. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments