By Ahmad Fahrizal Aziz
Rezim Jokowi kerap diisukan suka mengkriminalisasi Ulama, terutama untuk kasus Alfian Tanjung dan Habib Rizieq Shihab. Katakanlah, Ulama puritan.
Juga, diisukan dekat dengan komunis. Dengan Tiongkok, dengan banyaknya pekerja asing asal Tiongkok yang datang ke Indonesia.
Kita semua tahu bahwa dua hal itu adalah "isu sempurna" untuk bahan propaganda. Islam dan komunisme jadi isu sensitif sepanjang sejarah berdirinya Republik ini.
Namanya isu, tentu tidak selalu benar. Tidak baik juga menegasikan kedekatan Jokowi dengan Ulama-ulama Pondok Pesantren, yang sering ia kunjungi. Ulama pondok pesantren biasanya jarang muncul di televisi, sebab sibuk mengurus santri. Sibuk mengurus Masjid dan Lembaganya.
Juga, soal pekerja asal Tiongkok. Sejak zaman Belanda, tidak saja pekerja, bos-bos dagang kebanyakan dari Tiongkok. Kita lihat di kawasan strategis kota-kota, ada daerah pecinan. Ada banyak toko-toko milik orang China.
Bahkan kalau merunut sejarah, bangsa China dan Mongol sudah ada sejak zaman Majapahit. Terlibat perang, salah satunya bangsa Tatar yang berhasil dipukul mundur Adipati Nila Suwarna I, atau Aryo Blitar.
Tetapi apalah gunanya sejarah, jika tak pernah dipelajari. Ketika itu dijadikan isu politik, orang jadi kagetan, marah, dan menuduh macam-macam. Ada suasana batin merasa terdolimi, namun melakukan kedoliman baru.
Bahkan ketika misalkan, menuduh NU sebagai ormas Islam yang "paling kenyang" di era Jokowi-JK. Banyak menteri dari NU, banyak juga Kyai-kyai NU yang berada di sekitar Jokowi, sebagai penasehat/pertimbangan.
Belakangan NU pun diserang habis-habisan ketika KH. Yahya Cholil Staquf datang ke America Jews Conference (AJC), juga ketika menghadiri undangan PM Israel. Berfoto bersama dengan background bendera Israel, dan viral, dan orang berfikiran macam-macam.
Suasana batin warga NU pun terkoyak. Mungkin sama terkoyaknya dengan kelompok Islam yang segaris dengan Habib Rizieq dulu.
Muhammadiyah pun juga begitu, merasa "terbidik" untuk isu terorisme. Sebab ada sebagian teroris yang sekolah di Muhammadiyah, bahkan warga Muhammadiyah.
Kita tahu bahwa tidak semua yang sekolah di Muhammadiyah itu, juga sekaligus kader Muhammadiyah. Seperti pelajar yang sekolah di lembaga katolik, tidak semua beragama Kristen katolik.
Tentu sudah jutaan orang yang bersekolah di lembaga milik Muhammadiyah, dan yang kebetulan terlibat aksi teror hanya segelintir saja.
Namun nyatanya, semua lapisan masyarakat muslim, dari ormas super besar seperti NU dan Muhammadiyah, atau yang pengikutnya terbatas namun sangat vokal di media, pernah atau sedang merasakan suasana batin tertentu : merasa dipojokkan, dan dihabisi.
Mirip dengan suasana batin warga Amerika Serikat, yang merasa terancam oleh minoritas muslim dan imigran, sehingga sosok Donald Trump bisa merebut hati mereka, dengan membawa dua isu tersebut.
Memang sangat aneh, ketika kelompok mayoritas merasa terancam. Padahal di negara yang menganut sistem demokrasi, justru kelompok mayoritas lah yang selalu menang, dan sebagai pengendali kebijakan politik.
Atau memang ini hanya suasana batin semata? Artinya ada serangan psikologis yang dilancarkan. Agar yang mayoritas terkotak-kotak, sehingga tak bisa bersatu, sehingga tidak terjadi dominasi mayoritas.
Lalu siapa yang berkepentingan? Entahlah. Sedangkan sebagian dari kita, harus merasa perlu untuk terlibat dalam sengketa. []
Blitar, 19 Juni 2018
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini