Adzan Isya berkumandang tak lama setelah kami tiba di klenteng Poo An Kiong. Panitia sudah bersiap membuka acara, sementara tiga narasumber sudah duduk di depan. Panitia yang lain menawari kami kopi hitam dan STMJ, seraya mendekatkan nampan berisi gelas-gelas kecil.
Atas undangan Dr. Arif Muzayyin Shofwan, salah satu narasumber acara, kami datang ke book launch dan bedah buku "Ada Aku diantara Tionghoa dan Indonesia". Dr. Arif merupakan salah satu penulis seri bunga rampai tersebut.
Di beberapa kota, buku ini dibedah di berbagai universitas, dan khusus di Blitar, acara digelar di Klenteng, yang bersebelahan dengan pasar legi tersebut.
Beberapa undangan yang hadir, sebagian "berbatik naga", meski tak sedikit juga dari unsur agama, termasuk dari penghayat. Beberapa sesepuh juga hadir, terutama dari tokoh nasionalis. Saya dan Khabib MA mewakili Paguyuban Srengenge.
Secara kultur, China--atau kemudian disebut Tiongkok--memang begitu menyatu dengan masyarakat Indonesia. Beberapa sumber menyebut, salah satu interaksinya melalui perdagangan. Itulah kenapa orang Tiongkok sangat ahli dan konsisten dalam berdagang.
Interaksi tersebut kemudian melahirkan percampuran bahasa, terutama nama-nama makanan, sebutan keseharian, seperti toko, koko, wa (gua), lu (elu), bakpao, bakmie, kemoceng, gopek, dan masih banyak lainnya.
Termasuk percampuran tradisi yang masuk dalam tradisi perayaan agama seperti memberikan angpau. Tradisi memberi angpau, dengan beragam sebutan yang berbeda, juga kadang dilakukan oleh orang Islam ketika lebaran.
Sebab Tionghoa sebagai sebuah etnis, ternyata tidak identik dengan satu agama saja, katakanlah Konghucu. Daniel Lim misalkan, yang malam itu menjadi narasumber, yang juga bos Graha Bangunan, beragama Katolik. Sementara banyak juga orang Tionghoa yang beragama Islam. Walikota Malang saat ini, Abah Anton, adalah Tionghoa yang beragama Islam.
Yang menarik pula, Imlek sebagai hari raya Agama Konghucu, ternyata juga dirayakan Etnis Tionghoa yang non Konghucu, meskipun ada juga yang tidak merayakan, karena alasan identitas agamanya saat ini.
Salah satu narasumber yang dijadwalkan hadir malam itu adalah RD Beny Susetyo, namun berhalangan karena ada rapat dengan Presiden Jokowi. Lalu digantikan oleh Poo Sun Bing atau yang lebih dikenal dengan nama Bingky Irawan.
Sosok sepuh, salah satu yang memperjuangkan Konghucu menjadi agama sah di Indonesia pasca orde baru. Sebab menurut beberapa analis, sejak era Soekarno agama Konghucu sudah ada di Indonesia, bahkan mungkin jauh sebelum itu.
Pak Bingky mengenakan pakaian lurik khas Jawa, ber-blangkon, juga sempat nembang. Penampilannya begitu njawani, apalagi setelah mendapatkan gelar Raden Kanjeng dari Keraton Solo.
Barangkali itulah cara mencairkan suasana, sekalipun malam itu acara diskusi dan bedah buku diadakan di klenteng, yang memiliki pagoda dan backgroundnya "tungku naga", namun begitu kental Jawa-nya.
Lebih kental lagi, ketika perwakilan seniman dari Komunitas Pelestari budaya Jawa, maju dan ikut nembang "dandang gulo", setelah sebelumnya ada satu orang yang ikut memberikan perspektif, namanya Pak Usman Arif, yang juga dari Tionghoa, dan sudah nampak sepuh.
Menariknya, meski dari etnis Tionghoa, namun namanya begitu "arab", dan ternyata beliau juga seorang dosen, yang disiplin ilmunya adalah sastra Jawa. []
Blitar, 22 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini