________________________________________________________
Teh hitam ini enak sekali ya? Pikir saya setelah menyeruputnya. Tehnya pun berbentuk butiran hitam, bukan daun, bukan pula remahan daun seperti teh celup. Saya menikmatinya Sembari membaca "Ojung" karya Edi Mulyono.
Teh hitam ini enak sekali ya? Pikir saya setelah menyeruputnya. Tehnya pun berbentuk butiran hitam, bukan daun, bukan pula remahan daun seperti teh celup. Saya menikmatinya Sembari membaca "Ojung" karya Edi Mulyono.
"Ojung" adalah kumpulan cerpen. Bukunya kecil. Disitu masih ditulis Edi AH. Iyubenu. Setidaknya ada tiga nama yang pernah digunakan penulis ini, satunya adalah Edi Akhiles. Ia adalah CEO Diva Press, salah satu perusahaan penerbitan yang terkenal di Yogyakarta.
Selain juga sebagai sastrawan, dikenal luas sebagai Intelektual NU. Bahkan masuk menjadi salah satu tokoh sastra angkatan 2000 dalam buku Leksikon Susastra Indonesia suntingan Korrie Layun Rampan.
"Ojung" sendiri saya beli ketika ada bazar buku di depan gedung SC UIN Malang. Saya membeli sekitar tahun 2011, buku itu dicetak tahun 2003. Terasa sekali keahlian penulisnya meracik diksi, serta tema yang liar dan diluar kebiasaan.
Salah satu yang membuat saya takjub adalah cerpen berjudul "Izrail pun menangis". Dengan imajinasi dan kemampuan mengolah diksinya, Pak Edi "merubah" sosok Izrail seperti layaknya manusia biasa yang berperasaan. Ada rasa tidak tega ketika melihat tangisan keluarga yang hendak kehilangan tulang punggung keluarganya, dan itu menjadi tugasnya Izrail.
Pedih. Saya membayangkan seolah-olah saya Izrail. Lha? Aneh kan? Itulah kenapa Malaikat tidak dibekali nafsu layaknya kita manusia, sebab betapa pedih dan tersiksanya ketika kita harus mencabut nyawa seseorang.
Sementara judul buku diambil dari salah satu cerpen. Ojung adalah tradisi upacara memanggil hujan di Madura. Tapi setting tempat cerpen itu di Jakarta, yang kian hari kian panas. Sepertinya perlu melakukan Ojung agar Jakarta diguyur hujan.
Membaca "Ojung" membuat selera terhadap karya sastra kian meningkat. Cerpen-cerpen ini seperti mengajak saya menyelami suasana lain yang mungkin tidak pernah terlintas dalam fikiran. Siapa sangka saya diajak untuk "menjadi Izrail" sejenak, Izrail versi manusia yang rapuh.
Sebelum buku kecil itu habis saya baca, teh hitam tinggal tersisa beberapa tetes. Ternyata itu teh produksi lokal, wonosari-Malang. Teh serupa--berbeda merk--juga tersedia di minimarket biru-kuning. Hanya saja dikemas menjadi teh celup.
Rasanya nikmat, senikmat karya sastra yang kita baca. Tapi gulanya sedikit saja, jangan sampai mengalahkan rasa tehnya.[]
Blitar, 17 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini