Saya jadi ingat Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian-pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat. Dari ketiganya, sempat saya bertanya lebih jauh soal Pengabdian Masyarakat. Apakah harus komunitas, dalam konteks desa?
Program KKN, PM, Posdaya, dsj adalah cara kampus untuk menerjunkan Mahasiswanya ke Masyarakat, untuk lebih jauh mengaplikasikan ilmunya.
Tapi dalam konteks yang lebih luas, pengabdian masyarakat tidak selalu dalam komunitas heterogen seperti diatas. Barangkali bisa melalui organisasi dan komunitas, termasuk yang bersifat homogen seperti komunitas kepenulisan.
Saya aktif dalam beberapa organisasi dan komunitas, dengan tujuan mengabdi. Salah satu bidangnya adalah literasi dan kepenulisan. FLP Blitar saya rasa termasuk komunitas yang paling terbuka.
Ada banyak komunitas sejenis, tapi rata-rata bersifat tertutup. Tidak perlu saya sebut namanya secara spesifik, tapi ciri ketertutupannya adalah tidak melakukan open recruitment, alias tidak menerima anggota baru.
FLP Blitar terbuka bagi siapapun, sehingga orang bisa keluar masuk. Tidak juga bersifat mengikat. Bahkan menerima anggota baru yang mulai belajar menulis dari nol.
Karena itu, lewat FLP Blitar, fungsi pembelajaran tersebut bisa berjalan. Tidak kemudian hanya menerima anggota yang sudah jadi, sudah mahir, lalu menjadi bagian dari lingkarannya.
Ada proses dari belum bisa menjadi bisa, ada pendidikan di dalamnya. Sehingga, aktif di FLP Blitar, selain juga terus belajar (karena belajar tidak mengenal kata berhenti), juga sekaligus saling berbagai, saling mengisi.
Lantas dimanakah letak strategis dari gerakan literasi semacam ini? Insyallah bersambung ke tulisan berikutnya. []
~ A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini