Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Perjalanan Menulis (bag. 15)



Menulis Untuk Merayakan Senja

acara di MAN Kota Blitar


Sebelum Isya’ saya sudah berada di stasiun kota baru, menanti kereta terakhir Jurusan Malang-Blitar. Normalnya kereta tiba pukul 19.20, dan berangkat sepuluh menit kemudian. Kepulangan hari ini berbeda sekali, selain karena sebulan lebih tidak pulang, juga karena ada waktu libur 1 minggu untuk idul adha tahun 2010.

Hari ahad saya ke MAN Kota Blitar untuk menengok adik-adik Jurmalintar yang tengah melakukan diklat, sekaligus sedikit berbagi pengalaman.

Setahun pertama menjadi mahasiswa, rindu masa sekolah begitu mengepul. Entah kenapa, sekarang setelah tidak lagi mahasiswa, justru yang dirindukan adalah masa mahasiswa, bukan masa sekolah.

Pulang ke Blitar, bukan berarti menghabiskan banyak waktu di rumah. Kebanyakan justru mengikuti beberapa agenda, termasuk diundang ke acara diklat, kajian KeIslaman, juga kadang kegiatan FLP Blitar.

Dulu, setiap sabtu sore rutin diundang Mas Musafa Ahmad untuk kajian KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Nama kajiannya –disebutnya Liqo’—adalah Solid (School of Ideology). Kajiannya di Sekretariat KAMMI, dekat Pasar Dimoro.

Saya lupa kapan dan dimana awal mulanya bisa sampai diundang acara KAMMI. Padahal saya bukan anggota KAMMI. Namun banyak teman-teman Rohis dulu yang kini aktif di KAMMI. Hubungan saya dengan KAMMI UIN Malang terbilang baik, bahkan pernah saya mendapatkan hadiah dalam diskusi politik.

Yang memberikan tumpangan ketika registrasi ma’had ditutup dulu juga ketua KAMMI, namanya Akhi Wahyudi Syamsi, asal Kalimantan. Ceritanya, dulu ada registrasi masuk Ma’had. Namun sistemnya sempat eror sehingga pelayanannya terlambat. Sementara jam tiga sore layanan sudah harus ditutup. Kami yang belum sempat dipanggil untuk registrasi, akhirnya terlantar.

Persinggungan pertama dengan Organisasi Mahasiswa sebenarnya dengan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Teman Rohis, yaitu Tri Nur Herika, pernah mengajak saya mengikuti kajian di Komsat HMI Blitar, dulu di Jalan Bariton. Kala itu saya juga bersama teman mahasiswa STAIN Tulung Agung, yang aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Dia berbisik, saya pulang saja ya? Sampai akhirnya kami tetap mengikuti kajian tersebut.

Memang ada suasana bathin yang berbeda ketika kader PMII berada ditengah-tengah kader HMI, begitu pun sebaliknya. Atau ketika kader Muhammadiyah berada di lingkungan NU. Saya termasuk yang beruntung karena tidak sekalipun merasa canggung berada di lingkar Organisasi manapun.

Secara administratif saya Muhammadiyah. Ada kesamaan pandangan secara ideologis. Namun saya lahir di lingkungan NU yang kental. Masa TPQ sampai Madrasah Diniyah saya lalui di lembaga Ma’arif NU. Selain juga persinggungan dengan gerakan tarbiyah ketika di Rohis. Beberapa teman, Ustad, atau Murobbi ada yang ke Muhammadiyah, Hidayatullah, Salimah, sampai PKS.

***
Akhir tahun biasanya masuk musim penghujan. Suasana itu terasa melankoli bagi diri saya pribadi. Apalagi, hari ahadnya, saya menemani diklat Jurmalintar sampai sore. Terasa seperti sekolah lagi. Tidak ingin lekas pulang.

Di tahun-tahun berikutnya, saya hampir selalu datang ke agenda penting Jurmalintar. Semisal diklat atau pemilihan ketua. Pernah diminta mengisi diklat pada ahad pagi, padahal sabtunya, saya masih ada kegiatan di kampus sampai jam delapan malam. Selepas acara, langsung naik angkot menuju pertigaan kacuk, menanti Bus tujuan Blitar. Sampai terminal Blitar sekitar jam 11 malam.

Sore menjadi waktu yang nyaman untuk menulis. Sering saya menghabiskan waktu di cafe, sembari menikmati lantunan musik. Kadang mengerjakan tugas kuliah yang dibawa ke rumah, kadang mengerjakan tugas organisasi, kadang pula menulis apa saja yang sedang berkecamuk di otak.

Waktu sekolah, cafe menjadi tempat yang langka. Namun setahun setelah lulus, cafe di Kota Blitar begitu menjamur, seiring dengan pergantian Walikota lama yang nyaris “anti konsumerisme”. Jangankan cafe, mencari minimarket saja susahnya bukan main.

Kini tempat semacam itu sudah menjamur. Minimarket dengan seragam kasirnya biru kuning dan merah kuning juga dengan mudah kita temui. Bahkan tengah dibangun mal di kota Blitar. Lima tahun pertama rezim yang baru, terasa betul perbedaannya. Entah kita harus bahagia atau bersedih. []

Blitar, 21 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

Comments