Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

KHOTBAH DI ATAS BUKIT

KHOTBAH DI ATAS BUKIT



Sebuah Resensi Novel Karya Kutowijowo
(Pemikir dan Budayawan Muhammadiyah)

Khotbah di Atas Bukit bercerita tentang Barman, seorang laki-laki tua (65tahun) pensiunan pegawai negeri. Barman yang ingin menyepi di masa tuanya memutuskan hidup di villa di perbukitan. Apa yang akan kau bayangkan dengan vila di bukit? Tentu saja udara segar, keheningan dan pemandangan hiijau. Suasana sejuk dan damai. Ketenangan dan ketentraman.

Bobi, anaknya menyediakan fasilitas itu. Sebagai anak yang berbakti, ia juga menyertakan ‘perawat’ ayahnya. Popi namanya, perempuan muda, berkulit kuning, tinggi semampai, tak terlampau kurus atau pula gemuk, cukup proporsional, dan tentu saja cantik. Segera Barman dan Popi resmi menjadi suami istri. Popi adalah perempuan mantan tuna susila. Meski demikian ia, seorang yang cerdas: sarjana  filsafat. Popi juga pandai memasak dan paham dengan Barman dengan dalam. Mereka berdua seolah pasangan suami istri yang sudah lama menikah.

Hubungan Barman dan Popi sangat mesra dan intim sekali. Barman bahkan mengerahkan seluruh detik hidupnya buat berdua dengan Popi, buat bermanja dan bercengkerama dengan istri terakhirnya itu.

Suatu hari Barman bertemu dengan Humam di bukit. Humam lelaki yang ‘mirip’ dengannya. Barman menjalin persahabatan dengan Humam. Banyak pelajaran yang didapat Barman dari Humam.
Persahabatan mereka menyebabkan hubungan Barman dengan Popi agak merenggang. Barman juga sempat iri kepada Humam saat ia melihat wajah Humam lebih bercahaya daripada dia. Dia merasa seolah ada yang kurang dari diriinya. Makanya dia terus belajar kepada Humam. “Bung, kesenangan itu tak bertambah atau berkurang. Kebahagaiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.” Itulah salah satu sabda Humam yang diingat Barman. Barman makin intens mendengarkan ceramah-ceramah Humam yang dirasanya menyegarkan.

Tak lama kemudian Humam meninggal. Ia meninggal di atas kursi dalam keadaan tersenyum. Setelah kematian Humam, Barman menjalankan ajaran Humam dan menyebarkan ajarannya kepada penduduk sekitarnya. Penduduk pun banyak yang berdatangan. Tetapi ketika orang-orang sampai di bukit, Barman justru bingung. Akhirnya, ia mampu mengucapkan khotbahnya dengan mengatakan bahwa “Hidup ini tidak berharga untuk dilanjutkan, maka bunuhlah dirimu”. Setelah Barman meninggal, Popi pun meninggalkan rumah itu dan ia menemui seorang laki-laki dengan melepaskan hasratnya yang selama ini ia pendam pada orang yang disayanginya.

 “Hidupilah Hidup, jangan berfikir!” Di akhir novel ini, Popi digambarkan meninggalkan villa dan hidup bersama seseorang yang baru dikenalnya di dalam truk pengangkut sayur-sayuran dari bukit menuju kota.

Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) melukiskan kehidupan manusia modern di tengah hiruk pikuk materialistis hedonis yang segera dipertentangkan dengan ketenangan jiwa dalam sepi pengasingan. Barman tua yang letih dalam kehidupan kota merasa perlu menyepi ke bukit bersama Popi muda cantik agar dapat menikmati sisa hidup. Akan tetapi pertemuannya dengan Humam menyebabkan Popi dan sisa hidupnya tak bermakna sama sekali. Dengan kalimat “Bunuhlah dirimu!” yang diajarkan Humam, Barman masuk pada kehidupan sunyi misterius.

Oleh beberapa kritikus, novel ini dianggap sebagai representasi gagasan filsafat dan tasawuf. Dalam novel ini Kuntowijoyo menghadapkan dua kutub : material dan spiritual, dunia fisik dan batin, kota dan desa, hiruk pikuk dan sepi dalam latar (waktu dan kultur) kehidupan manusia modern.  Budaya Jawa dan Islam menjadi tekstur seluruh jalinan peristiwa dan tokoh-tokoh dalam novel tersebut.

Novel ini sesungguhnya merupakan kritik tajam terhadap kehidupan modern yang sesak dengan sikap pragmatis-materialis dan karena itu di titik inilah gagasan sufistik/profetik lahir. Tokoh Humam dan bukit yang sepi adalah simbol transendensi akhir dari perjalanan manusia dalam menempuh kehidupan. (Maklumat Sastra Profektik : Kaidah Etika dan Struktur Sastra).

Barman yang sudah tua ingin mencari meaning of life-nya. Ia berharap dengan menyepi di perbukitan ia dapat memuaskan will to meaning tersebut. Bayangkan saja seorang pensiunan menghabiskan waktu bersama istri muda nan cantik di bukit. Terus mempertanyakan kebahagiaan yang belum pernah didapatkannya. Sampai-sampai pertanyaan itu menjalar kepada orang-orang lain.  Ujung-ujungnya ia membentuk jamaah dengan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya.

Perjalanan tokoh Popi juga menarik untuk direnungkan. Popi yang dahulunya bekerja sebagai pelacur kini menikah dan bersuami. Sebagai sarjana filsafat ia terus melanjutkan hidupnya, subjektivitasnya dalam menilai manusia beralih menjadi objektivikasi yang lebih intens. Ia mulai merasa spirit dalam dirinya. Popi melupakan masa lalunya dan tidak ingin berlarut-larut di dalamnya. Ia terus melanjutkan hidup. Hidup meski terus meski misterius.

Sedangkan Humam, dia adalah gambaran tokoh yang sudah mencapai tingkat religius. Ia berbuat seolah sudah bertransendensi dengan Yang Transenden. Manunggaling. Sehingga segala tindak-tanduknya tidak butuh pertimbangan good and evil lagi, dia adalah kebaikan. Hanya saja dalam kisah ini Barman baru akan menempuh tahap Humam.

Barangkali memang ada benarnya juga Pak Nietzsche, jika ingin kebenaran maka carilah, jika ingin kebahagiaan, percayalah. Barman sebenarnya cukup dengan percaya saja, maka dia akan merasakan bahagia. Tetapi jika ia terus bertanya, ia tak akan pernah bahagia sebab ia akan terus mencari, kebenaran-lah barangkali nanti yang ia temui. Dan jangan terlalu rakus, kebahagiaan dan kebenaran tidak muat dalam satu dimensi manusia.

Pada cover novel ini dicetak : Masterpiece tentang Perburuan Spiritual. Tidak terlalu mengada-ada menurutku. Memang novel ini menceritakan pegalaman dan perjalanan tokoh-tokohnya. Terutama Barman yang terus mencari, memburu sesuatu makna dan hakikat. Ada pepatah yang bilang bahwa jika kau terus mencari apa itu bahagia kau akan lupa merasakannya. Jalani saja, nikmati.

Bahasa yang digunakan Kuntowijoyo indah sekali. Boleh dikata bahwa banyak kalimat-kalimatnya liris dan puitis. Novel ini menjadi bacaan wajib bagi seseorang yang suka dengan cerita tentang pencarian makna kehidupan. Kuntowijoyo mengolah ide transendensinya dalam bentuk karya sastra yang mudah dilahap. Mirip dengan Kumpulan Puisi beliau Makrifat Daun, Daun Makrifat dan Suluk Awung-awung. Mengangkan semangat yang sama. Sastra profetik begitu ia menamakan. Sastra yang tidak hanya dunia imajiner, tetapi lebiih dari itu : ibadah, tidak hanya memuliakan Tuhan tetapi juga memuliakan manusia.

Kekurangan novel ini adalah bentuk bukunya kurang saya sukai (subjektif sekali). Bentuk memanjang ke bawah dan kepadatan huruf yang terlalu banyak dalam suatu ruang baca(selembar) cukup membuat mata saya lelah. Selain itu pada saat pertama membaca, saya kurang sreg karena agak terkesan datar. Konfliknya tidak jedar-jedor seperti novel pop, tidak teriak-teriak, barangkali memang dibuat demikian. Peribahasa air beriak tanda tak dalam sepertinya cocok dengan novel ini. Air yang tenang menghanyutkan. Ide yang serius dibawakan dengan tempo lambat biar bisa direnungkan dan dinikmati.

Secara umum tidak berlebihan jika menyebut bahwa Khotbah di Atas Bukit adalah novelmasterpiece yang wajib dibaca bagi penyuka novel sastra. Mudah-mudahan menemukan sendiri pesan dan cita makna novel ini.
_________________
diposkan oleh Red.S

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Comments