Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Pada Mulanya adalah Mimpi




Oleh Pradana Boy ZTF*)


(Tulisan reflektif ini disiapkan sebagai bahan pelengkap dalam acara Talk Show Beasiswa Internasional yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Universitas Negeri Malang (UM), 1 Oktober 2016)

ENTAH apa sebabnya, tiba-tiba saja pagi itu fikiran saya melayang ke sebuah kenangan. Kenangan yang ternyata telah terukir sekurang-lebih sebelas tahun silam. Ya, entah lantaran apa, hingga usai subuh itu saya teringat sebuah kota kecil, sepi, dan nyaman yang bernama Canberra, ibukota Australia. Kota ini begitu syahdu. Dengan pepohonan rindang yang menghiasi sebagian besar jalan rayanya, menjadikan mata tak bosan memandanginya. Namun kota mungil ini indah tak hanya oleh pepohonannya, tetapi juga oleh sebuah danau yang melintas di tengahnya. Burley Griffin, nama danau itu. Danau ini membelah Canberra menjadi dua bagian, dipisahkan oleh sebuah jembatan bernama Commonwealth Bridge yang tak kalah indahnya.

Tak jauh dari jembatan itu terdapat air mancur yang jika dilihat dari kejauhan akan semakin menambah keindahan suasana. Tepi kanan dan kiri sepanjang danau Burley Griffin juga dipenuhi dengan pemandangan indah. Pohon-pohon pinus berjajar rapi dengan jarak yang terukur membentuk sebuah taman alami yang selalu mengundang hati untuk menyinggahi. Bangku-bangku kayu terletak di sela-sela pepohonan, dan ketika duduk di atasnya akan segera terlihat puncak dan lereng Black Mountain. Sebelum sampai ke Black Mountain, arah pandang akan singgah dulu di hamparan air danau yang di atasnya berseliweran rombongan burung-burung yang terbang ke berbagai arah. Sesekali burung-burung itu terbang merendah, mengarahkan paruhnya ke permukaan air. Entah ikan atau air yang mereka dapat.

Ke tempat itulah saya sering pergi untuk melepas penat di antara tugas-tugas kuliah yang teramat padat. Apalagi saat itu saya baru saja menikah, maka salah satu cara murah menikmati masa-masa bulan madu adalah di tempat ini. Romantis, bukan? Menikmati kesyahduan taman alami dan danau itu tak lengkap rasanya jika hanya dilakukan dalam diam. Maka, sebelum menyinggahi tempat ini, saya tak pernah lupa melangkahkan kaki ke sebuah warung Turki yang menjual kebab istimewa. Warung yang tak terlalu besar dan sederhana itu terletak di kawasan Yarralumla, sebuah kawasan yang dikenal sebagai zona diplomatik karena sebagian besar kantor kedutaan besar ada di wilayah itu. Dari warung itu, saya memesan sebuah kebab daging sapi yang pada saat itu (2005) seharga AUD$7. Ukurannya cukup besar, hingga terlalu kenyang jika hanya dimakan seorang diri. Daging sapinya lembut dan aroma serta rasanya terlalu lezat untuk hanya diceritakan. Hingga hari ini, saya belum pernah menemukan kebab seenak ini.

Fantasi dan kerinduan pada kebab Turki di Canberra, seringkali muncul tiba-tiba, dan itu menjadikan saya kerap berburu kebab di mana saja berada, terutama ketika sedang berada dalam perjalanan ke luar negeri. Ya, misalnya pada suatu hari di tahun 2007. Tatkala itu saya melakukan perjalanan yang mengharuskan singgah di Bandara Internasional Kingsford, Sydney, Australia. Pendaratan pesawat yang saya tumpangi terlalu pagi, dan karena tak sempat makan, maka saya melangkahkan kaki memutar bandara yang besar itu. Aha... Senang rasanya hati, manakala indra penglihatan saya singgah pada sebuah kedai dengan tulisan donker kebab. Segera saya mendekatinya dan memesan sebuah kebab. Dengan fantasi yang berlebih tentang kebab Turki Canberra, saya menyantap kebab itu. Namun, segera setelahnya saya harus menelan kekecewaan. Kenyataan tak seindah yang saya bayangkan.

Lepas dari Sydney, dalam masa saya tinggal di Singapore untuk studi S-3 antara 2010-2014, saya sering pula menemukan penjual-penjual kebab. Saya tak hendak tergoda dengan kebab-kebab itu, karena merasa pastilah kebab-kebab itu belum mampu mengalahkan kelezatan kebab Turki Canberra favorit saya itu. Namun toh kerinduan pada makanan ini dengan segala kenangan yang ia bawa menjadikan saya tak tahan untuk tak membelinya. Lalu, seperti kasus di Sydney, kekecewaan juga segera menyelimuti batin setelah saya menyantapnya. Terakhir, dalam sebuah perjalanan akademik di Bangkok, Thailand (2016); saya menyempatkan diri mampir ke sebuah mall terbesar di kota itu. Mengelilingi sudut-sudut tempat belanja tersebut, pandangan saya akhirnya tertambat pada sebuah gerai yang menjual kebab Turki. Kebab? Ini makanan yang saya cari, saya berbisik lirih. Lalu saya mendekat, ketika semakin dekat, saya semakin yakin kebab ini lezat karena penjualnya berasal dari Turki. Tak menunggu lama, saya memesan kebab itu dengan masih fantasi kebab Turki Canberra yang mulai membuncah. Namun, sekali lagi saya harus menelan kecewa, kebab Turki Canberra ternyata memang belum ada bandingnya.

Iya, itulah serpih-serpih kerinduan saya pada Canberra, sebuah kota yang namanya berasal dari bahasa Aborigin kamberra yang bermakna “tempat berkumpul.” Masih di Canberra, di lain waktu, saya tak lupa menghabiskan masa di Perpustakaan Nasional Australia, yang ada di kota itu. Perpustakaan ini tak hanya besar, tetapi begitu ngangeni. Terletak persis di tepi Danau Burley Griffin yang damai, National Library of Australia (NLA), begitu nama resminya, menjadikan saya begitu betah berlama-lama di dalamnya atau duduk-duduk termenung di kafe-kafe yang terletak di sisi-sisi luar gedung perpustakaan. Kesyahduan suasana itu menjadikan proses membaca menjadi begitu bermakna dan berbuah. Namun sejatinya, kebab Turki, Danau Burley Griffin dan NLA adalah sedikit dari sekian banyak memori saya di Canberra. Tentu saja, yang paling dominan adalah kenangan tentang kampus bernama Australian National University (ANU).

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini pada tahun 2005, kesan saya adalah: Ini bukan kampus yang di dalamnya ada hutan, melainkan sebaliknya, ini hutan yang di dalamnya ada kampus. Kesan ini memang bisa dianggap sebagai sebuah metafora. Namun boleh juga dianggap sebagai realita. Senyatanya, kampus ANU menempati tempat yang sangat luas, di dalamnya pepohonan, rerumputan bahkan sungai yang mengalir, hidup bersenyawa dalam denyut nafas kampus ini. Di sisi paling utara kompleks kampus ANU, berdiri tegak asrama mahasiswa dengan ratusan kamar. Meskipun bangunan itu tak bisa dibilang kecil, tetapi ia nampak sangat mungil di tengah tanah luas yang terhampar di hadapannya dengan ditumbuhi pohon-pohon yang menjulang tingginya. Persis di belakang asrama itu terdapat sungai kecil yang bernama Sulivan Creek. Suara gemericik air yang mencari jalan di sela-sela bebatuan menghadirkan perasaan damai yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Di sebelah sungai terhampar lapangan sepak bola dengan rumput hijau berseri yang terpotong rapi. Kejembaran lapangan itu seperti hendak mengatakan kepada para mahasiswa untuk memiliki cakrawala wawasan yang luas, agar tak mudah terjebak pada pemikiran-pemikiran yang sempit.

Di ujung paling selatan terdapat sebuah asrama lainnya, yang dikhususkan untuk mahasiswa S-3. Tak jauh dari asrama itu, berdiri sebuah perpustakaan bernama Menzies Library. Perpusatakaan ini besar, sejatinya. Namun, ia bukan perpustakaan terbesar di ANU. Perpustakaan terbesar atau perpustakaan pusat bernama Chiefley Library, terletak di tengah-tengah kampus ANU, sekitar 10-15 menit berjalan kaki dari Menzies Library atau asrama mahasiswa. Letak perpustakaan pusat yang di tengah-tengah itu seolah ingin mengajarkan bahwa perpustakaan adalah jantung bagi sebuah perguruan tinggi, yang tanpanya, tak akan pernah ada kehidupan di dalamnya. Ukuran kedua perpustakaan ini memang berbeda. Namun ada ciri umum yang menyamakan keduanya: sama-sama dikelilingi lapangan yang luas dan pepohonan besar yang rimbun. Aduhai, mengingat suasana indah dan syahdu perpustakaan ini, hampir menjadikan air mata saya menitis. Bukan apa-apa, bukan pula karena saya terlalu terbawa perasaan, namun kesyahduan suasana perpustakaan itu benar-benar terlalu indah untuk dikenang.

Bagi kehidupan pribadi saya, kedua perpustakaan itu juga memiliki makna yang sama. Keduanya sama-sama menjadi saksi bisu perjuangan saya menempuh pendidikan tingkat magister yang tak mudah. Deretan buku yang berjejer di rak-rak kedua perpustakaan itu seperti sabar menyapa dan menemani setiap kali saya bertafakur khusyu’ mengeja kalimat-kalimat bahasa Inggris yang tak begitu saja bisa saya fahami maknanya. Meja-meja perpustakaan, komputer dengan alat cetaknya juga tak pernah lelah menyediakan dirinya setiap kali saya menunduk lesu oleh karena makalah-makalah yang saya tulis atau bab demi bab tesis yang telah saya persiapkan dengan matang, ternyata “berlumur darah” oleh coretan tinta merah sang pembimbing. Ada kesesakan terasa di dada manakala bab-bab tesis yang saya sangka telah baik itu, ternyata seperti tiada makna di hadapan kepakaran sang pembimbing. Lebih sedih lagi tatkala bab-bab “berdarah” yang telah saya bersihkan melalui revisi berminggu-minggu itupun tak kuasa menolak koreksi “berdarah” berikutnya” dari pembimbing. Semua itu tak bermakna apa-apa, selain harus menambah durasi kunjungan ke perpustakaan. Namun ini bisa dimaklumi, karena ANU adalah kampus dengan standar sangat ketat, dan pada mulanya ia adalah sebuah kampus riset.

ANU. Lalu mengapa saya memilih ANU sebagai tempat belajar? Barangkali ada yang bertanya demikian. Perkenalan saya dengan ANU bermula dari bacaan. Saat itu saya adalah mahasiswa semester akhir di Universitas Muhammadiyah Malang. Ketika itu, minat baca saya mulai meningkat. Saya membaca buku apa saja, dan salah satu buku yang saya baca adalah karya Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, terbitan LP3ES. Buku itu adalah versi terjemahan dari disertasi Zamakhsayari di Jurusan Antropologi, Australian National University (ANU). Buku itu detail dan mendalam. Barangkali kedua hal itulah yang lalu membawa saya pada kesimpulan bahwa pastilah karena kualitas kampusnya yang baik dan pembimbingan yang serius yang menjadikan disertasi ini berkualitas tinggi. Dari situlah lalu fantasi tentang studi di ANU menguasai alam fikiran saya. Saya berkhayal: “Bisakah saya menempuh pendidikan di kampus ini?”

Khayalan itu terus menguasai fikiran. Namun saya tak tahu mesti berbuat apa dengan impian itu. Oh ya, sebelum lebih jauh perlu juga saya ceritakan ihwal apa yang menjadikan saya berminat studi ke luar negeri, selain membaca buku di atas. Jika buku di atas mengarahkan saya ke ANU, ada dua bacaan lain yang mengarahkan saya untuk studi ke luar negeri secara umum. Seingat saya, waktu saya duduk di semester lima Jurusan Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Saya mulai belajar membaca teks-teks berbahasa Inggris. Hal itu lalu mengantarkan saya pada perjumpaan dengan disertasi Cak Nur (almarhum Profesor Nurcholish Madjid) tentang filsafat dan kalam dalam pandangan Ibn Taimiyyah. Membaca karya dengan tema serius dalam bahasa Inggris itu hanya menjadikan saya tertegun. Kagum. Takjub.

Belum lagi kekaguman saya pada disertasi Cak Nur hilang, saya kembali bertemu dengan disertasi lainnya. Kali ini adalah karya Profesor Din Syamsuddin tentang politik alokatif di Muhammadiyah. Atas kedua disertasi itu, nalar lugu saya sebagai mahasiswa semester lima hanya bertanya: “Apakah mereka ini manusia?” Barangkali pertanyaan ini terkesan berlebihan. Tetapi itu muncul dalam konteks, ini manusia-manusia seperti apa kok mereka bisa menulis dalam bahasa Inggris setebal ratusan halaman tentang tema-tema yang sangat berat, sementara mereka orang Indonesia. Perenungan atas karya disertasi kedua tokoh intelektual Muslim terkemuka di Indonesia itulah yang melahirkan dorongan spiritual dalam diri saya untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

Dari situlah mimpi untuk belajar ke luar negeri terbangun. Tetapi dari mana mewujudkan mimpi itu? Maka pada suatu hari saya ungkapkan keinginan ini kepada Emak saya di kampung halaman, di Lamongan. “Mak, nanti kalau lulus sarjana, saya ingin kuliah lagi. Kuliah ke luar negeri?” Tak sepatah katapun keluar dari bibir Emak saya sebagai jawab. Saya faham, kebisuan Emak itu adalah pertanda kebingungan. Di satu sisi, nalar sederhana orang desa seperti Emak saya hanya tahu bahwa sekolah paling tinggi adalah sarjana. Itu yang pertama. Alasan kedua, jangankan mau membiayai sekolah lagi untuk S-2 dan ke luar negeri, sementara saya bisa menempuh pendidikan sarjana S-1 saja, itu sudah memeras keringat dan airmata orangtua. Tak ingin menjadikan Emak sedih terlalu lama, maka saya katakan, jika saya ingin kuliah lagi, insya Allah tidak akan meminta uang ke orangtua. Sekali lagi Emak saya terdiam, barangkali dalam fikirannya berkecamuk pertanyaan, lalu siapa yang mau membiayai kuliah saya. “Saya hanya minta doa restu.”

Mimpi terus menjadi mimpi. Lalu saya memulung ragam informasi tentang sekolah ke luar negeri. Dari mana saja. Ya, harus diberikan catatan, bahwa era itu, teknologi informasi belum sepesat dan secanggih sekarang. Sehingga mencari informasi adalah sebuah perjuangan yang tak mudah. Lalu saya mengerti bahwa menempuh pendidikan di luar negeri haruslah dengan modal bahasa Inggris yang baik. Dalam hal ini, saya merasa mampu. Semasa duduk di bangku SMA, nilai bahasa Inggris saya baik. Bahkan saya pernah mengerjakan soal ujian bahasa Inggris dalam sepuluh menit, itupun dengan nilai sangat baik. Namun, keyakinan saya tentang kemampuan bahasa Inggris rupanya belum teruji. Ketika akhirnya saya memberanikan diri mengambil test TOEFL pada tahun 2002, nilai saya hanya 375. Sedih sekali rasanya. Kecewa. Malu. Merasa tidak berguna. Itu maknanya jalan menuju studi luar negeri masih sangat jauh.

Namun, saya tak boleh patah arang. Seperti kata pepatah, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Oleh karena kemauan untuk belajar bahasa Inggris itu begitu kuat, akhirnya saya mendapatkan jalan. Saat telah menjadi dosen tetap di UMM, tahun 2003, saya memeroleh kesempatan kursus bahasa Inggris di IALF Bali dengan biaya dari UMM. Kesempatan ini bermakna dua hal. Pertama, memperdalam bahasa Inggris, dan kedua mengenal kampus-kampus di Australia dengan lebih baik, karena IALF juga menjadi semacam agen atau perwakilan kampus-kampus di Australia. Dari situlah pengetahuan saya tentang ANU semakin bertambah, dan saya tidak pernah punya pilihan lain selain harus belajar di ANU.

Kursus di IALF yang dibiayai oleh UMM menjadikan jalan studi ke luar negeri semakin terang. Pada saat itu, saya termasuk tiga peserta terbaik di kelas, dan kemudian mendapatkan hadiah tes IELTS yang terbilang cukup mahal. Dengan bekal skor IELTS 5.5 saya melamar beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) pada tahun 2003. Singkat kata, usaha ini berhasil. Alhamdulillah. Segala puji hanya untuk Allah. Meskipun memulai perburuan beasiswa ke Australia sejak tahun 2003, saya benar-benar baru bisa berangkat ke Australia pada tahun 2005. Maknanya, perjalanan menuju studi dan beasiswa luar negeri ternyata tak pernah mudah dan singkat. Jika pada akhirnya berhasil memerolehnya, itu karena saya punya mimpi yang kuat. Maka bermimpilah, karena semua hal besar bermula dari mimpi. Namun, mimpi harus pula diikuti dengan usaha, karena mimpi yang hanya dipelihara jadi mimpi, tidak akan berarti apa-apa selain mimpi. Mari bermimpi! Mari pula berusaha menemukan jalan untuk menjadikan mimpi itu sebagai kenyataan. Bismillah...

*) Dosen Fakultas Agama Islam UMM. Meraih gelar M.A. dari Australian National University, Canberra; dan gelar Ph.D dari National University of Singapore. Keduanya dengan beasiswa.

Padepokan Bait al-Hikmah Malang,
30 September 2016
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments