Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Harusnya Islam tidak boleh Liberal



Ini pertanyaan lama, tapi mungkin saja masih relevan untuk dijawab. Terkait Islam dan Liberalisme. Dua hal yang harusnya memang didudukkan secara serius dan berhati-hati dalam menggunakannya.

Islam itu sebuah agama. Sebagaimana sebuah agama, Ia terikat pada doktrin dan ajaran. Doktrin Islam adalah Tauhid. Syarat menjadi Muslim ada lima, yang sering disebut rukun Islam. Artinya, tidak bisa orang mengaku sebagai Muslim, tapi dia tidak bersyahadat, tidak percaya bahwa Tuhan itu satu.

Lebih lanjut, untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang Muslim, dia harus menjalankan rukun Islam yang lain seperti Shalat, zakat, dan puasa. Tidak bisa seorang mengaku Muslim kalau dia enggan menjalankan ajaran-ajaran tersebut. Sebagai agama, Islam memiliki doktrin dan ajaran yang mengikat.

Sementara, Liberalisme itu suatu paham kebebasan, yang menolak adanya pembatasan, khususnya dari Pemerintah dan Agama. Liberalisme juga menolak ajaran dogma, refuse dogmatism. Liberalisme, sebagaimana pandangan filsafat John Locke, melihat Ilmu sebagai sebuah pengalaman. Untuk itu kebenaran bisa berubah. Padahal, dalam dogma agama, kebenaran bersifat tetap.

Tapi setidaknya ada sisi lain dari liberalisme yang mungkin bisa berkelindan dengan agama, yang tidak secara radikal menggempur agama itu sendiri. Misalkan dari sisi Hold the basic equality of All Human being. Bahwa setiap manusia punya kesempatan yang sama. Tidak ada kastanisasi dan pengkultusan dalam berbagai hal, termasuk dalam tafsir. Inilah barangkali yang menjadi titik temu Islam dan Liberalisme yang sekarang secara institusi muncul JIL (Jaringan Islam Liberal).

liberalisme modern memang tidak mengagungkan kebebasan individu. Ada penghargaan terhadap nilai. Jika dilekatkan dengan agama, barangkali meski mengaku liberal, dia masih menghargai doktrin dan ajaran agama itu sendiri. Liberal yang dibidik, adalah Hold the basic equality tadi, bahwa Umat beragama tidak harus terkungkung pada tafsir Ulama terdahulu yang barangkali butuh penyegaran.

Namun harus kita akui, basicnya Agama, apalagi Islam, memang tidak bisa liberal. Karena paham liberal sendiri memang dikonstruksi dalam tradisi politik. liberalisme sendiri bisa hidup ditengah sistem demokrasi. Bisa dikata, liberalisme adalah anak kandung demokrasi. Sementara dalam Islam sendiri, tradisi menafsir sebuah ayat memang sangat ketat, seorang Mufassir berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Sementara, tafsir tersebut tidak terlepas dari konteks zaman. Kritik terhadap “taqliq tafsir” yang tidak sesuai konteks zaman itu pun pernah dikritik Soekarno dalam buku berjudul “Islam Sontoloyo”, termasuk kritik terhadap hadits-hadits yang tidak sejalan dengan semangat pembaharuan.

Artinya, semangat pembaharuan, yang di era 2000-an di kompilasi dengan istilah baru “Islam Liberal”, sebenarnya sudah sejak lama dilakukan Soekarno. Sebelum itu, sudah muncul para Mujadid lain seperti KH. Ahmad Dahlan di Jogja atau Hadji Rasul di Minangkabau.

Hanya saja, istilah “Liberal” itu sendiri memang menjadi sangat riskan sekali, mengingat liberalisme sendiri akarnya memang bukan dari pergolakan agama, melainkan politik. Padahal, agama selalu dilekatkan pada hal-hal suci, sementara politik kebalikannya.

Meski kekhawatiran terhadap “Islam Liberal” itu kadang lebih besar ketimbang faktanya dilapangan, tapi Islam seharusnya memang tidak boleh liberal. Tapi Islam harus selalu menjadi agama yang memberikan solusi atas permasalahan kehidupan. Dan permasalahan Umat bersifat dinamis sebagaimana kehidupan yang terus berkembang.

Pembaharuan, atau istilah lain, penyegaran. Tetap perlu dan dibutuhkan. Agar, kata Soekarno, Islam tidak jumud dan tidak sontoloyo. (*)

12 Desember 2015
A Fahrizal Aziz

Comments