“Saya tidak ingin anak saya jadi petani,” ungkap salah seorang kakek berusia 60-an di sebuah kedai kopi. Pernyataan kakek ini memang bukan sesuatu yang mengejutkan. Sudah banyak buktinya. Contohnya keluarga saya sendiri. Kakek dan Nenek saya, baik dari Bapak ataupun Ibu, dulunya adalah petani. Punya lahan yang cukup luas. Bahkan, Nenek saya yang tinggal di daerah Blitar selatan, di desa Serang kec. Panggungrejo punya tanah yang sangat luas untuk ukuran kepemilikan individu. Setelah Nenek meninggal, tanah itu kemudian diwariskan kepada tujuh anaknya dan tidak ada satu pun yang sekarang menjadi petani.
Begitu pun dengan keluarga bapak saya. Dahulu, Nenek saya terkenal rajin bertani. Bahkan hampir tak pernah membeli sayuran di pasar. Semuanya bisa di dapatkan di kebunnya sendiri. Tapi lambat laun, tanahnya itu diwariskan kepada anak-anaknya dan kini dialih fungsikan menjadi rumah.
Hal yang sama juga banyak terjadi di kampung halaman saya, dusun klece kec. Kademangan Kab. Blitar. Daerah yang dulunya dikenal dengan sebutan “tengah sawah” karena memang ada jalan panjang yang diapit persawahan. Kini sudah tidak lagi. Sudah ditimbun rumah-rumah mewah. Rumah yang berdiri diatas sawah yang sebenarnya masih produktif untuk ditanami padi.
Sawah-sawah itu adalah milik orang-orang yang kini sudah lanjut usia dan tidak sanggup lagi menggarap sawahnya. Sementara anak-anaknya, tidak ada satu pun yang mau meneruskan, tepatnya memang tidak boleh meneruskan. Kalau bisa kerja kantoran, tidak perlu kepanasan dan kerja berat. Apalagi, ketika Pemerintah menerapkan adanya sertifikasi guru itu, banyak yang kemudian berbondong-bondong kuliah keguruan.
Menurut kakek sepuh itu, menjadi petani memang sengsara. Selain harus berlelah-lelah menggarap sawah : membajak dan bercocok tanam. Petani juga harus menghadapi gejala –gejala yang tidak menentu seperti naiknya harga pupuk, rendahnya harga beli beras, kurangnya pasokan air, hingga ancaman gagal panen baik dari tikus, hama, burung, ataupun bencana alam semisal banjir.
Menurutnya, menjadi petani sama saja hidup dalam ketidakpastian. Berbeda jika menjadi guru atau pegawai kantoran. Gaji perbulannya jelas, tunjangan jelas, dan kerjanya tidak perlu berat seperti layaknya petani.
Selain itu, menjadi petani hidupnya juga tidak tenang. Kalau siang khawatir ada burung yang ‘menghabisi’ padi, kalau malam takut ada tikus yang memberangus padi. Akhirnya, siang-malam terus diliputi kekhawatiran. Mau tidur juga tidak nyenyak. Mau nyewa mandor juga harus mengeluarkan uang tambahan. Sementara, belum tentu juga harga beras nanti sesuai dengan ekspektasi mereka.
Saya yang kurang paham detail pertanian semacam itu, juga tak bisa terlalu banyak berkomentar. Tapi menurut saya, memang kendala utamanya di pendidikan. Terutama, pemahaman terhadap teknologi mutakhir. Sekarang membajak tidak perlu lagi menggunakan sapi atau kerbau. Sudah ada mesin diesel. Menumbuk pun juga tidak repot-repot lagi menggunakan kayu, sudah ada mesin selip. Untuk hal ini, masyarakat awam pun sudah melakukan.
Tapi mungkin juga ada teknologi lain yang mempermudah bertani, termasuk cara-cara untuk mengatasi hama dan ancaman gagal panen. Maka, selain harga pupuk dan pasokan air, “ongkos” lain yang lebih mahal sebenarnya adalah kerja keras (berat) para petani itu. Di negara-negara mutakhir seperti Jepang dan Taiwan, bertani sudah lebih canggih. Bahkan, banyak mahasiswa pertanian di Indonesia yang melanjutkan studi pertanian disana.
Karena hasil pertanian bagus, maka pasarnya pun juga terbuka. Termasuk pasar eksport. Tak salah jika harga beras import lebih murah dibandingkan harga beras dalam negeri, itu tak lain karena petani di negara-negara eksportir tersebut tidak harus membayar ongkos lelahnya. Belum lagi keberpihakan Pemerintah.
Masalah utamanya mungkin bukan terlalu banyaknya tingkat konsumsi dan rendahnya produksi dalam negeri, tapi lebih elementer, masalah utamanya adalah semakin sedikitnya orang yang mau bertani. Dan orang-orang yang memiliki sawah, karena keterbatasan tenaga disebabkan faktor usia, lebih memilih menjual sawahnya. Sawah yang dijual itu mungkin akan diteruskan sebagai lahan pertanian, mungkin juga untuk mendirikan bangunan. Apalagi kalau sawahnya dekat jalan raya. Meskipun ada aturan bahwa lahan produktif dilarang untuk mendirikan bangunan.
Kita bisa membayangkan jika fenomena semacam ini menjalar ke banyak petani di Indonesia. Semakin sedikit orang yang bertani, semakin banyak lahan tak tergarap, dan semakin sedikit pula produksi dalam negeri, imbasnya semakin besar import kita, dan semakin bergantunglah kita pada pasar internasional. Semakin bergantung pula hidup kita pada fluktuasi dollar.
Belum lagi, anggapan sebagian kita bahwa profesi petani itu kurang bergengsi. Padahal, hidup kita, terutama konsumsi harian kita, benar-benar bergantung pada pertanian. (*)
6 September 2015
A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini