ilustrasi |
Duduk di sudut ruangan sambil memegang sebuah buku atau memelototi layar monitor, kadang adalah aktivitas yang sangat membosankan. Bagi mahasiswa, kebiasaan itu akan dimaknai satu hal ; lembur tugas. Meskipun tak selalu benar. Membaca dan memainkan jari di keybord selalu dimaknai inferiority, menjenuhkan, memaksa, dan lain sebagainya.
Padahal, tak sedikit yang melakukan itu untuk sebuah misi dua siklus ; mengisi dan memuntahkan. Ya, membaca sama halnya dengan mengisi. Dan menulis sama dengan memuntahkan. Otak butuh preferensi agar tetap stabil. Tetapi otak juga butuh saluran pembuangan. Sama halnya dengan proses kimiawi dalam lambung dan usus.
Bedanya, jika yang terisi dalam usus tak segera dikeluarkan, ia akan menyebabkan gejala medis yang berbahaya. Tetapi, jika yang ada dalam otak tak segera dimuntahkan, ia akan segera menguap bersama satu gejala bernama lupa. Memang tidak semua, ada yang masih melekat. Tersisa dalam ingatan, yang kemudian kita sebut sebagai kenangan.
Menulis, adalah salah satu proses ilmiah dan alamiah. Bagi saya, menulis adalah salah satu cara untuk menciptakan saluran pembuangan. Otak yang sudah terisi banyak hal : teori-teori, pengalaman, pemikiran, hingga imajinasi. Semua itu bisa bersemayam dalam dua ruang dalam otak yang disebut Long dan Short term memori. Tapi sayangnya, kita tak bisa membuat katalog sendiri. Mana yang harus masuk Long dan mana yang harus masuk Short.
Kadang kita bisa ingat banyak hal yang sangat tak penting. Seperti ketemu kecoak di kamar mandi, atau memasak telur kegosongan. Kadang pula kita melupakan banyak hal yang berharga. Misalkan kejadian-kejadian penting di hari itu.
Setiap detik, otak kita diisi oleh banyak hal melalui indra yang kita miliki. Kita melihat, mendengar, membaca, mengalami, mengilhami, dan bermimpi. Bayangkan, butuh berapa juta Giga byte untuk menyimpan itu semua. Untungnya, Otak kita tak punya kuota. Jadi segalanya bisa terserap. Tapi tak semuanya bisa bertahan lama. Ada yang kemudian menguap dan hilang, yang sering kita sebut : Lupa.
Untung saja, saya pernah menjadi wartawan. Dan prinsip utama setelah wawancara adalah, segera ditulis. Titik. Karena kalau ditunda barang sehari saja, akan banyak hal yang terlewatkan. Misalkan mengomentari ekspresi narasumber. Ya. Meskipun kita punya catatan dan audio wawancara. Akan tetapi, ekspresi wajah dan mimiknya perlu juga dicantumkan, dan itu tersimpan di otak. Kalau tak segera dituliskan, keburu menguap.
Belum lagi gagasan-gagasan yang orisinil kita telurkan. Jika tak segera dimuntahkan, bisa menumpuk dalam otak dan bisa menguap. Eman-eman kan? kita sudah mikir keras, bikin gagasan, sampai terdera gejala kebotakan, eh malah hilang begitu saja. Karena kita lupa memuntahkannya. Memuntahkan dalam bentuk tulisan. Atau kalau tak punya waktu untuk menulis, rekam saja melalu recorder sambil seolah-olah tengah berbicara dengan wartawan yang meminta pendapat anda soal gagasan itu.
Tapi saya harus menjelaskan lagi soal gejala kebotakan. Menurut saya, gejala kebotakan muncul karena terlalu banyak mikir. Tetapi begini kasusnya :
Misalkan, kita punya beberapa gagasan. Karena belum pernah kita muntahkan. Kita memikirkan ulang kira-kira gagasan kita dulu seperti apa ya? Kalau sudah pernah memuntahkan melalui tulisan, bisa langsung croscheck. Nggak perlu mikir ulang. Tapi kalau belum pernah dimuntahkan, akhirnya mengingat-ngingat, menelisik ke ruang bernama short atau long term memori. Itulah yang bikin mikir.
Saya perah berdiskusi dengan salah seorang profesor yang setiap hari menulis. Tetapi (maaf) ia masih bisa memfungsikan sisir dengan sangat baik. Padahal, teman-teman seusianya, sudah mengalami gejala tersebut. Maaf. Sekali maaf. Bukannya tidak sopan, tapi ini analisis. Dan anda bisa membantahnya kalau tidak sependapat. :D
Jadi saya menikmati menulis, karena menulis itu sama saja memuntahkan sesuatu yang bertumpuk dalam otak kita. Kalau sudah dimuntahkan, sudah dikeluarkan. Jadinya plong! Plong deh.
Itu pendapat saya. Ditulis dengan referensi seadanya. Karena sambil nunggu download sesuatu, dan entah kenapa jaringan wifi di cafe ini jadi lemot seperti ini. Karena bosan nunggu download selesai, saya menuliskan ini. terima kasih ^_^
Cafe House Blitar, 27 Oktober 2014
@Fahrizalaziz22
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini