Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

HTI Ada Karena Demokrasi, Tapi Anti Demokrasi



“Itu begini, maukah bila suatu saat kita dipimpin oleh orang Arab? Atau sebaliknya, maukah orang Arab dipimpin oleh kita?” tutur Dr. Saad Ibrahim, MA ketika memberikan stadium general bertema “Aktualisasi Ideologi Muhammadiyah” dalam acara Latihan Instruktur Baitul Arqam yang digelar di Rusunawa akhir Maret silam.

Kala itu Ketua PWM Jatim tersebut tengah membahas pandangan Muhammadiyah terhadap negara, dan sedikit mengulas tentang Khilafah. Menurut beliau, sangat susah menerapkan Khilafah Islamiyah ditengah nation state yang telah mengakar kuat. Apalagi kini tidak ada lagi Khalifah sekaliber Khulafaurrasyidin yang ketokohannya bisa diterima Umat Islam hampir di seluruh dunia.

Setelah negara kemudian memproklamirkan pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), sesungguhnya bukan suatu yang bombastis. Hanya momentnya saja yang menjadi perbincangan ramai. Pembubaran HTI terjadi ditengah menguatnya tensi keagamaan “bela Islam” di tanah air.

Sejak kemunculannya, sampai kemudian aktif menebarkan gagasan-gagasan, terutama melalui buletin Al Islam setiap hari Jum’at, kehadiran HTI sendiri memang membingungkan. Ia menolak Demokrasi, tapi memanfaatkan demokrasi untuk mengkampanyekan gagasannya.

Ini ibarat tamu yang dipersilahkan masuk, menginap, namun lantas mengolok-ngolok konsep dan tatanan pemilik rumah. Hanya karena pemilik rumah adalah orang yang terbuka dan demokratis, maka dibiarkan saja. Artinya, HT bisa berkembang di negara demokrasi seperti Indonesia, tapi tak henti-hentinya menolak demokrasi.

Tak ayal jika HT Langsung dilarang, atau diberangus di negara-negara non demokrasi. Indonesia memang menggunakan konsep demokrasi, namun bukan liberal state seperti Amerika Serikat. Indonesia berideologi Pancasila, dimana aspek KeTuhanan masih di junjung. Tata nilai, etika, dan agama masih diagungkan.

Jauh sebelum HT didirikan, Indonesia sudah memiliki dua Ormas besar dengan jumlah pengikut signifikan. Secara umum kehadiran Ormas tersebut juga dalam rangka membesarkan Islam, sebelum HT mengklaim bahwa dengan Khilafah lah peradaban Islam kembali gemilang.

Status HT di Indonesia pun juga tidak jelas. Di dunia, HT adalah partai. Namanya saja Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan). Di Indonesia, statusnya entah Ormas, entah apa.  Yang jelas bukan Partai politik yang bisa berkompetisi dalam politik elektoral.

Kampanye anti demokrasi, anti pancasila di sebuah negara yang telah memberikannya kebebasan berpendapat adalah tidak etik. Apalagi menafikan sejarah perjuangan Umat Islam sampai melahirkan sebuah negara bernama Indonesia?

Itu tak ubahnya mengoreksi sejarah berdirinya bangsa Indonesia, yang konstruksi ideologinya juga dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam. Ini sangat ahistoris, dan tak menghargai jasa pahlawan, yang sekaligus pendiri bangsa tersebut.

Meskipun menurut saya, pembubaran HTI yang diumumkan langsung oleh Menkopolhukam hanyalah basa-basi. Bagaimana sebuah ideologi dibubarkan? Diksi “pembubaran” itu tentu tidak tepat. Karena ini bukan acara orkesan yang kemudian di grebek dan dibubarkan. Atau sekumpulan PKL yang dirazia satpol PP.

Meski dibubarkan, ideologi HT tidak serta merta bubar. Mungkin pemerintah bisa mencabut legalitas hukumnya secara sepihak, atau melarang setiap perijinan yang mengatasnamakan HT. Namun susah dipastikan jika ideologi benar-benar bisa dihapus.

Lagipula, banyak juga organisasi atau LSM yang bergerak (kadang musiman) yang sebenarnya tidak memiliki dokumen legal. Termasuk komunitas-komunitas. Apalagi, sebagai sebuah kajian ilmiah, ideologi HT tidak mungkin dibatasi. Sama dengan Komunisme atau sosialisme, toh kita bisa dengan mudah mendapatkan buku-buku Karl Marx.

Adapun gerakan HT yang barangkali patut diwaspadai oleh Pemerintah, adalah soal rekruitment anggota. Semakin banyak yang percaya pada Khilafah, semakin banyak pula yang tidak respect atau bahkan anti terhadap demokrasi dan pancasila.

Semestinya, tanpa perlu diproklamirkan pembubarannya, gerakan seperti ini tidak seharusnya mendapatkan legalitas hukum. Apalagi bisa mengakses fasilitas publik selevel stadion untuk kampanye Khilafah besar-besaran. Sekarang kita semua bingung, apa yang sebenarnya tengah terjadi? Bertambah bingung karena ternyata HT sempat dilegalkan oleh Pemerintah, dan kini dibubarkan. []

Wallohua’lam
A Fahrizal Aziz
Redaktur srengenge.id
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments