Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Rumah Bagi Para Penikmat Buku (9)





Saya tidak ingat pasti kapan mulai terpikat dengan tulisan-tulisan Dahlan Iskan. Meski sejak kecil sudah familiar dengan nama Jawa Pos. Bahkan orang di daerah saya, sampai menamai semua koran dengan sebutan Jawa Pos. Padahal koran tidak hanya Jawa Pos. Itu menunjukkan betapa kuatnya ingatan orang tentang Jawa Pos.

Bahkan ketika Dahlan Iskan diundang di acara Kick Andy, sekembalinya dari Tiongkok untuk ganti hati, saya melewatkannya begitu saja. Baru kemudian saya menonton lagi ketika Dahlan Iskan sudah menjadi Menteri. Yang jelas, tulisan-tulisan Dahlan Iskan mulai saya baca ketika Kuliah.

Tulisan Dahlan Iskan memang secara rutin muncul di halaman paling depan Koran Jawa Pos setiap hari senin, terutama yang bertajuk Manufactouring Hope (MH). Tentu saya tidak selalu tertarik dengan isinya, karena kadang terlampau teknis berkaitan dengan dunia industri, migas, bahan mentah, dll. Namun Dahlan Iskan selalu menyelipkan sesuatu dalam tulisan tersebut, yang kadang menggelitik.

Lalu saya mencari tulisan-tulisan Dahlan Iskan yang lain. Sebelum menjadi Menteri BUMN, ternyata Dahlan Iskan banyak menulis esai dengan tema yang beragam, yang jauh dari dunia manufaktur. Semisal, menulis pengalamannya berlebaran di Tiongkok dan Arab Saudi, menulis pengalamannya ganti hati, Menulis tentang situasi politik yang tengah terjadi, dan beragam tema yang menarik untuk dibaca.

Ada banyak blog yang memposting ulang tulisan-tulisannya, terutama blog wordpress berjudul Catatan Dahlan Iskan. Mungkin blog itu paling lengkap memuat tulisan Dahlan Iskan, bahkan sejak ia masih menjadi CEO Jawa Pos.

Beberapa buku kemudian saya temui, meski rata-rata buku Dahlan Iskan merupakan kompilasi dari catatan-catatan yang ia buat. Gaya menulis Dahlan Iskan begitu mengalir, bahasanya lugas dan sederhana, tidak membuat kening berkerut. Ibarat kerupuk, renyah dan enak.

Untuk itulah saya mengira, tidak ada orang lain yang bisa menulis seperti Dahlan Iskan. Memang beliau punya ciri khas tersendiri, yang biasa dikenal “Jurnalisme bertutur”. Meskipun Dahlan Iskan pernah berkata, bahwa “Guru menulisnya” adalah Goenawan Mohamad, terutama ketika masih bekerja di Tempo. Tulisan Goenawan Mohamad memang tak kalah renyah, namun lebih sering menggunakan bahasa sastrawi.

Tapi Dahlan Iskan juga banyak memuji Jurnalis lain yang lebih senior darinya, seperti Alm. Rosihan Anwar. Dalam satu tulisan, Dahlan sering mengetahui Rosihan Anwar memarahi wartawan yang gaya kepenulisannya masih amburadul, bahkan Rosihan menyebut tulisan amburadul tersebut seperti “ketiak ular”. Mungkin karena sangking amburadulnya. Padahal ular tidak punya tangan, apalagi ketiak.

Dari situ saya mulai penasaran, seperti apa tulisan-tulisan Rosihan Anwar. Saya mencoba mencari di internet, pernah juga menemui buku yang ditulis beliau, namun belum bisa saya beli karena keterbatasan dana kala itu, sebagai Mahasiswa Indekos dan harus membiayai banyak hal.

Sampai kemudian saya kembali bertemu dengan buku yang ditulis Rosihan Anwar, yang isinya sama, namun judulnya sudah berubah. Diterbitkan oleh Penerbit Kompas. Judulnya Sejarah Kecil (petitie histoire) Indonesia, Sang Pelopor. Sebelumnya, buku itu berjudul In memoriam : Mengenang Yang Wafat. Buku tersebut ada 6 jilid. Saya baru memiliki jilid 5 dan 6.

Memang benar, Rosihan Anwar, sebagaimana yang dituturkan Dahlan Iskan, memiliki gaya menulis yang khas. Buku tersebut secara khusus memuat kesan Rosihan Anwar terhadap beberapa tokoh nasional yang ia kenal dan telah meninggal. Ada banyak sekali tokoh yang ditulis. Hal itu wajar karena Rosihan Anwar termasuk tokoh senior kelahiran 10 Mei 1922. Tanggal lahirnya sama dengan saya.

Tulisan obituari sebelumnya pernah juga saya baca, penulisnya Ajip Rosidi, bukunya berjudul Mengenang Hidup Orang Lain, Sejumlah Obituari oleh Ajip Rosidiyang diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010.

Nama Ajip Rosidi sendiri memang sering saya dengar, termasuk pernah terlintas bukunya yang berjudul Hidup Tanpa Ijasah. Namun baru belakangan saya membaca tulisan-tulisannya.

Baik Ajip Rosidi maupun Rosihan Anwar, keduanya memang penulis yang benar-benar terlatih. Sama-sama lama hidup sebagai wartawan, kemudian menjadi pengajar dan aktif dalam panggung kebudayaan. Ajip Rosidi sendiri pernah menjadi ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).

Sebagai generasi yang hidup di era milenia, saya merasa bersyukur bisa membaca karya mereka. Derasnya informasi yang ada belum tentu bisa menyaingi kecanggihan mereka dalam menulis. Dahlan Iskan, Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, sampai Alm. Rosihan Anwar adalah nama-nama besar dalam sejarah Jurnalistik Indonesia.

Tentu selain mereka masih banyak lagi. Seperti Alm. Mochtar Lubis, yang masih saya “kenal” sekedar dari wikipedia. Atau Alm. PK. Ojong pendiri beberapa Koran dan Majalah di tanah air. Tokoh lain semisal Jakop Oetama, Pimpinan Kompas tersebut, sudah saya miliki buku Biografinya, hanya belum sampai membacanya habis.

Saya merasa bahagia bisa membaca karya-karya mereka, mengikuti jejak hidupnya yang banyak tertulis di media. Dahaga Ilmu memang tiada pernah terpuaskan. Satu hal yang harus disadari generasi saya, bahwa kita mendapatkan warisan ilmu yang luar biasa dari tokoh terdahulu. Tugas kita untuk menikmatinya, sekaligus menciptakan hal yang sejalur dengan eranya. []

Blitar, 24 Februari 2017
A Fahrizal Aziz

Comments