Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

IMMAWAN BUNG KARNO, (bagian kedua)

IMMAWAN BUNG KARNO

Sepenggal kisah kedekatan IMM dengan Soekarno
(bagian kedua)

oleh : Rusdianto
Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
Pada 18 Agustus 1954, melalui suratnya, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi tersebut, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia “Para perdana menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili Negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin“. Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma, U Nu, pada 28 September 1954.
Pada 28 – 29 Desember 1954, atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para perdana menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor, untuk membicarakan persiapan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan tentang  agenda, tujuan, dan negara-negara yang diundang pada Konferensi Asia  Afrika. Kelima negara peserta Konferensi Bogor menjadi sponsor Konferensi Asia Afrika dan Indonesia dipilih menjadi tuan rumah pada konferensi tersebut, yang ditetapkan akan berlangsung pada akhir minggu April tahun 1955. Presiden Indonesia, Soekarno, menunjuk Kota Bandung sebagai tempat berlangsungnya konferensi.
Dalam persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, dibentuk Sekretariat Bersama yang diwakili oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, Roeslan Abdulgani, yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 negara lainnya diwakili oleh kepala-kepala perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu Kuasa Usaha U Mya Sein (Birma), Duta Besar M. Saravanamuttu (Ceylon), Duta Besar B.F.H.B. Tyabji (India), dan Duta Besar Choudhri Khaliquzzaman (Pakistan). Pemerintah Indonesia sendiri membentuk Panitia Interdepartemental pada 11 Januari 1955 yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi tersebut.
Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuklah Panitia Setempat pada 3 Januari 1955, dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat.
Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani hal-hal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain. Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 hotel lainnya serta 31 bungalow di sepanjang Jalan Cipaganti, Lembang, dan Ciumbuleuit dipersiapkan sebagai tempat menginap para peserta yang berjumlah lebih kurang 1.500 orang. Selain itu, disediakan juga fasilitas akomodasi untuk lebih kurang 500 wartawan dalam dan luar negeri.
Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada kepala pemerintah dari 25 Negara Asia dan Afrika.
Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah, karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya, sedangkan 24 negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu.
Bahkan, Bung Karno perlihatkan sepenggal pidato bagian akhirnya pada waktu pelaksanaan KAA di bandung, beliau mengatakan: “waktu itu, Saya berharap konferensi itu akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin.
Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”.
Kutipan penggalan pidato tersebut berhasil menarik perhatian dan mempengaruhi pola piker para pimpinan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan hasil sidang konferensi itu terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan.
Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah Ketua Konferensi Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia, Ketua Komite Politik Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia, Ketua Komite Ekonomi Roosseno, Menteri Perekonomian  Indonesia, Ketua Komite Kebudayaan Muhammad Yamin, Menteri  Pendidikan,  Pengajaran,  dan Kebudayaan Indonesia, Sekretaris Jenderal Konferensi Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara Negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang relatif panas.
Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut-larut dapat diakhiri.
Konsensus KAA yang dituangkan dalam komunike akhir, isinya adalah mengenai kerja sama ekonomi; kerja sama kebudayaan; hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri; masalah rakyat jajahan; masalah-masalah lain; deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.
Deklarasi yang tercantum pada komunike tersebut, selanjutnya dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerjasama dunia.
Isi dari Dasasila Bandung adalah menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB. (a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun. (b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama. Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.


Sungguh beruntung pimpinan IMM yang bertemu Bung Karno, mereka mendapat salinan copy pidato Bung Karno saat Konferensi Asia Africa di Bandung, Berikut pidatonya:
“This twentieth century has been a period of terrific dynamism. Perhaps the last fifty years have seen more developments and more material progress than the previous five hundred years. Man has learned to control many of the scourges which once threatened him.
He has learned to consume distance. He has learned to project his voice and his picture across oceans and continents. lie has probed deep into the secrets of nature and learned how to make the desert bloom and the plants of the earth increase their bounty. He has learned how to release the immense forces locked in the smallest particles of matter.
But has man's political skill marched hand-in-hand with his technical and scientific skill? Man can chain lightning to his command-can be control the society in which be lives? The answer is No! The political skill of man has been far outstripped by technical skill, and what lie has made he cannot be sure of controlling.
The result of this is fear. And man gasps for safety and morality.
Perhaps now more than at any other moment in the history of the world, society, government and statesmanship need to be based upon the highest code of morality and ethics. And in political terms, what is the highest code of morality? It is the subordination of everything to the well-being of mankind. But today we are faced with a situation where the well-being of mankind is not always the primary consideration. Many who are in places of high power think, rather, of controlling the world.
Yes, we are living in a world of fear. The life of man today is corroded and made bitter by fear.
Fear of the future, fear of the hydrogen bomb, fear of ideologies. Perhaps this fear is a greater danger than the danger itself, because it is fear which drives men to act foolishly, to act thoughtlessly, to act dangerously.
All of us, I am certain, are united by more important things than those which superficially divide us. We are united, for instance, by a common detestation of colonialism in whatever form it appears.
We are united by a common detestation of racialism. And we are united by a common determination to preserve and stabilise peace in the world. We are often told "Colonialism is dead." Let us not be deceived or even soothed by that. 1 say to you, colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are unfree.
And, I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa, knew.
Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation. It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises. It does not give up its loot easily. Wherever, whenever and however it appears, colonialism is an evil thing, and one which must be eradicated from the earth.
Not so very long ago we argued that peace was necessary for us because an outbreak of fighting in our part of the world would imperil our precious independence, so recently won at such great cost. Today, the picture is more black. War would riot only mean a threat to our independence, it may mean the end of civilisation and even of human life. There is a force loose in the world whose potentiality for evil no man truly knows. Even in practice and rehearsal for war the effects may well be building up into something of unknown horror.
Not so long ago it was possible to take some little comfort from the idea that the clash, if it came, could perhaps be settled by what were called "conventional weapons "-bombs, tanks, cannon and men.
Today that little grain of comfort is denied us for it has been made clear that the weapons of ultimate horror will certainly be used, and the military planning of nations is on that basis. The unconventional has become the conventional, and who knows what other examples of misguided and diabolical scientific skill have been discovered as a plague on humanity.
And do not think that the oceans and the seas will protect us. The food that we cat, the water that we drink, yes, even the very air that we breathe can be contaminated by poisons originating from thousands of miles away. And it could be that, even if we ourselves escaped lightly, the unborn generations of our children would bear on their distorted bodies the marks of our failure to control the forces which have been released on the world.
No task is more urgent than that of preserving peace. Without peace our independence means little. The rehabilitation and upbuilding of our countries will have little meaning.
Our revolutions will not be allowed to run their course. What can we do? We can do much! We can inject the voice of reason into world affairs. We can mobilise all the spiritual, all the moral, all the political strength of Asia and Africa on the side of peace. Yes, we! We, the peoples of Asia and Africa, 1,400,000,000 strong, far more than half the human population of the world, we can mobilise what I have called the Moral Violence of Nations in favour of peace. We can demonstrate to the minority of the world which lives on the other continents that we, the majority are for peace, not for war, and that whatever strength we have will always be thrown on to the side of peace.
In this struggle, some success has already been scored. I think it is generally recognised that the activity of the Prime Ministers of the Sponsoring Countries which invited you here had a not unimportant role to play in ending the fighting in Indo-China. Look, the peoples of Asia raised their voices, and the world listened. It was no small victory and no negligible precedent! The five Prime Ministers did not make threats.
They issued no ultimatum, they mobilised no troops. Instead they consulted together, discussed the issues, pooled their ideas, added together their individual political skills and came forward with sound and reasoned suggestions which formed the basis for a settlement of the long struggle in Indo-China.
I have often since then asked myself why these five were successful when others, with long records of diplomacy, were unsuccessful, and, in fact, had allowed a bad situation to get worse, so that there was a danger of the conflict spreading. . . . I think that the answer really lies in the fact that those five Prime Ministers brought a fresh approach to bear on the problem. They were not seeking advantage for their own countries. They had no axe of power-politics to grind. They had but one interest-how to end the fighting in such a way that the chances of continuing peace and stability were enhanced.
So, let this Asian-African Conference be a great success! Make the "Live and let live" principle and the "Unity in Diversity" motto the unifying force which brings us all together-to seek in friendly, uninhibited discussion, ways and means by which each of us can live his own life, and let others live their own lives, in their own way, in harmony, and in peace.
If we succeed in doing so, the effect of it for the freedom, independence and the welfare of man will be great on the world at large. The Light of Understanding has again been lit, the Pillar of Cooperation again erected. The likelihood of success of this Conference is proved already by the very presence of you all here today. It is for us to give it strength, to give it the power of inspiration-to spread its message all over the World.
Itulah keaslian pidato Bung Karno pada saat KAA di Bandung, yang kemudian di ceritakan kembali kepada pengurus Ikatan Mahasiswa muhammadiyah waktu itu. Mengapa harus menceritakan hal tersebut kepada para pemuda yang datang menhadap kepada Bung Karno.
Meneurut Bung Karno sendiri sangat penting diceritakan semangat KAA bandung kepada seluruh pemuda dan mahasiswa Indonesia karena kedepan akan menjadi penganti para pendahulunya sehingga semangat itu bisa menjadi modal perjuangan para kaum muda Indonesia. Sungguh berarti pertemuan tersebut dan bersejarah dalam rekaman generasi mendatang IMM.
selesai.
______________

Blogger dan Aktivis Literasi

Comments