Sabtu pagi yang mendung di bulan november 2009, disebuah bangunan sekolah dasar yang sederhana, dengan papan tulis hitam dan lantai yang berlubang, kami duduk mengitari seseorang yang dengan lanyah bercerita soal Muhammadiyah. Gayanya ekspresif. Dua orang disebelah saya nampak memperhatikan sambil terkantuk-kantuk, mata mereka sembab.
“Semalam tidur jam berapa?” tanya pemateri. Semalam tidur lepas jam 12, dan bangun sekitar jam 4 untuk shalat subuh berjamaah, kultum, olahraga, dilanjut bersih diri dan mengikuti materi. Hari itu saya dan enam orang lain sedang menjadi peserta DAD. Agar fokus kembali, maka break untuk minum kopi.
Tidak saja peserta yang nampak terkantuk, beberapa instruktur juga terlihat letih, beberapa merah matanya, namun ada yang tetap ceria. Instruktur yang selalu ceria itu sepertinya didesain sebagai sosok yang menyenangkan, karena instruktur yang lain memperlihatkan wajah seram seperti kepiting rebus.
Selepas materi, peserta diminta menanyakan sesuatu. Di barisan tengah, seorang peserta bertubuh besar mengajukan sebuah tanggapan. Namanya Rasikh. Ia berkacamata sama seperti saya, cuma minusnya lebih tebal. Ia menanggapi ulasan pamateri dengan beberapa dalil naqli yang ia hafal. Gaya bertutunya menunjukkan kalau dia memang anak cerdas yang memiliki wawasan luas.
Menurut kabar, dia adalah putra salah satu pengurus Muhammadiyah di Malang. Sejak kecil sudah sekolah agama, bahkan selama aliyah mondok di Tambak Beras Jombang. Di kampus ia mengambil hukum perdata Islam. Tentang ke-Muhammadiyahan, sepertinya ia sudah banyak tahu. Tapi yang membuat salut, ia bersedia mengikuti DAD dan khidmat menjadi peserta, tanpa sedikitpun menunjukkan diri bahwa ia sudah memahami semuanya. Bahkan diluar materi, ia menjelma sebagai sosok kocak yang selalu mengeluarkan joke-joke.
Tanggapan lain juga muncul dari peserta yang sudah lama menjadi aktivis IPM. Namanya Yusuf. Ia anak pondok juga selama di Ponorogo. Dia begitu mencintai Muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian, ketika adiknya memasuki masa perkuliahan, semuanya menjadi aktivis IMM. Di sela break materi, atau break kegiatan, ia sering bercerita banyak hal kepada saya. Perihal kedekatannya dengan Muhammadiyah, hingga semasa menjadi aktivis IPM. “Saya kader sejak masih bernama IRM, sampai berganti nama ke IPM,” jelasnya.
Selepas DAD, IMM menjadi ‘rumah’ tersendiri bagi kami. Yusuf sering berkunjung ke komisariat tempat saya tinggal, di sumbersari gg. III, dekat dengan kuburan. Banyak cerita mistis yang dirasakan penghuni kontrakan itu, namun selama setahun saya tinggal disitu, tak pernah sekalipun mengalami hal mistis tersebut.
Jika datang, selalu ada yang didiskusikan. Kadang ia membawa sebuah buku dan menceritakan isinya kepada saya. Kadang juga pada beberapa kesempatan, kami ikut kajian bersama disuatu tempat. Di sela perkuliahan, kadang kami berkumpul di komisariat yang satunya. Rasikh datang dengan tas besarnya, berisi kitab-kitab. Disiplin kajian kami memang berbeda-beda.
Pada tanggal 14 februari, pernah kami menggelar diskusi panel. Saya dan Rasikh sebagai pemantiknya. Saya didesain sebagai yang pro valentine day dan Rasikh yang menolaknya. Tentu argumen saya bisa dengan mudah dihabisi dengan beragam dalil. Tapi diskusi semacam itu menjadi menarik, karena kita belajar berargumentasi sebagaimana semestinya seorang akademisi mempertahankan apa yang mereka yakini.
Begitu pun dengan Yusuf. Bacaan kami berbeda. Yusuf anak Psikologi dengan ketertarikan yang begitu tinggi dengan buku-buku spiritual. Saya pernah membeli buku motivasi bersampul merah, saya lupa judul dan penulisnya, karena bagi saya kurang menarik. Tapi Yusuf begitu antusias dengan buku tersebut. Sampai ketika ia menjadi instruktur DAM, buku itu tiba-tiba muncul di tumpukan referensi peserta DAM. Biasanya, kalau ada DAM, instruktur memang menyediakan buku untuk dijadikan referensi peserta. Biasanya buku pemikiran dan pergerakan, tapi itu buku motivasi. Kata Yusuf, itu buku akan memberikan perspektif yang berbeda. ya begitulah, dia selalu bisa melihat sisi berbeda dari kebanyakan orang.
Waktu mendapatkan beasiswa magang, ia menghabiskan ratusan ribu untuk membeli buku. Ia membawa pulang buku-buku itu dengan wajah sumringah ke kontrakan. Kebetulan, di tahun ketiga kuliah, kami satu kontrakan. “Ini buku bagus Ri,” pamernya kepada saya. Buku itu berjudul Api Sejarah, penulisnya Prof. A Mansur Suryanegara. Harganya diatas seratus ribu. Siapa sangka ternyata penulis buku fenomenal itu ternyata adalah alumni IMM juga.
Selain buku-buku tadi, Yusuf juga gandrung dengan buku-buku Ippho Santosa. Sepertinya dia mengoleksi semuanya. Tidak saja bukunya, tapi ia juga antusias menceritakan isinya. Kisah hidup seorang Ippho Santosa, sampai kemudian menjadi saudagar kaya raya. Karena penasaran, saya pun follow twitter Ippho Santosa dan berlangganan twetnya via sms. Sehingga, tiap Ippho ngetwet, saya mendapatkan notifikasinya.
Terakhir, ia bercerita sudah punya koleksi buku sekitar 500-an. Mungkin sekarang sudah lebih. “Saya punya perpustakaan di rumah,” katanya suatu ketika. Dan orang-orang seperti Yusuf ini lebih tertarik membeli buku ketimbang membeli baju untuk mengupgrade penampilannya. (*)
Blitar, 22 Oktober 2016
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini