Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Mahasiswa! Begitulah adanya


demo 1998. ilustrasi

Seorang pengamat politik bercerita, bahwa ada tokoh kontemporer yang tenang, santun, dan visioner. Pidatonya tidak menggebu-gebu layaknya orator yang sedang memimpin demo. Sebelum muncul sebagai pemimpin publik, ia pun juga tak terdengar dalam hingar bingar pergerakan. Ia juga tidak terafiliasi dalam organisasi mahasiswa yang memiliki jejaring politik, atau umum disebut Organisasi ekstra kampus. Ia kuliah s1 dengan rajin dan melanjutkan s2 ke Amerika. Sekembalinya ke Indonesia dia membangun usaha dan ide-ide kreatifnya muncul untuk menggerakkan masyarakat.

Cara yang ia tempuh mungkin tidak populer dibandingkan berbagai organ mahasiswa yang lain. Yang demo besar-besaran, menuntut keadilan, mengkritik rezim dan bahkan berhasil menumbangkan. Namun setelah rezim tumbang, what next?

Kita masih ingat dengan rezim Soeharto yang tumbang karena desakan ratusan ribu mahasiswa yang memadati senayan. Heroisme serta semangat revolusioner yang menyala-nyala, membuat orde baru yang begitu perkasa tumbang dan berganti dengan istilah REFORMASI. Dan ... ketika hampir dua dekade Reformasi berjalan. Masih banyak yang tidak puas. Kritik sana sini. Korupsi meraja lela, dan apalah-apalah.

Hingga muncul sebuah kalimat lelucon : Penak Jamanku to? Dengan gambar Pak Harto yang melambaikan tangan dan senyum khasnya. Meski hanya lelucon, sebagai mahasiswa, kadang saya merasa sedih melihatnya.

Apa Reformasi salah? Apa perjuangan mahasiswa itu sia-sia? Tentu tidak. Tetapi begitulah Mahasiswa. Kata beberapa pengamat, konon Reformasi yang bergulir tidak dibarengi dengan tokoh dan sistem yang baik. Yang mampu terwujud dengan baik (dan agaknya kebablasan) adalah kebebasan berpendapat. Korupsi, kolusi, bahkan nepotisme masih mendapatkan eksistensinya. Politik Dinasti yang merupakan wujud dari nepotisme masih banyak terjadi.

Ya, begitu lah. Setelah yang dibenci tumbang. What next? Amien Rais yang disebut-sebut sebagai bapak Reformasi juga tidak sempat menjadi Presiden RI. Orang boleh mengkritik keras Amien Rais. Tapi kita juga musti ingat, Pak Amien tidak pernah punya kesempatan untuk menjalankan (eksekusi) ide-ide tentang Reformasi. Dia gagal dalam pilpres, dan kegagalannya juga karena lemahnya dukungan Masyarakat.

Namun, berkat Reformasi, Pemimpin bisa silih berganti. Kalau dulu selama tiga dekade lebih Pemimpinnya hanya dari satu Golongan. Kini, Pemimpin bisa terus berganti. Berotasi dari satu partai ke partai yang lain. Dan rakyat adalah penentu dari rotasi itu. So, kata Fahri Hamzah, tukang kayu pun bisa jadi Presiden. Terpilihnya tukang kayu sebagai Presiden kan juga berkat Reformasi, dimana Pak Fahri dulu adalah salah satu pejuangnya.

Mahasiswa memang lumbungnya idealisme, semangat perubahan yang menyala-nyala. Optimismenya kuat. Sementara para elite, birokrat, atau politisi adalah orang yang harus berfikir serba taktis dan realistis. Pak Jokowi boleh-boleh saja berkelakar soal ‘koalisi tanpa syarat’, namun senyatanya ada syarat-syarat yang juga harus dipenuhi sebagai realitas politik. kita pun juga tidak bisa serta merta mengkritik politisi yang dulunya aktivis mahasiswa, yang setelah menduduki jabatan menjadi agak melempem. Karena setelah masuk lingkaran kekuasaan, barangkali segalanya memang harus realistis.

Mahasiswa, disamping sebagai kritikus dan kontroling pemerintah, disatu sisi dia harus berjibaku dengan jadwal kuliah yang padat, tugas-tugas dan semacamnya sembari menanti kiriman bulanan dari orang tua. Belum lagi yang memiliki part time jobs. Jujur, sebenarnya agenda mahasiswa pun sangat padat sekali. Tapi semangat perubahan itu memang sejak lama bersemanyam di jiwa mahasiswa, yang sejak mengikuti Ospek sudah ditanamkan dua istilah yang heroistik : agen of change and agen of control.

Artikulasi umum dari dua hal itu adalah Revolusi dan kritik. Rezim, baik level pusat hingga daerah, yang dirasa gagal memimpin, harus didemo dan kalau perlu dijatuhkan. Paradigma konflik yang sudah mendarah daging sejak dahulu. Semangat emosional yang kemudian menyisakan satu pertanyaan besar : Apa itu sudah tepat? Karena ibarat perang, daerah sudah ditaklukkan, tapi tidak ada yang tahu siapa yang akan mengisi daerah taklukkan tersebut. Apakah lebih baik dari sebelumnya, atau justru lebih mengerikan. Sementara sang penakluk sendiri, tidak siap untuk mengisi posisi tersebut.

Tak ada salahnya bertanya kepada mantan aktivis mahasiswa yang duduk di parlemen, jadi menteri, atau pejabat publik lainnya. Tak ada salahnya bertanya kepada oknum eksponen OKP, yang untuk kongres saja harus adu jotos, tak ada salahnya bertanya kepada yang bentrok karena pemira kampus, mengincar jabatan SEMA, BEM, hingga HIMA. Dimana perubahan? Dimana kontrol? Bertanya lah pada kenyataan bahwa nyatanya, untuk mengontrol egoisme diri saja susah sekali.

Tokoh ini, kata pengamat itu, memulai dengan inisiatif. Membentuk komunitas, menggerakkan warga secara mandiri. Ia sering gelisah dengan sikap pemerintah, tapi ia memilih menjadi bagian dari solusi. Kritik seperlunya, dengan kemasan yang kreatif dan menyenangkan. Bukan dengan sikap yang emosional. Sosoknya yang tenang, gaul, dan merakyat. Mengajak orang mengelola sampah, berkebun, bersepeda, hingga peduli kepada sesama. Karya-karyanya, tidak lain adalah kritik bagi rezim yang berkuasa. Kritik konstruktif.

Dia mengkritik dengan kreatifitas dan dia pun membuat perubahan dengan kreatifitasnya.

Hingga pada satu kesempatan, dia terpilih untuk menggantikan posisi rezim yang berkuasa. Dengan ide, pengalaman, serta visi hidupnya, tentu ia jauh lebih siap. Karena sebelumnya tidak hanya mengkritik, tapi juga ikut turun tangan. Dan setelah mendapatkan kekuasaan, tentu “Tangannya” lebih mampu berbuat sesuatu.

Dulunya, tokoh ini pun juga mahasiswa, yang kini menjadi pejabat publik. Sama halnya dengan para mahasiswa yang kini jadi pejabat di legislatif atau eksekutif. Mungkin prosesnya saja yang berbeda. Tapi bersyukurlah karena saat ini kita memiliki banyak mahasiswa, itu berarti kita memiliki banyak anak-anak muda yang optimistik. Asal, jangan sampai kasus orde baru terulang kembali. Rezim tumbang, namun setelah itu who next?Akhirnya mengeluh lagi. Marah lagi, dan begitu lah seterusnya, begitu lah adanya.

Sebelum bertindak represif. Ada kalanya bertanya kepada diri sendiri. Selama atau sesudah rezim ini berkuasa, apa yang bisa saya perbuat? kontribusi apa yang bisa saya lakukan?

Tak ada salahnya untuk mencontoh pejabat publik yang diceritakan sang pengamat itu, anda semua pasti sudah tahu, tokoh yang diceritakan itu adalah Ridwan Kamil, Walikota Bandung saat ini.

Blitar, 24 Maret 2015
A Fahrizal Aziz

Comments