Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Diet Setelah Gemuk




Sabtu, 13 Juni 2020

"Gemuk setelah nikah itu mitos," jelasnya pada saya.

Ia mahasiswi jurusan ilmu gizi. Saya wawancara nonformal, sekaligus konsultasi.

Tetapi buktinya ada? Tanya saya, melanjutkan obrolan terkait diet dan obesitas.

"Tetapi tidak semua kan? Gak ada korelasi, dan kami tidak mungkin melihat dari sisi itu," tegasnya.

Ya, ia dan teman-temannya hanya fokus pada gizi, bukan pada rasa bahagia seseorang yang memicunya menjadi lebih gemuk setelah menikah. Itu kerjaan mahasiswa psikologi.

Meskipun, semua hal itu terkait. Kondisi psikologi toh juga bisa berpengaruh pada fisik.

Namun menurutnya, gemuk tidak berarti makannya bergizi, justru sebaliknya.

"Jadi jangan pula mengidentikkan badan gemuk dengan perbaikan gizi, ada-ada saja," Jelasnya lagi.

Gemuk bisa jadi karena penimbunan lemak. Itu wajar dan alamiah. Utamanya, ketika seseorang lewat usia 22 tahun. Setidaknya, begitulah penjelasan yang sempat saya baca dari berbagai buku, khususnya buku Rob Faigin yang fenomenal itu.

Jika tubuh mengalami top performa pada usia-usia remaja, itu hal yang wajar. Tubuhnya sedang tumbuh dan berkembang.

Kala lewat usia perkembangan, asupan yang masuk nyaris hanya akan jadi energi. Ibarat mobil, perakitannya sudah sempurna, tinggal perlu bahan bakar untuk bisa jalan.

Lantas, jika bahan bakar terus masuk dan "mobil" tidak dijalankan, sementara "perakitan" sudah selesai, hendak disalurkan kemana energi itu?

Saat orang merasa dirinya gemuk, dia akan diet. Diet dalam kadar pemahaman masing-masing. Paling banyak adalah mengurangi gula, sampai porsi makan.

Kenapa orang baru diet setelah dia gemuk? Tanya saya.

Ia melongo, lalu tertawa getir.

Maksud saya, ya kenapa sejak ketika masih kurus atau masih ideal, tidak mempertahankannya? Lanjut saya, menjelaskannya lebih detail.

"Apakah ada yang tahu jika akhirnya mereka akan gemuk?" Tanyanya balik. "Apa gemuk bisa direncanakan?"

Selain faktor gen, juga faktor-faktor lain yang tidak diprediksi.

Beberapa teman yang saya ajak berbincang soal kegemukan, mengaku pola hidupnya biasa-biasa saja. Tidak, maaf, rakus-rakus amat.

Lalu kok bisa gemuk? Ya, siapa yang bisa memprediksi. Kalau bisa memilih, semua orang pasti ingin tubuh ideal nan proporsional.

Apakah gemuk bermasalah? Tanya saya lagi.

"Tergantung," Jawabnya mengambang.

Sulit mencari kepastian dalam hidup ini, bukan? Bahkan untuk menyatakan bahwa gemuk itu berbahaya atau tidak. Tergantung, selalu begitu.

"Tidak bisa disimpulkan lewat asumsi!"

Baiklah. Sembari mengamati infografis yang tertempel di ruangan, saya pun mengajukan pertanyaan lagi.

Bisa jadi yang gemuk itu sehat. Bisa jadi juga berpenyakitan?

"Begitupun dengan yang kurus, atau yang atletis sekalipun, ada yang meninggal tiba-tiba setelah bermain futsal. Padahal pola hidup sehat sudah dijalankan."

Jadi semua itu misteri ilahi? Lalu untuk apa ada jurusan ilmu gizi?

Dia tersenyum, sembari mengernyitkan dahi. Lalu menyodorkan suatu catatan.

"Coba dinaikkan 3 kilo lagi," Pesannya.

Saya pun pamit. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments