Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Kitab Kuning, Kyai Dan Pondok Muhammadiyah



Ilustrasi diambil dari google

 oleh : Khabib M. Ajiwidodo*

Kitab Kuning di pondok salaf
mengapa disebut kitab kuning? ... “Yaa karena kertasnya berwarna kuning”,, begitulah kiranya jawaban paling mudah untuk menjawab tentang apa itu kitab kuning.  Kitab kuning identik dengan dunia pesantren. Di pesantren, mempelajari kitab kuning adalah hal wajib bahkan ada motivasi khusus dari para santri untuk memutuskan mondok yaitu “aku ingin ke pondok untuk mempelajari kitab kuning”.

Dalam tradisi pondok pesantren, mempelajari kitab kuning dilakukan setiap hari, bahkan dalam bulan-bulan liburpun biasa diadakan “ngaji kilat”, maksudnya mempelajari isi kitab khusus pada bulan tersebut. Ngaji kilat itu sendiri biasanya khusus untuk para santri yang sudah menguasai ilmu tata bahasa arab seperti ilmu nahwu shorof, ilmu mantiq dan sejumlah cabang ilmu lainnya.Metode pembelajaran di pondok berlangsung dengan cara tatap muka. Seorang Kyai membacakan naskah kitab kuning lengkap beserta artinya. Artinya disesuaikan dengan bahasa daerah dimana pondok pesantren berada.Kemudian, para santri menuliskan makna yang telah diajarkan/ diucapkan oleh Kyai yang membacakan kitab saat itu. 

Alat tulis untuk memaknai memanfaatkan alat tulis dengan ujung pena yang kecil. Kalau jaman dulu biasanya menggunakan mata pena yang dicelupkan pada tinta china yang diberi pelepah daun pisang agar tidak meresap. Akan tetapi pada masa sekarang para santri kebanyakan mengunakan bolpoin dengan mata pena yang kecil.

Bagi santri yang sudah benar-benar menguasai isi kitab kuning setelah diuji oleh para pengasuh maka pimpinan (kyai) pondok memberikannya ijasah. Ijasah adalah sebuah pengakuan bahwa yang bersangkutan sudah benar-benar menguasai isi kitab. Tradisi pembelajaran diatas menjadi tradisi pondok pesantren khususnya pesantren salaf.

Kyai di Muhammadiyah?
Pasca KH. Azhar Basyir tahun 1994 Muhammadiyah mulai dipimpin oleh kalangan akademisi (Profesor atau Doktor). Menurut pengamatan Syafiq A. Mughni (ketua PP Muhammadiyah)  Kecilnya jumlah kyai dalam Muhammadiyah disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Muhammadiyah tidak memiliki banyak pesantren tradisional. Kedua, kyai lebih mudah tumbuh dalam masyarakat tradisional.ketiga, modernitas.

Pesantren – pesantren (modern) milik Muhammadiyah secara umum menekankan penguasaan ilmu-ilmu agama yang aplikatif tanpa menjadikan kitab kuning sebagai rujukan utama. Selain itu pimpinana dalam pesantren Muhammadiyah tidak mengenal system darah biru kyai, Anak cucu kyai Muhammadiyah tidak serta-merta diistimewakan; tidak banyak orang berdatangan untuk minta barakah kepada kyai Muhammadiyah. Egalitarianisme menyebabkan kedudukan kyai dalam Pondok pesantren Muhammadiyah tidak lagi istimewa.

kitab kuning di Muhammadiyah
Sebenarnya, mempelajari kitab kuning adalah hal yang sangat penting di Muhammadiyah, terutama bagi para ulama tarjih. Ar-ruju’ila al-Qur’an wa as-Sunnah tidak akan pernah lepas dari kajian kitab kuning. Berbagai produk Majelis Tarjih da Tajdid seperti HPT, Fatwa tarjih, Buku-buku Fiqh tidak lepas dari kitab kuning, meski literatur rujukan tidak dituliskan secara formal.

Bagi seorang Ulama, mempelejari kitab kuning itu sangat penting. Akan tetapi anehnya dilingkungan pondok Muhammadiyah, kitab-kitab kuning kurang terkenal. Banyak santri yang kurang familier dengan nama-nama kitab kuning. Walaupun diajarakan, tapi durasi waktunya sangat sedikit, bisa disebut ala kadarnya atau “tambel butuh”saja.

Jarang Pesantren Muhammadiyah yang mengajarkan alfiyah Ibnu Malik, mengkhatamkan kitab-kitab madzhab, tashawuf, kalam, kajian kitab-kitab tafsir atau kitab-kitab hadis hingga mengkhatamkan sekian kitab tafsir atau sekian kitab hadis, sekian ulumul Quran karya ulama klasik, dan lain sebagainya. Tradisi mengkaji permasalahan (Bahtsul Masail) dengan melibatkan kitab-kitab kuning hampir jarang terjadi.

Jika dibandingkan dengan organisasi lain, harus diakui, Muhammadiyah dalam hal ini memang tidak sesolid Nahdlatul Ulama. Organisasi ini bahkan memiliki tradisi kajian keagamaan yang relatif kuat dengan referensi keagamaan yang baku. Dalam bidang fiqih, misalnya, mereka  terbiasa membaca kitab kuning seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fanah at-Thalibin, Ihya Ulumuddin dan sebagainya. Dalam Tasawuf membaca Al-Hikam, Ihya Ulumuddin dsl, Belum lagi dalam bidang tafsir, Kalam dan ilmu ilmu lain yang bersumber dari kitab-kitab kuning.

Padahal kalau kita membaca kisah Pendiri Muhammadiyah, maka akan kita lihat bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah Ulama yang dilahirkan dari Tradisi Keilmuan Kitab Kuning dari para Guru/ Kyai. Jejak pengembaraan intelektual KH Ahmad Dahlan bermula tiap petang belajar mengaji dengan tekun saat usia 7 tahun. Ketika itu diajar oleh ayahnya sendiri. Ketika beranjak dewasa, belajar ilmu fiqih kepada KH Muhammad shaleh, ilmu Nahwu kepada KH Muhsin, ilmu Falak kepada KH Raden Dahlan, ilmu Pengobatan kepada Syeikh Hasan, ilmu Hadits kepada Kiai Mahfud dan Syeikh Khayyat. Kemudian ilmu Quran kepada Syeikh Amin dan Sayyid Bakri Tercatat pula guru-guru beliau cukup beragam, Kyai Sholeh Darat di Semarang Syeikh Jamil Djambek dari Bukittinggi dan Syeikh Ahmad khatib. Disamping itu, atas usaha KH Baqir, beliau bertemu Sayyid Rasyid Ridha di Mekkah.

Trensains sebagai tajdid Kyai Muhammadiyah
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, kiranya itu ungkapan yang pas untuk kyai Agus Gurwanto, D.sc atau lebih akrab disebut Gus Pur. Sebagai Kyai Muhammadiyah, daripada terus menerus megolok-olok tradisi turats di Muhammadiyah yang mlempem, lebih baik membuat tradisi keilmuan baru. Kemudian dicetuskanlah Trensains (pesantren sains).

Tidak seperti pondok modern yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman al-Quran, sains ke-alam-an dan interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains merupakan materi khas trensains dan tidak ada dalam ponpes modern.Kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris menjadi kemampuan dasar bagi para santri. Selain menjadi alat komunikasi, di Trensains bahasa Arab juga digunakan sebagai alat analisis awal dalam menalar ayat-ayat al-Quran khususnya ayat-ayat kauniyah.

Trensains juga membimbing para santrinya untuk mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang memadai. Konsep dasar limit, diferensial dan integral perlu diperkenalkan sebagai alat analisis dan memahami konsep fisika. Nalar dan spirit filosofis diperlukan untuk berfikir runut, tuntas dan mendasar.Jika umumnya pesantren mengharapkan alumninya menjadi ulama syariah (hukum Islam), maka proyeksi alumni Trensains adalah lahirnya ulama-ulama yang memiliki spesialisasi di bidang sains kealaman, teknolog, dan dokter yang mempunyai basis al-Quran, kedalaman filosofis serta keluhuran akhlak.

Wallahu a'lam bish-shawab
__________________________
*Khabib M. Ajiwidodo
(aktivis Pemuda Muahammadiyah Kota Blitar, pernah mbeguru pada Gus Rohmad Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Trenggalek)

Comments