Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Perjalanan Menulis (bag. 18)



Kuliah Umum Para Penulis



Masih di tahun 2011
Kedatangan Prof. Dr. H. Quraish Shihab, MA ke UIN Malang begitu menarik perhatian. Untung saya masih kebagian tempat duduk mengikuti kuliah umumnya. Meskipun bukan dari disiplin ilmu yang serumpun dengan Pak Quraish, namun setiap kali bulan Ramadan, saya adalah penonton setia tafsir al misbah yang tayang pukul 02.00 di Metro tv.

Hari itu ingin sekali melihat penulis tafsir kesohor tersebut secara langsung.

Sebagian besar peserta kuliah umum adalah mahasiswa syariah. Di UIN Malang tidak ada jurusan tafsir. Itu karena dulunya kampus ini adalah bagian dari IAIN Surabaya –sebelum berdiri sendiri—yang khusus mengkaji ilmu-ilmu tarbiyah.

Pak Quraish berjalan menuju aula bersama Rektor dan Direktur Pascasarjana. Direktur pasca sendirilah yang menjadi moderator. Sebagai penulis tafsir Al Qur’an, apa yang disampaikan Pak Quraish tidak jauh dari hal tersebut. Mantan rektor UIN Jakarta tersebut juga sedikit menyinggung tafsir al-azhar, yang ditulis oleh Buya Hamka.

Selain Pak Quraish, tahun 2011 juga ada kuliah umum dari Dr. (HC). Anni Iwasaki di lantai 5 gedung rektorat. Audiennya begitu membludak. Banyak yang mengira kalau Anni Iwasaki adalah orang Jepang. Ternyata beliau ada orang Kediri, yang menikah dengan orang Jepang dan lama tinggal di Jepang. Nama Iwasaki sendiri diambil dari nama belakang suaminya.

Selain dikenal sebagai aktivis di Pusat Studi Jepang Untuk Kemajuan Indonesia, Bu Anni juga adalah penulis yang produktif. Bahkan pernah menulis novel berjudul “Senyum Untuk Anakku” yang diterbitkan Gramedia. Beberapa bukunya juga diterbitkan oleh Gramedia.

Novel tersebut bercerita tentang anaknya yang terserang tumor. Novel tersebut secara gamblang menggunakan namanya sebagai tokoh utama, sehingga lebih terkesan sebagai kisah nyata. Pertama kali terbit tahun 1993.

***
Yang sering terlewat justru D. Zawawi Imron. Penyair “celurit emas” asal Madura itu sering datang ke UIN Malang. Namun saya baru sekali mengikuti kuliah umumnya.

Biasanya menghadiri undangan dari Fakultas Humaniora dan Budaya, yang merupakan Fakultasnya para sastrawan. Nama D. Zawawi begitu lekat, karena selain penyair, beliau adalah Agamawan berkultur NU.

Selain itu, ada dua tamu yang sangat menghebohkan. Pertama Sujiwo Tejo, yang datang atas undangan BEM Fakultas Humaniora. Kedua, Emha Ainun Najib, atau Cak Nun.

Acara Sujiwo Tejo digelar secara megah di Aula Gedung SC, yang merupakan Aula terbesar di UIN Malang. Di Aula itupula dulu digelar konser Zigaz. Masuknya pun juga harus membeli salah satu produk minuman suplemen. Sujiwo datang memberikan sedikit ceramah dan menyanyi beberapa lagu.

Berbeda dengan Cak Nun, yang lebih suka menggelar acara secara outdor. Yang hadir pun tidak dipungut biaya. Acara yang diadakan di lapangan sepak bola itu dipenuhi banyak jamaah. Mirip acara sholawat akbar Habib Syekh.

Baik Sujiwo Tejo ataupun Cak Nun, keduanya adalah penulis. Namun jarang orang melihat dari sisi ini. Sujiwo adalah mantan wartawan Kompas. Sementara Cak Nun adalah eseis handal. Buku-buku Sujiwo kadang pula tidak jelas genrenya. Sehingga di berbagai toko, buku-buku Sujiwo diletakkan di rak yang berbeda. di Gramedia, buku Sujiwo masuk rak sastra. Di toko buku lain diletakkan di rak yang berbeda.

Akhir tahun 2011 juga saya mengikuti Diklat Jurnalistik di Kampus II UMM, dekatnya Pom bensin Sumbersari. Kala itu baru pindahan ke kontrakan yang baru. Saya bersama tiga penghuni kontrakan, jalan kaki menuju lokasi acara karena tidak ada satu pun yang membawa sepeda motor.

Pemateri dalam diklat tersebut adalah Pak Abdul Halim, wartawan senior Malang Post. Diklat kali ini juga sekaligus belajar fotografi dengan kamerawan muda terkenal, Guest Gesank. Entah sudah berapa dikat Jurnalistik saya ikuti, seolah tak bosan-bosannya.

Ketua panitia acara itu bernama Ryan Akbar Atmaja, yang kemudian kami sering berkomunikasi untuk diskusi soal literasi. Sekarang dia mendirikan sebuah komunitas literasi bernama Kota Aksara. Dia sendiri aktif di sosial media dengan nama Atmaja. []

Blitar, 23 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

Comments