Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Anakku Dipotret Malaikat

ANAKKU DIPOTRET MALAIKAT
(Resensi Novel Karya Adnan Katino)



Anakku Dipotret Malaikat, Adalah judul yang dipilih Adnan Katino - (Beliau adalah Penulis Novel yang selalu bertemakan kritik sosial dan motivasi,  pada tahun 2009 ia pernah diundang PC. IMM Kediri untuk mengisi acara pelatihan menulis sekaligus membedah novelnya yang pertama “Menggapai Matahari”) - untuk menggambarkan keseluruhan isi cerita dalam novel ini. Menurut beliau, hanya malaikat yang mampu memotret secara detil setiap jeritan hati dan rintihan mereka, anak-anak ibu pertiwi. Yang tidak semuanya merasakan kemerdekaan negeri ini. Bahkan tak dapat kita pungkiri, hampir setiap hari mata dan telinga kita disuguhi berbagai informasi, kenyataan yang harusnya tidak terjadi di negeri ini, ironi.

Mereka, adalah anak-anak ibu pertiwi yang harus menjalani nasib perih akibat ulah para oknum di negeri ini. Cerita dimulai dengan Asih, gadis desa yang baik, lugu, dan cantik. Namun kini kecantikannya pudar, bukan karena ketdakmampuannya merawat diri. Asih harus hidup terlunta-lunta di jalanan ibu kota, membawa beban berat janin dalam perutnya, dan yang lebih membuatnya menderita adalah bahwa janin itu ada sebagai wujud segala dendam yang menumpuk di hatinya.

Asih adalah korban kebiadaban Mamat, lelaki yang dulu dicintainya sepenuh hati, diharapkan untuk menjadi suami, ditunggu setiap purnama tampak berseri. Namun, Mamat yang awalnya hanya pamit untuk merantau sementara berubah tabiatnya sepulang dari ibukota. Bahasa lisannya tak lagi sopan layaknya orang desa, sikapnya tak lagi terjaga, bahkan ia merenggut kehormatan gadis yang dicintainya tanpa rasa berdosa. Parahnya, Asih yang terlanjur mengandung akibat perbuatan laknat itu tak mampu menahan malu. Ia bertekad menyusul Mamat ke ibukota, menuntut tanggung jawab.

Tapi apa? Susah payah dicarinya alamat, saat bertemu kenyataan jauh lebih menyayat. Mamat sedang bersama wanita lain yang setengah telanjang. Terbayang betapa sakit hati Asih menatap kenyataan, dendam dan perih dihatinya tak mampu membawanya pulang. Ia membenci janin yang tumbuh dalam tubuhnya. Bahkan jika ia mati, ia tak sudi mati bersama sang jabang bayi. Karena itulah, ia rela menanggung beban berat ditubuhnya hingga sembilan bulan. Setelah itu ia bertekad menjemput kematian, jika kematian enggan mengambil nyawanya.

Bayi itu lahir diantara tumpukan sampah ibukota. Ditengah hujan deras dan lelah yang mendera tubuhnya. Dan belum genap satu jam terpisah dari tubuh sang induk, bayi itu harus rela ditinggalkan. Menyapa dunia dalam ketidakberdayaan, diantara tumpukan sampah.

Sementara sang ibu, memenuhi janjinya. Pagi masih belum sempurna terbuka saat orang-orang menemukan jasad seorang wanita muda tewas setelah jatuh dari lantai tiga salah satu mall di Jakarta.

Sementara bayi itu, tidak dibiarkan mati begitu saja. Tuhan membuatnya tetap hidup setelah ditemukan pemulung sampah dan anak gadisnya. Mereka merawat bayi itu sepenuh jiwa, meski kehidupan jelas tak berpihak pada mereka. Nama bayi itu: Nasib, sesuai nasib yang membawanya lahir ke dunia seolah secara tiba-tiba, dan nasib juga yang membuatnya bertahan meski tanpa orang tua. Mereka bukan keluarga yang sempurna, bahkan sudah merasa mewah jika bisa memenuhi kebutuhan hidup yang seadanya. Serba kekurangan, jarang makan, hingga diusir pemilik emperan.

Cerita terus berlanjut, bagaimana Nasib bertahan hidup. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menemui orang-orang dewasa yang tampak baik awalnya, namun sejatinya tidak lebih berbahaya daripada ular berbisa. Nasib terus menekuni nasibnya untuk hidup. Menemui keganjilan-keganjilan dan ironi kehidupan di negeri yang kata orang adalah cermin surgawi.

Hingga suatu hari, saat hujan kembali mengguyur bumi, ia dibawa paksa oleh dua orang tak dikenal. Mereka sampai di sebuah rumah mewah. Dan disitulah,          Nasib melihat tubuhnya disayat-sayat kemudian dibiarkan begitu saja. Ia masuk ke dimensi kehidupan lain.

Cerita belum usai. Di kehidupan yang baru, Nasib disambut bak tamu agung di istana penantian. Satu demi satu, orang-orang yang dia kenal baik dan mendahuluinya mati bisa ia temui disini. Kakak perempuan yang pernah merawatnya sejak bayi, anak pemulung di awal cerita. Seorang wanita yang kata kakaknya selalu mengikuti kemanapun Nasib pergi sambil menangis, dan banyak orang yang tak ia kenal namun tapak begitu antusias menyambutnya. Termasuk para pendiri negeri ini, yang dengan senang hati memasukkan Nasib dalam perkumpulan para pejuang dan pahlawan negeri. Nasib bertemu dengan Buya. Yang dalam imajinasiku beliau adalah Buya Hamka, ulama besar sekaligus budayawan Muhammadiyahitu , serta Salah satu pahlawan nasional kita.

Selanjutnya, Buya mengajak Nasib mengelilingi Indonesia. Hanya dengan memejamkan mata sesaat mereka sudah sampai ditempat yang diinginkan. Tentu saja itu mungkin dan mudah. Karena kini mereka tidak lagi bermateri. Nasib menjajal semua fasilitas yang sempat diinginkannya ketika masih hidup di dunia. Ia menikmati naik kereta eksekutif, naik ke gedung tinggi, jalan-jalan dari satu tempat ke tempat lain. Senang? Satu sisi hati Nasib merasakannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian Buya menunjukkan fakta betapa buruk kondisi negara ini sebenarnya. Nasib muak melihat kondektur kereta api yang mudah disuap. Ia marah melihat penjara para koruptor kosong karena penghuninya bisa melenggang bebas keluar jalan-jalan. Nasib ingin menangis melihat para pemegang uang dapat bebas menggunakan fasilitas mewah meski di dalam tempat bernama penjara.

Dan air matanya tak bisa berhenti mengalir, ketika melihat persidangan seorang nenek yang harus menerima hukuman akibat mencuri tiga gelondong kakao dari kebun sebuah perusahaan. Iya, hanya tiga buah!!

Nasib juga miris melihat rombongan jamaah haji yang tega memaki ibu-ibu pengemissetelah beliau terserempet bis yang mereka tumpangi. Dimana esensi talbiyah yang beberapa menit sebelumnya? Buya menerangkan kepada Nasib bahwa mereka yang berangkat haji tidak sekali dua kali. Mereka lebih mengutamakan gengsi, tidak kasihan pada mereka yang ingin menunaikan haji pertama kali. Mereka membiarkan antri pendaftaran haji mengular hingga puluhan tahun.

Bukankah akan lebih baik jika mereka menunakian haji sekali saja, untuk menunaikan kewajiban? Selebihnya kan mereka bisa umrah setiap waktu. Maka orang-orang yang ingin menunaikan kewajiban haji untuk pertama kali tidak perlu mengantri panjang hingga puluhan tahun, bukan?

Perjalanan Nasib bersama Buya terus berlanjut. Mereka sempat mampir ke gedung DPR, dimana seharusnya para wakil rakyat berjuang menyuarakan aspirasi rakyat. Namun sekali lagi, Nasib harus meluaskan hati untuk menerima kenyataan bahwa banyak diantara mereka yang memilih tidur saat rapat. Alih-alih memikirkan pengentasan kemiskinan, mereka malah berdebat soal perlu tidaknya membangun gedung baru. Sementara gedung yang mereka tempati saat ini masih bisa dinilai sangat layak. Perilaku sebagian penguasa bangsa ini, begitu kentara ingin membuat kaya diri sendiri. Mereka tidak ingat lagi janji yang ditebar manis saat pemilu. Tidak ingat bagaimana mereka merayu rakyat untuk memilih. Yang lebih mereka ingat adalah berapa rupiah yang harus mereka keluarkan untuk duduk di singgasana impian, lalu ketika sudah berhasil disana, mereka berfikir keras bagaimana mengembalikan dana yang sudah dikorbankan atau bagaimana mendapat keuntungan dari posisi sekarang.

Lalu, dimana sebenarnya esensi kemerdekaan? Jika para penguasa tidak mampu menaklukkan diri sendiri dari rasa ingin menguasai duniawi. Lalu jutaan rakyat negeri ini menjadi tidak lebih berarti dari sepiring nasi yang ingin mereka nikmati.

Nasib kehabisan kata. Ia bingung, kemana harusnya mencari teladan kehidupan? Jika para tokoh yang ada sekarang, tidak layak dijadikan panutan? Tidak pemerintah, polisi, kondektur, bahkan jamaah haji. Sebagian dari mereka sudah kehilangan naluri manusiawi. Nilai-nilai luhur kehidupan perlahan tapi pasti telah luntur dari bangsa ini. Koruptor yang menelan aset negara hingga trilyunan masih dapat melenggang bebas menikmati berbagai fasilitas. Sementara rakyat kecil yang kedapatan mencuri tiga buah kakao harus berhadapan dengan hukum yang siap menumpahkan amunisi di kepalanya. Dimana letak keadilan sebenarnya?

Novel ini ditutup dengan penuturan indah Buya. Bahwa memang tidak selayaknya kita menjadikan potret buruk mereka sebagai panutan. Mereka bukan siapa-siapa. Lalu Buya mengenalkan Nasib pada kehidupan para sahabat Rasulullah. Yang menjunjung tinggi hukum Allah dan RasulNya. Buya mengenalkan Nasib pada Abu Dzar Al Ghifari, yang berani menebaskan pedang ke leher mereka para penggemplang pajak. Abu Dzar yang berhasil menjadi juru dakwah bagi kaumnya, yaitu kaum yang sebelumnya terkenal kejam dan kasar sebagai penguasa padang pasir, sebagian besar dari mereka  dengan sukarela menyatakan diri masuk islam berkat penjelasan Abu Dzar. Dari tangan dan lisannya Islam meluas dan semakin bersinar di bumi jazirah. Sangat kontras dengan kondisi iman sebagian manusia yang hidup pada zaman sekarang.

Di novel ini kita juga  bisa menemukan nama Pramono Anung, Gayus Tambunan, Susno Duaji, Chandra M.Hamzah, Adner Sirait, Ibrahim, Aulia Pohan, Bibit Slamet Rianto, dan banyak tokoh bangsa ini dalam sebuah alur cerita yang sayang dilewatkan. (Mas Bib / Red. S)

________________________
diresensi oleh:

Khabib M. Ajiwidodo
(Aktivis Pemuda Muhammadiyah Kota Blitar)
&
Red.S

Blogger dan Aktivis Literasi

Comments