Sering saya diminta mengomentari puisi, atau membuatkan puisi. Dikiranya, bikin puisi itu segampang menyeduh kopi.
Pada suasana dan kondisi tertentu, banyak orang kadang-kadang berpuisi, atau minimal menjadi puitis.
Saat patah hati terutama, kecewa karena suatu hal, geregetan melihat situasi negara, sampai jenuh pada hidup yang selama ini dijalani.
Berpuisi seolah menjadi saluran alamiah. Ini bagus dan baik, jika dibandingkan pelampiasan destruktif dengan alkohol, dugem, dan sebagainya.
Sayangnya, tidak banyak yang akrab dengan puisi. Minimal membaca puisi, yang pendek sekalipun.
Seringkali saya berkhayal bahwa di sepanjang jalanan kota, di sudut-sudutnya, di antara reklame atau di tembok-tembok sekolah dan lembaga pemerintah, ada beberapa bait puisi dipajang, kalau bisa beserta foto/lukisan/sketch penyairnya.
Di setiap pemberhentian, orang membaca puisi. Puisi jadi sangat lekat dan familiar.
Sebab membaca puisi itu ajaib, diksinya merasuk ke jiwa, terngiang di ingatan, dan pada titik tertentu orang bisa mengucapkannya. Selebihnya, dia bisa saja turut serta merangkai kata-kata serupa meski tak sama.
Dan berpuisi menjadi jalan untuk melihat serta memaknai hidup yang begitu kompleks, memunculkan perasaan yang dalam, menghargai setiap apa yang dipikirkan.
Puas, kan?
Blitar, 2 Februari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz
www.muara-baca.or.id
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini