Kenapa Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dimotori Sjahrir tidak laku pada pemilu 1955? Sebab cara yang digunakan kurang populer, sebagaimana yang tertulis dalam sejumlah buku, salah satunya karya Lukman Santoso Az.
Saat partai lain memainkan agitasi, PSI mencoba menempuh jalan edukasi. Kata Sjahrir, kader parpol tidak harus banyak asalkan militan. Pemikiran tersebut membuat Sjahrir, sekalipun kalangan elite waktu itu, bukan sebagai tokoh sentral.
Beda dengan PNI, PKI, atau juga Masyumi. Alhasil PSI keok, dengan hanya memperoleh 5 kursi dengan prosentase 1,99%. Padahal Sjahrir begitu berjasa "membungkam" Belanda di sidang PBB, yang membuat Indonesia diakui sebagai sebuah bangsa.
Namun barangkali Sjahrir kurang memainkan ketokohannya, karena sibuk melakukan edukasi ke daerah-daerah. Karena itu, sekalipun partai ini memperoleh suara kecil, namun muncul beberapa tokoh yang dikenal "Sjahrir Boys", alias orang yang dekat dengan Sjahrir.
Beberapa nama legenda seperti Soedjatmoko Mangoendiningrat, Soedarpo Sastrosatomo, dan Rosihan Anwar termasuk "Sjahrir Boys".
Dalam kultur politik di Indonesia, ketokohan menjadi sangat penting, bahkan hingga saat ini. Meskipun sudah menggunakan sistem demokrasi, namun justru partai politik sendiri enggan beranjak dari kultur dinasti.
Lalu bagaimana dengan parpol kontestan pemilu 2019?
Kini muncul kembali PSI, dengan tagline Solidaritas. Akronim yang sama persis dengan PSI Sjahrir, namun kemasannya berbeda. Diisi oleh anak-anak muda, bahkan pengurus pusatnya ada yang masih kuliah.
Menariknya, Ketua Parpol ini adalah perempuan. Begitu langka parpol yang diketuai seorang perempuan. Sebagian besar pengurus yang mengemuka ke publik pun juga perempuan.
PSI termasuk yang aktif bermain sosial media, dengan sebagian pengurus yang masih muda, bahkan konon sebagian besar antara 20-30 tahun. Kalangan muda menjadi target utama.
Akan tetapi, tanpa tokoh sentral, seberapa mampu kah sebuah partai akan bertahan? Sebab banyak yang akhirnya gulung tingkar usai pemilu, karena tidak memenuhi ambang batas perolehan suara.
Bahkan yang memiliki tokoh besar pun, juga tertatih-tatih untuk sekedar lolos verifikasi KPU, sebut saja PKPI dan PBB. Partai baru selain PSI, yaitu Partai Berkarya dan Garuda, juga punya tokoh sentral.
Mungkin juga Golkar, tetapi hampir semua politisi Golkar adalah orang-orang lama, lapisan stukturnya begitu kuat. Barangkali juga PAN, meski lekat dengan sosok Amien Rais, namun selalu mampu berganti ketua Umum setiap 5 tahun sekali.
PKS, dan barangkali PPP juga demikian. Tidak memiliki tokoh sentral, meski memiliki tokoh kharismatik. Namun di akar rumput punya kultur yang kuat nan solid.
Sayangnya hingga saat ini pergulatan politik masih memainkan figur. Megawati di satu sisi, Prabowo dan SBY di sisi yang lain, atau Surya Paloh. Sementara yang lain kadang hanya menjadi penonton, dan bersuara di panggung-panggung yang terbatas.
PSI terlihat begitu lincah di sosial media, namun bukan tanpa lawan. Lawannya juga sangat kuat, mesin-mesin agitasi via buzzer dan sejenisnya.
Karenanya, dukungan kepada figur yang kuat menjadi faktor penting. Misalkan mendukung Jokowi, yang notabene "figur bebas", artinya tidak identik dengan parpol manapun, meski diusung oleh PDIP.
Apakah kultur dan suasana politik kita telah berubah, sehingga tokoh sentral nan populis tidak lagi punya dampak signifikan?
Mungkin iya, sebab pada pemilu 2019 nanti, anak-anak yang lahir pasca reformasi, yaitu antara tahun 1999-2002, sudah memiliki hak memilih. Suasana akan lebih berbeda lagi pada tahun 2024.
Tinggal seberapa mampukah parpol menyegarkan citranya, membuat kemasan yang tidak monoton dan membosankan. Tinggal seberapa mampukah parpol menunjukkan bahwa dirinya bukan sekumpulan orang elit yang jauh dari rakyat.
Dan yang paling penting, seberapa mampukah nantinya parpol yang berhasil mengirimkan wakilnya ke jabatan-jabatan publik, bisa benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebab parpol yang bertahan biasanya yang punya kekuasaan.
PSI dengan gaya dan pendekatan baru, apakah benar-benar mampu bersaing dengan partai lain yang sudah mapan dan kuat, setidaknya untuk sekedar lolos Parliamentary threshold sebesar 4%.
Tentu ini tidak mudah. Parpol yang memiliki tokoh sebesar Yusril Ihza Mahendra dan A.M Hendropriyono pun tidak lolos pada pemilu 2014 silam. Padahal PBB termasuk partai lama, yang sempat menamai neo Masyumi. Bahkan simbol benderanya pun sama.
Selain A.M Hendropriyono, PKPI juga punya Bang Yos (Sutiyoso). Namun toh juga tidak lolos.
Partai-partai besar tetap akan bertahan, dengan tokoh dan basis massa yang kuat. PDIP terutama, Golkar dan Gerindra. Suara NU tentu akan menyebar, mungkin juga ke PKB, PPP dan partai lainnya.
PSI secara khusus membidik pemilih muda, namun parpol lain juga melakukan hal yang sama. Bahkan andai PSI mengandalkan basis suara Muhammadiyah, PAN dan Perindo pasti akan menjadi pesaing yang kuat.
Sebagai partai baru, PSI menawarkan sebuah pendekatan yang menarik dan berbeda, yang mungkin di masa depan akan menjadi saluran politik yang nyaman bagi anak muda, seniman, musikus, atau pekerja kreatif lainnya.
Akan tetapi, persaingan politik begitu ketat. Kita berharap partai ini bisa melewati ambang batas 4% suara nasional dan tidak gulung tikar selepas pilpres 2019 nanti. []
Blitar, 3 Mei 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia (Lakspi)
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini