Meski baru diumumkan bulan depan, namun sepertinya dua pasangan akan bertarung sengit, dengan menggalang suara utama dari kalangan Nahdliyin. Warga NU akan terpecah dalam dua kubu besar, termasuk kemungkinan suara dari kaum nasionalis yang berafiliasi di GMNI, yang jumlahnya cukup signifikan.
Sekalipun GMNI selalu identik dengan PDIP, namun nyatanya tidak demikian. Begitupun halnya ketika mengidentifikasikan suara NU dengan PKB atau PPP, dan apalagi PAN dengan Muhammadiyah.
10 tahun terakhir Pakde Karwo dari Demokrat, yang notabene tokoh GMNI, berhasil memenangkan Pilgub Jatim dengan menggandeng Gus Ipul. Sementara PDIP justru keok, termasuk PKB sebagai Partai dengan pemilih terbesar di Jatim.
Suasana politik begitu cair dan sukar ditebak. Tahun ini dengan bersatunya PDIP dan PKB, maka secara logika harusnya bisa menang mudah. Namun Pilgub sangat berkait dengan figur, dan suara konstituen sangat mungkin berubah.
PDIP sendiri yang kerap mengusung tagline partainya wong cilik, juga belum tentu mendapat dukungan penuh dari wong cilik. Sebab sosok Khofifah di akar rumput sangat membumi, apalagi selepas menjadi Menteri Sosial.
Belum lagi Khofifah didukung oleh Partai Demokrat, yang disitu ada sosok Pakde Karwo. Besar kemungkinan "suara merah" juga akan terbagi, sama halnya dengan suara NU.
Dalam suasana seperti ini, kemanakah kiranya suara warga Muhammadiyah? Sebab secara kultural, jumlah warga Muhammadiyah tentu sangat diperhitungkan. Warga Muhammadiyah akan jadi bandul penentu siapakah yang akan menang.
Namun sebenarnya bukan hanya soal kalkulasi suara. Tapi dengan realitas demikian, setidaknya Muhammadiyah memiliki ruang untuk menyampaikan gagasan atau aspirasi yang hendak dititipkan calon tertentu, dan kelak sama-sama mengawalnya.
Namun selama ini cenderung pasif dan tak berkutik, bahkan untuk sekedar melempar wacana. Padahal Muhammadiyah memiliki dua sosok potensial di Jatim, yaitu Kang Yoto dan H. Masfuk.
Dengan potensi kultural yang ada, Muhammadiyah punya kekuatan signifikan untuk mewarnai kebijakan publik. Sebab dalam politik tidak ada yang netral. Karena di bilik suara kita akan tetap memilih. Hanya bagaimana kita tidak jadi sekedar pemilih, tapi turut serta menyumbang aspirasi dan sama-sama mengawalnya. []
Blitar, 22 Januari 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini